Anak-anak-1

Pemerintah yang menggaung - gaungkan program pendidikan wajib belajar 9 tahun belum mencapai targetnya.Bagaimana kita bisa akan menjadi negara yang maju,jika pendidikan masih dipandang sebelah mata.

Anak-anak-2

Pemerintah yang menggaung - gaungkan program pendidikan wajib belajar 9 tahun belum mencapai targetnya.Bagaimana kita bisa akan menjadi negara yang maju,jika pendidikan masih dipandang sebelah mata.

Anak-anak-3

Pemerintah yang menggaung - gaungkan program pendidikan wajib belajar 9 tahun belum mencapai targetnya.Bagaimana kita bisa akan menjadi negara yang maju,jika pendidikan masih dipandang sebelah mata.

Anak-anak-4

Pemerintah yang menggaung - gaungkan program pendidikan wajib belajar 9 tahun belum mencapai targetnya.Bagaimana kita bisa akan menjadi negara yang maju,jika pendidikan masih dipandang sebelah mata.

Anak-anak-5

Pemerintah yang menggaung - gaungkan program pendidikan wajib belajar 9 tahun belum mencapai targetnya.Bagaimana kita bisa akan menjadi negara yang maju,jika pendidikan masih dipandang sebelah mata.

Senin, November 10, 2008

PERUBAHAN PATOLOGI BIROKRASI KE ETIKA PEMERINTAHAN MELALUI PRINSIP GOOD GOVERNANCE

Reformasi dalam amanatnya menegaskan bahwa hapus praktek korupsi, kolusi dan nepotisme sebagai konsekuensi dari tuntutan masyarakat dan tuntutan perubahan paradigma. Sektor publik dalam perubahan paradigma barunya telah menegaskan pula bentuk dan model birokrasi yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, transparan dan pengelolaan administrasi yang akuntabel, melalui perubahan sistem dan pemangkasan struktur birokrasi serta model administrasi dan pemerintahan yang baik (good governance).
Fenomena menarik untuk dicermati dan diangkat kepermukaan adalah, masih adanya praktek-praktek penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab pada tingkat managerial birokrasi, sehingga indikasi ke arah paradigma baru pemerintahan dan etika pemerintahan dalam penilaian publik belum sesuai dengan amanat reformasi.
A. Good Governance Sebagai Agenda Reformasi.
1. Patologi dan Birokrasi
Patologi merupakan bahasa kedokteran yang secara etimologi memiliki arti “ilmu tentang penyakit”. Sementara yang dimaksud dengan birokrasi adalah : "Bureaucracy is an organisation with a certain position and role in running the government administration of a contry" (Mustopadijaja AR., 1999). Dengan demikian dapat dilihat bahwa birokrasi merupakan suatu organisasi dengan peran dan posisi tertentu dalam menjalankan administrasi pemerintah suatu negera.
Prof. Dr. Sondang P. Siagian, MPA., (1988) mengatakan bahwa pentingnya patologi ialah agar diketahui berbagai jenis penyakit yang mungkin diderita oleh manusia,……Analogi itulah yang berlaku pula bagi suatu birokrasi. Artinya agar seluruh birokrasi pemerintahan negara mampu menghadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul baik bersifat politi, ekonomi, soio-kultural dan teknologikal………
Risman K. Umar (2002) mendifinisikan bahwa patologi birokrasi adalah penyakit atau bentuk perilaku birokrasi yang menyimpang dari nilai-nilai etis, aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan serta norma-norma yang berlaku dalam birokrasi.
Lebih lanjut Sondang P. Siagian (1988) menuliskan beberapa patologi birokrasi yang dapat dijumpai, antara lain :
• Penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab
• Pengaburan masalah
• Indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme
• Indikasi mempertahankan status quo
• Empire bulding (membina kerajaan)
• Ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko
• Ketidakpedulian pada kritik dan saran
• Takut mengambil keputusan
• Kurangnya kreativitas dan eksperimentasi
• Kredibilitas yang rendah, kurang visi yang imajinatif,
• Minimnya pengetahuan dan keterampilan, dll.
2. Good Governance
Secara etimologi good adalah “baik” dan governance adalah “kepemerintahan”, jadi good governance dapat diartikan “kepemerintahan yang baik”. Word Bank mendefinisikan sebagai the way state power is used in managing economic and social resources for development of society. Dari definisi ini dapat dilihat bahwa good governance merupakan suatu jalan atau cara dalam mengatur ekonomi, sumber daya sosial untuk membangun atau mengembangkan masyarakat.
UNDP memberikan definisi good governance sebagai hubungan yang sinergi dan konstruktif di antara negara, sektor swasta dan msyarakat. Adapun karakterisitik good governance menurut UNDP (dalam LAN dan BPK dan Pembangunan 2000), adalah:
• Participation. Ssetiap warganegara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung mapun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingan. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartsipasi secara konstruktif.
• Rule of law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk hak azasi manusia.
• Transparancy. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses-proses, lembaga-lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitoring.
• Responsiveness. Lembaga-lembaga atau proses-proses harus mencoba untuk melayani setiap stakeholders.
• Equity. Semua warganegara, mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.
• Effectiveness and efficiency. Proses-proses dan lembaga-lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin.
• Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat bertanggung jawab kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.
Strategic vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai prespektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini.
B. Good Governance Sebagai Agenda Reformasi.
Semangat reformasi politik yang mulai bergulir di Indonesia sejak tahun 1997 adalah pembalikan karakteristik tatanan politik yang telah terpola selama beberapa dekade. Sentralisme penyelenggaraan pemerintahan ingin dibalik menjadi tatanan yang desentralistik, dan otoritarianisme ingin dibalik menjadi tatanan pemerintahan yang demokratis. Regime kesemena-menaan penguasa ingin diganti dengan regime pemihakan terhadap rakyat. Meskipun kenginan untuk melakukan perubahan ke arah tersebut telah meluas, perubahan itu sendiri tidak bisa berjalan dengan sendirinya. Perubahan tersebut hanya bisa difahami sebagai hasil tarik ulur antara para pelaku politik utama. Hal ini sangat jelas terlihat kalau kita pahami proses reformasi dari kerangka berfikir transisi menuju demokrasi.
Reformasi ini tidak bisa diprogram secara teknokratik oleh pemerintah. Persoalannya, dalam banyak hal, justru ada pada pemerintah itu sendiri. Pada tataran formal berubahan sudah mulai merebak, namun pada tataran substantif perubahan masih belum signifikan. Adanya persoalan tarik ulur ini menjelaskan mengapa yang terjadi adalah reformasi setengah hati.
Dambaan bagi terlembaganya suatu penyelenggaraan pemerintahan yang baik (local good governanve) mengedepan bersamaan dengan melimpahnya tuntutan terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistik dan otoriter yang dipraktekkan semasa kepemimpinan orde baru. Ukuran yang populer saat ini untuk melihat baik tidaknya penyelenggaraan pemerintahan dirumuskan berdasarkan idealitas 'otonomi' dan 'demokrasi'.
Jargon good governance memang baru belakangan ini memperoleh popularitas, namun bukan berarti bahwa pada masa Orde baru tidak memiliki konsep penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Persoalannya, adalah apa yang waktu itu dipahami sebagai good governanve kini sudah dianggap sebagai pola yang usang (Purwo Santoso, 2000).
Singkat kata, reformasi politik di tingkat lokal melibatkan proses penting yang tidak mudah dilihat, yakni melakukan pemaknaan ulang terhadap konsep tentang penyelenggaraan pemerintahan. Sehubungan dengan hal ini, ada beberapa hal penting yang perlu di catat.
Pertama, konsep penyelenggaraan pemerintahan sudah bersifat build in pada benak dan ketentuan-ketentuan penyelenggaraan pemerintahan. Sungguhpun demikian, bukan berarti bahwa konsep-konsep yang ada bisa dijalankan dengan baik. Problema penyelenggaraan pemerintahan di masa Orde Baru, pada dasarnya bukan semata berakar pada kualitas konsepnya semata, melainkan juga pada ketidakmampuan merealisasikan konsep-konsep tersebut.
Kedua, sementara makna good governanve versi lama sudah jauh kehilangan popularitas, pemaknaan konsep good governance dalam versi baru masih simpang siur. Bias pemaknaan konsep good governance ini menjadi sulit dielakkan manakala konsep 'good governance' itu sendiri sebetulnya, secara praktis, diperankan sebagai stigma untuk mende-legitimasikan sentralisme dan otoritarianisme yang terlembaga pada era Orde Baru. Peran stigmatik konsep good governance sebetulnya tidak bisa dipisahkan dari sangat derasnya arus perwacanaan dalam kerangka berfikir yang neo-liberal, yang pada dasarnya tigak terlampau setuju dengan adanya peran sentral negara.
Ketiga, pemaknaan konsep good governance saat ini terjadi dalam suasana dimana hegemoni wacana yang berakar pada liberalisme terlihat sangat kental. Liberalisme difahami sebagai pintu pendobrak otoritarianisme, namun masih menjadi pertanyaan besar apakah hal itu akan terlembaga. Dalam suasana dimana hegemoni faham liberal di era reformasi ini sangat kuat, ukuran bagi baik buruknya penyelenggaraan pemerintahan bisa bergeser dari otonomi dan demokrasi, menjadi liberal atau tidak. Pola good governance ala liberal mungkin bisa terlembaga kalau masyarakat dan pejabat sama-sama sepenuh hati meliberalkan diri. Kecenderungan yang terjadi adalah sabotasi terhadap liberalisme dalam arti bahwa masyarakat mau enaknya memiliki kebebasan, namun tidak mau menanggung persyarakat-persyaratan untuk tegaknya sistem yang liberal itu. Sebagai contoh, maraknya demostrasi adalah pertanda dari pemanfaatan secara baik iklim politik liberal, namun penghargaan terhadap hak orang lain tidak dilindungi tatkala melakukan hal itu.
C. Merubah Patologi Birokrasi Melalui Prinsip Good Governance
Mar'ie Muhammad (Media Transparansi 1998) menyatakan bahwa good governance itu ada jika pembagian kekuasaan ada. Jadi ada disperse of power, bukan concentrate of power. Good governance sama dengan disperse of power, pembagian kekuasaan plus public accountability plus transparancy. Jadi kalau tidak ada prinsip ini, good governance perlu untuk menekan penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan yang biasanya itu menimbulkan korupsi. Dan corrupt itu selalu abuse of power. Semakin tinggi kualitas dari good governance, semakin rendah korupsi. Sebaliknya semakin rendah kualitas good governance, korupsinya semakin tinggi.
Dari penyataan di atas tergambar dengan jelas beta prinsip-prinsip good governance dapat mencegah patologi birokrasi terutama dalam hal korupsi, kolusi dan nepotisme. Untuk lebih detailnya prinsip-prinsip good governance dapat merubah patologi birokrasi, maka dapat diuaraikan sebagai berikut :
• Participation. Melalui prinsip ini akan masyarakat terlibat dalam pembuatan keputusan yang bangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartsipasi secara konstruktif, sehingga dengan demikian maka pemerintahan tidak menjadi otoriter dalam mengambil keputusan. Keputusan yang dihasilakan merupakan representasi dari keinginan masyarakat dan tiak dapat diintervensi oleh pihak-pihak yang ingin memanfaatkan pemerintah.
• Rule of law. Supremasi hukum merupakan langkah yang harus diambil untuk meminimalisir atau menghilangkan praktek-praktek patologi dalam birokrasi. Dengan penegakan hukum yang baik maka indikasi untuk melakukan kesalahan akan terhapus karena para birokrat akan merasa takut dengan ancaman hukum.
• Transparancy. Melalui prinsip transparansi maka segala hal yang dilakukan oleh pemerintah atau birokrat dapat di kontrol oleh masyarakat melalui informasi yang terbuka dan bebas diakses. Transparansi ini mendorong birokrasi untuk senantiasa menjalankan aturan sesuai ketentuan dan perundang-undangan, karena bila tidak sasuai masyarakat pasti mengetahui dan melakukan penututan.
• Responsiveness. Pradigama baru birokrasi menekanakan bahwa pemerintah harus dapat melayani kebutuhan masyarakat umum dan memberi respon terhadap tuntutan pembangunan. Patologi yang selama ini terjadi dimana pemerintah dilayani oleh masyarakat, maka dengan prinsip responsiveness pemerintah harus sedapat mungkin memberikan pelayanan kepada stakeholders.
• Effectiveness and efficiency. Pemborosan yang terjadi dalam praktek pengelolaan organisasi birokrasi dapat diminimalisir oleh prinsip ini. Terutama dalam pengelolaan anggaran pemerintah
• Accountability. Melalui pertanggungjawaban kepada publik maka birokrasi menjadi hati-hati dalam bertindak, dengan akuntabilitas publik pemerintah harus memberikan keterangan yang tepat dan jelas tentang kinerjanya secara keseluruhan.
• Strategic vision. Melalui straegi visi maka akan tumbuh dalam setiap birokrat akan nilai-nilai idealisme dan harapan-harapan organisasi dan negara untuk masa yang akan datang. Nilai-nilai dan harapan-harapan ini akan memeberikan kesan praktek pelaksaan pekerjaan birokrasi.(versi lengkap download)

Kamis, Agustus 28, 2008

MENGUBAH GORONTALO MISKIN MENJADI KAYA

”Ini semua adalah sesuatu yang mungkin bila kita berpikir bahwa itu adalah mungkin”
Pendahuluan
Pada hakekatnya eksistensi pemerintah adalah untuk meningkatkan derajat kesejahteraan rakyat, dengan kata lain keberhasilan suatu negara berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan rakyatnya. Hal ini telah lama dipahami oleh penyelenggara pemerintahan, namun terwujudnya masyarakat sejahtera bukanlah persoalan mudah dan sederhana, banyak faktor yang berpengaruh baik langsung maupun secara tidak langsung.
Berbarengan dengan upaya untuk menciptakan perubahan besar ditubuh pemerintah, berbagai gagasan dan konsep telah banyak dipaparkan oleh para akademisi maupun para praktisi. Konsepsi good governance, reinventing government serta banishing bureaucracy menjadi serangkaian konsep yang ditawarkan untuk dapat menuntun daerah dalam melakukan perubahan dan progresivitas pembangunan
Salah satu masalah besar yang dihadapi oleh hampir semua daerah dalam meningkatkan pembangunan adalah minimnya anggaran yang dimiliki. Sementara dalam banyak hal pemerintah daerah diperhadapkan dalam dilema antara sumber daya alam yang tersedia tidak cukup menopang sejumlah dana yang dibutuhkan. Saat ini ketergantungan anggaran daerah sangat ditentukan oleh dana perimbangan pusat, karena PAD tidak sebanding dengan kebutuhan daerah, sehingganya salah satu langkah bijak dan sangat mungkin dapat ditempuh dalam menghadapi persoalan ini adalah melakukan penghematan anggaran.
Persoalan dana menjadi masalah yang paling memusingkan pemerintah daerah dalam meningkatkan pembangunan. Masalahnya bukan karena pemerintah daerah tidak memiliki anggaran yang banyak, tetapi lebih pada kurang tepatnya (efektif, efisien dan rasional) pemerintah mengalokasikan anggarannya. Berikut beberapa masalah yang dijadikan alasan dalam memahami upaya penghematan dimaksud : pertama, Eksplorasi sumber daya alam yang berlebihan dalam meningkatkan PAD telah dan akan membawa dampak rusaknya ekosistem dan keseimbangan alam. Di sisi lain sumber daya tersebut kian hari-kian berkurang dan membutuhkan waktu yang lama untuk diperbaharui.
Kedua, Pengenaan retribusi yang berlebihan dan pengenaan pada objek yang kurang proporsional, berefek pada keengganan dan antipati masyarakat terhadap pemerintah daerah. Ketiga, Alokasi APBD yang tidak seimbang antara biaya aparatur dan biaya publik, mengakibatkan lambatnya proses pembangunan dan lebih banyak APBD dinikmati oleh aparatur dan kurang berpihak pada masyarakat. Keempat, alokasi yang kurang proporsional menjadikan APBD menjadi kurang dan tidak dapat mencukupi untuk melaksanakan kegiatan pemerintahan. Kelima, dalam banyak hal pemerintah daerah melakukan pemborosan anggaran yang semestinya tidak dilakukan.
Masih banyak masalah yang terkait dengan inefisiensi, inefektivitas dan irasional-nya manajemen pemerintahan yang berefek pada pemborosan anggaran. Tetapi pertanyaan yang perlu dijawab adalah : langkah apa yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah dalam memaksimalkan APBD sehingga pelayanan serta tujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan, pendidikan, ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dapat terimplementasi ?. Jawaban pertanyaan ini akan terurai dalam pilihan-pilihan kebijakan dalam tulisan ini, sebagai masukan bagi Pemerintah Daerah dalam mengefektifkan APBD.
Indikasi pemborosan APBD selama ini dapat dilihat dari : pengadaan barang dan jasa pemerintah yang sangat besar/jauh dari nilai pasar; biaya honorarium dan insentif pegawai; pembangunan yang mubajir; perjalanan dinas, biaya pemeliharaan, belanja barang dan lain sebagainya. Sebagai contoh adalah fenomena APBD disalah satu Kabupaten di Gorontalo pada Tahun 2004 dimana pengeluaran rutin mencapai 81,05%, sedangkan untuk pengeluaran pembangunan (belanja modal) hanya 18,95% saja. Pada Tahun 2005 belanja operasi sebanyak 209.194.411.317,75 atau 87,84% sedangkan untuk biaya modal sebesar 28.559.552.076,00 atau hanya 11,99%.
Dari data ini dapatlah dimaklumi jika pembangunan menjadi sangat lambat dan tidak memadai/mencukupi untuk membiayai pembangunan daerah dan tuntutan masyarakat yang menginginkan perubahan yang cepat dan perbaikan ekonomi yang lebih baik menjadi sulit diwujudkan.
Privatisasi
Privatisasi dapat didefinisikan sebagai transfer peran dalam penyediaan pelayanan publik kepada swasta. Di samping definisi ini, pada kenyataannya privatisasi dapat diperlunak dengan model ”kemitraan”. Privatisiasi model ”kemitraan” ini memiliki empat bentuk (Joedo dan Nugroho D,, 2006:73) sebagai berikut : Pemberian konsesi secara terbatas, KSO atau Kerja Sama Operasi, BOT atau Built Operate and Transfer. ODT atau Operate Develop and transfer.
Bagi Pemerintah Daerah konsep ini sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru . di Kabupaten Gorontalo misalnya pada Tahun 2004 pernah melepas salah satu usaha parawisata (Pentadio Resort) kepada sektor swasta, namun kemudian tidak memberi dampak yang signifikan terhadap pendapatan daerah (hal ini telah dianalisis oleh penulis pada opini koran lokal dengan judul ”Kaji Kritis Reinventing Government – Tinjauan Atas Swastanisasi Pentadio Resort”. Hampir semua daerah kabupaten dan kota memiliki beberapa aset yang dapat menghasilkan pendapatan, tetapi pada kenyataannya aset tersebut malah membebani APBD melalui biaya pemeliharaannya dan biaya-biaya lainnya.
Swastanisasi Pentadio Resort tidak dapat dijadikan cerminan, karena prosesnya tidak memiliki konsep yang jelas dan jauh dari semangat reinventing government. Dari sepuluh prinsip pemerintahan wira usaha, salah satunya adalah pemerintahan kompetitif, dimana pemerintahan kompetitif mensyaratkan persaingan diantara para penyampai jasa atau pelayanan untuk bersaing berdasarkan kinerja dan harga. Mereka memahami bahwa kompetisi adalah kekuatan fundamental untuk memaksa badan pemerintah untuk melakukan perbaikan. (Osborne & Palstrik, 2004:323). Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mem-privatisasi aset pemerintah : Persaingan (competition), konrtak kerja (work contract), pemberdayaan (empowering). Swastanisasi seyogyanya diarahkan untuk pemberdayaan masyarakat lokal sehingga apa yang disebut dengan ”efek domino” dari perubahan dapat tercapai.
Pemprivatisasian dapat dilakukan tidak hanya sebatas pada badan usaha daerah, tetapi juga melingkupi berbagai kegiatan serta tugas pemerintahan, misalnya : pemadam kebakaran, kebersihan dan persampahan, pendidikan, kesehatan bahkan urusan administrasi pemerintahan, seperti : pelayanan KTP dan catatan sipil lainnya. Tetapi dari sekian banyak kegiatan yang dapat di privatisasi ini daerah perlu mempertimbangkan hal-hal yang sesuai dengan kemampuan organisasi pemerintah.
Berikut ini sebuah komentar yang penting untuk kita renungkan, munurut Lester Salamon, yang memimpin proyek riset bertahun-tahun terhadap organisasi-organisasi nirlaba di Urban Institut, ”sektor ketiga sebenarnya adalah ”mekanisme masyarakat yang lebih disukai untuk menyediakan barang kolektif”. Sektor ketiga sudah ada lama sebelum sebagian besar pelayanan pemerintah itu ada ia mengatasi masalah-masalah sosial lama sebelum pemerintah mengambil peran itu. Pemerintah turun tangan hanya ketika sektor ketiga terbukti tidak mampu menghadapi masalah khusus. (dalam Osborne dan Gaebler, 2005:51).
Restrukturisasi
Abstraksi awal pemerintah, ketika restrukturisasi diwacanakan adalah tergesernya eselonisasi, hilangnya jabatan dan setumpuk persoalan kepegawaian. Sesungguhnya itu merupakan dampak ”buruk” yang ”baik” karena saat kemarin dan sampai hari ini menurut evaluasi Departemen Dalam Negeri dan Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara, organisasai perangkat daerah memperlihatkan beberapa indikasi kearah pembengkakan birokrasi. Struktur pemerintahan yang gemuk memberi konsekuensi logis terserapnya energi daerah yang cukup besar. Dan lagi-lagi hal tersebut berpengaruh besar terhadap APBD. Sudah saatnya daerah memikirkan untuk merampingkan struktur dan memperkaya fungsi guna terjadi penghematan anggaran.
Menanggapi hal ini sesungguhnya pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah, yang kemudian hampir tidak digubris oleh tingkat pemerintah kabupaten/kota. Sehingga ”miskin struktur kaya fungsi” hanya sebatas slogan dan jauh dari nilai realitas.
Wacana restrukturisasi cenderung dipahami hanya dalam frame dinas/instansi, padahal ditingkatan fungsional (pendidikan dan kesehatan) juga dapat dilakukan melalui pemetaan kembali wilayah pelayanan dengan menggabungkan beberapa sarana/prasarana serta fungsi yang sama di wilayah yang berdekatan.Metode ini disebut re-grouping.
Regruping SD-SD sebagai upaya rasionalisasi melalui beberapa pertimbangan yaitu efisiensi, peningkatan kualitas guru dan siswa, peningkatan kualitas proses belajar mengajar (PBM). Pola Regrouping yang dilakukan yaitu penggabungan SD-SD yang jumlah siswa kurang dari 75 orang, dengan pola SD kecil, SD normal dan SD besar, (SD dengan beberapa kelas paralel). Kondisi geografis juga menjadi dasar regrouping tersebut. Disamping regrouping sekolah, juga di Puskesmas dapat regruping dilakukan karena tidak rasionalnya jumlah kunjungan dengan pegawai puskesmas. Dasar pelaksanaannya disesuaikan dengan data dan kondisi yang diharapkan.
Rasionalisasi
Rasionalisasi Pegawai
Perlunya rasionalisasi pegawai untuk melakukan penghematan anggaran sesungguhnya sudah terbukti dilakukan oleh beberapa daerah dan negara-negara di dunia. Di Indonesia misalnya, Kabupaten Jembrana telah melakukan restrukturisasi dan hasilnya cukup mencengangkan, dimana dengan APBD tak lebih dari 9 miliyar daerah ini dapat membayar tunjangan kinerja pegawainya sampai dengan Rp 1.000.000/orang dengan kompensasi (reward) lainnya bagi pegawai yang berprestasi. Rahasia sukses rasionalisasi pegawai ini didasari oleh efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan kegiatan pemerintahan.
Tak dapat dipungkiri bahwa dalam birokrasi terdapat ”pengangguran tak kentara”, mereka adalah pegawai-pegawai yang digaji oleh pemerintah tetapi tidak memiliki kinerja dan prestasi dalam kerja. Sejumlah strategi telah dipaparkan oleh David Osborne dan Peter Plastrik untuk menerapkan konsep ini.
Sebagai alternatif solusi atas masalah di atas, berikut hal-hal yang dapat dilakukan : 1) Tidak melakukan rekrutmen pegawai selama proses rasionalisasi dilakukan (sampai batas rasional), 2) Tidak memperpanjang masa pensiun bagi pegawai yang telah memasuki masa pensiun, 3) Menawarkan pensiun dini kepada pegawai, 4) Melatih pegawai yang memiliki kompetensi enterpreneur untuk kemudian ditawarkan untuk alih tugas pada sektor-sektor swasta, 5) Melakukan analisis jabatan, selanjutnya sampai dengan uraian tugas masing-masing, 6 Pengalihan jabatan struktural ke jabatan fungsional untuk para pejabat yang terkena dampak restrukturisasi dan 7) Rekrutmen pejabat melalui job tender
Rasionalisasi Anggaran
Merasionalkan anggaran, konsep ini berangkat dari suatu pengamatan di mana terdapat sejumlah anggaran dan proyek serta kegiatan yang dilakukan oleh birokrasi, alokasi anggarannya kurang memiliki kepekaan terhadap kondisi pasar dan cenderung melebih-lebihkan anggaran. Tawaran solusi untuk merasionalisasikan anggaran ini, dapat dilakukan dengan membentuk satu tim verifikasi (independen) yang akan menguji tawaran atau permintaan yang diajukan oleh bagian/instansi/unit untuk satu kegiatan yang kemudian akan disesuaikan dengan harga rill pasar oleh tim penguji. Tepatnya dalam menentukan harga, Tim Penguji (independen) menggunakan standar harga dinamis bukan standar harga barang yang telah lazim digunakan selama ini.
Proyek pemerintah selalu menjadi pembicaraan publik, “Anggaran besar, kualitas rendah”. Mengapa proyek swasta dengan anggaran lebih rendah bisa mencapai kualitas lebih tinggi?, pertanyaan ini perlu direnungkan, ada apa dengan pemerintah kita. Untuk itu pemerintah kabupaten dan kota perlu menerapkan pola baru dengan Pola OE (Owner Estimate), dimana anggaran yang tertuang di APBD tidak menjadi standar, melainkan OE yang dibuat oleh Tim Independen yang menjadi acuan. Dari pola OE yang diterapkan efisiensi dan pengawasan mutu proyek menjadi maksimal.
Orang masih melihat bahwa ketiga langkah di atas masih merupakan hal yang tabu dan sulit untuk dilakukan, tapi sungguh itu sesuatu yang jauh sangat mudah, tetapi niat kitalah yang kurang. Butuh keberanian untuk merealisasikan itu semua, dan kami rindu sosok yang mau melakukannya. Mereka yang berani melihat peluang dibalik tantangan. Mereka yang berani melakukan penghematan anggaran untuk kemaslahatan umatnya, bukan mereka yang mengehemat untuk memperkaya dirinya. Gorontalo yang miskin akan menjadi kaya jika pola hidupnya mengacu pada filosifis usang ”hemat pangkal kaya”. Jangan hanya mencoba tetapi lakukan dengan penuh kesungguhan. Kami yang miskin menunggu kebijakan itu.

KEPULASAN INTELEKTUAL BIROKRAT

Sebuah keanehan besar ketika di era gegap gempita perubahan terjadi dalam per sekian detik, ada saja orang-orang yang intelektualnya teraniyaya, terpasung, terbelenggu, dan itu warisan terburuk sepanjang sejarah. “jangan lagi menoleh kebelakang”, “jangan sesali yang telah berlalu” atau “sejarah tak pernah salah”, sungguh pernyataan yang penuh optimis. Tapi benarkah adagium itu memiliki substansi pencerahan hari esok?.
Tiga puluh dua tahun lamanya birokrat ibarat robot bernyawa. Masa berganti, dan kurang lebih satu dasawarsa nyawa itu kembali menemukan jasadnya. Sewajarnya ada pesta khusus untuk merayakan kebebasan ini. Birokrasi lepas dari konspirasi kolot yang disponsori Orba. ABG (Abri, Birokrasi dan Golkar) menemukan kembali jati dirinya masing-masing. Tapi bayang-bayang masa lalu tak lepas dari benak birokrat. Mereka terbiasa menjadi “budak”, dan seleksi alamiah mengamini kebiasaan itu dengan menghadirkan “majikan” yang rakus akan kekuasaan.
Mengutip bahasa Dr. Thariq Muhammad as Suwaidan, ini adalah otak-otak yang siap dijual. Bahasa penulis ini adalah nalar dari jiwa-jiwa yang gemetar menatap kebenaran
Ada latar belakang yang bisa kita jadikan rujukan untuk membuka tabir ini dari cengkraman sejarah yang terus berulang.
Pertama,budaya opportunistik, yaitu budaya yang selalu mengutamakan kepetingan diri sendiri daripada kepetingan umum. Mereka takut kehilangan jabatan, mereka takut kehilangan pengakuan, mereka takut tidak didengar bawahan. Intinya mereka lupa bahwa suatu saat mereka akan kehilangan itu semua. Mereka lupa suatu saat akan dipensiunkan dan lebih-lebih mereka lupa akan kematian.
Kedua, budaya paternalistik, adalah kebisaan menjadikan pimpinan sebagai “pusat kebenaran”. Bahkan ada birokrat yang rela turun kejalan, rela mati, dan saya hampir tidak percaya ada yang membawa panji jihad, bukan untuk kebenaran, tetapi untuk pimpinan. Di seluruh dunia, mereka yang menganut paham paternalisme ini memiliki satu kata , YESS BOSS!.
Ketiga, budaya hipokrit. Kata ini diadopsi dari bahasa Inggris, tetapi saya tidak memiliki data apakah parakteknya lebih banyak di Inggris atau di sini. Hypocrite, dalam bahasa lumrah yang sering kita dengar adalah munafik. Kenapa korupsi, kolusi dan nepotisme ditubuh birokrasi semakin diberantas, semakin “menggila”. Fakta kemunafikan itu salah satu jawabannya. Transparansi pengelolaan pemerintahan dan pembangunan diterjemahkan bias. Mereka memiliki ungkapan pamungkas “bisa transparan, tapi jangan telanjang”. Makna kata ini terus terevolusi dan akhirnya menjadi katup penutup kebohongan!.
Sedih rasanya, bila kita menyaksikan mereka yang memiliki kemapanan pengetahuan, memiliki sekelumit ide, secuil gagasan dan sederet harapan untuk berubah, terus dibombardir oleh budaya-budaya “setanik brokrasi”. Akhirnya idealisme itu lunglai sebelum mekar, mereka seperti kembang-kembang plastik, “biar palsu yang penting abadi”!. Tetapi, bagi mereka-mereka yang tidak ternodai. Mereka-mereka yang telah lama berkibar bak bendera lusuh nan putih selamanya, semoga niatnya tak pulas dalam pegolakan intelektual.
Untuk mereka tulisan ini saya dedikasikan. Sesuatu yang pantas menghormati mereka yang tulus. Disini ada jiwa yang semakin berdegup, mengasah ketajaman emosional, mental dan spiriutal. Saudaraku yang se-ide, Rasulullah berkata dengan bahasa seorang pemberani : “Tidak selayaknya bagi seorang Nabi, jika dia telah memakai baju perangnya untuk menanggalkannya kembali, hingga dia berperang”.Sebagai simpulan dari uraian ini, godaan untuk menyesatkan intelektual birokrat kian gencar, dan mereka yang tidak memiliki basis intelektual, mental dan spiritual yang baik terus berjatuhan, ada segelintir orang yang ingin menyelamatkan kondisi ini, tapi sayangnya tak jarang mereka juga menjadi korban. Saudaraku yang seide, sebelum semuanya selesai, tak layak rasanya bila kita kita menanggalkan baju perang.
Terlalu dini men…!


Senin, Agustus 18, 2008

BONGKAR BUDAYA BIROKRASI!

Kalau belum rusak kenapa harus diperbaiki?
kalau bisa diperlambat kenapa harus dipercepat?
Setan.......!
Wahai para birokrat! tepuklah air di dulang, walau terpercik mukamu sendiri
Thank you...!
Dengan statment di atas, para Birokrat jangan hanya tersenyum, tapi tersinggunglah!. Kita berada dalam turbulensi zaman yang kejam dan nyata dan kalau kita lambat berubah, maka tunggulah realitas kehidupan dikubangan yang kotor. Kita harus berubah!, dan salah satu upaya menuju perubahan dan penataan kembali (transformation) birokrasi adalah merubah budaya organisasi. Pararel dengan perubahan birokrasi ini, maka unsur-unsur organisasi dan sistem-sistemnya juga harus mengalami proses adaptasi sehingga gagasan dan harapan-harapan untuk berubah bukan hanya sekedar impian utopis.
Wajah birokrasi saat ini sudah sedikit bercahaya, itupun karena tuntutan dan kritikan yang lakukan oleh masyarakat kian gencar dan sulit dibendung oleh benteng kemapanan aparatus terhadap sistem yang memang sudah tertinggal. Fakta membuktikan respon positif dari pemerintah ditandai dengan distribusi sebagian kewenangan yang selama ini hanya dierami oleh pemerintah pusat kini mulai dinikmati oleh daerah, dan lagi-lagi pemerintah berupaya terbangun dari stagnasi paradigma lamanya.
Menyertai proses perubahan sebagaimana disebutkan di atas, maka pemerintah juga harus melakukan penataan dalam budaya organisasi. Penataan budaya organisasi ini harus menyentuh kerak-kerak dasar mental model individu yang ada di dalamnya, karena budaya organisasi merupakan akumulasi dari budaya-budaya individu.
Budaya atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan “culture”. Andrew Pettigrew mengatakan bahwa dalam konteks perubahan internal organisasi perlu memperhatikan sumber daya, kapabilitas, budaya dan politik. Budaya organisasi menjadi salah satu faktor yang sangat menentukan dalam membawa perubahan-perubahan organisasi, dan Johon Kottler melihat bahwa kultur bukanlah sesuatu yang bisa dimanipulasi dengan mudah.
Terlepas dari ungkapan para ahli di atas, budaya birokrasi kita masih perlu direkonstruksi kembali sesuai dengan dinamika perubahan yang terjadi. Mengingat intelektual, mental dan spiritual birokrat tempo doeloe masih banyak terawetkan dalam benak pemerintah, sehingga penyakit-penyakit lama seperti korupsi, kolusi serta nepotisme masih sering mencederai harapan masyarakat dan lagi-lagi melukai proses kuncup-kuncup perubahan yang mulai tumbuh.
Jika saja ada ilmu penyakit birokrasi (patologi birokrasi) dan dilakukan pembedahan terhadapnya, maka ahli bedah yang paling tepat adalah robot, karena mereka tidak perlu diimunisasi. Kalau masih manusia biasa yang berusaha menjinakkan penyakit birokrasi tersebut, maka kekebalan tubuhnya dengan sangat mudah dikontaminasi virus berbahaya ini, kenapa? Karena penyakit ini berada dalam sistem yang besar, sementara dokter-dokternya juga berada dalam sistem itu.
Beberapa tahun yang lalu sebuah lembaga independen untuk transparansi Indonesia menyatakan bahwa negeri tercinta ini merupakan negara terkorup ketiga di dunia. Ada anekdot dibalik survey ini, bahwa sesungguhnya Indonesia merupakan negara terkorup satu didunia, tapi karena kita hebat lobi dan nyogok maka peringkat itu bisa diatur. Belum lagi beberapa penelitian yang menujukkan bahwa kinerja aparatur kita masih berada dalam kriteria rendah. Kualitas sumber daya apartur menyedihkan, perilakunya menjengkelkan dan masih hidup lagi.
Bongkar budaya biokrasi!, budaya apa yang dibongkar?. Jawabanya sederahana dan Anda semua bisa menjawabnya. Budaya yang perlu disehatkan adalah apa yang disebut dengan penyakit birokrasi itu sendiri. Yang sulit untuk dijawab adalah bagaimana menyehatkannya?. Konsep teori menyatakan perlu peningkatan kinerja melalui kemampuan, motivasi dan sikap perilaku. Konsep yang paling mutakhir juga menyebutkan perlu kecerdasan intelektual, mental dan spiritual. Tetapi sayangnya teori begitu mulus untuk diurai dan kenyataan membantah sulit untuk dlakukan.
Berikut langkah-langkah rill dalam pencanangan perubahan di dalam kultur organisasi oleh Osborne dan Plastrik yang menuliskan perlu mengubah kebiasaan (menciptakan pengalaman baru), menyetuh Perasaan (mengembangkan pemufakatan baru) dan mengubah pikiran (mengembangkan model mental baru). Menurut Kottler adalah : perubahan adalah langkah akhir, bukan langkah awal : sebagian besar perubahan norma-norma dan nilai-nilai yang diyakini bersama merupakan langkah akhir dalam sebuah proses transformasi.
Perubahan yang terjadi dalam struktur pemerintah dan pemerintahan harus dibarengi dengan proses adaptasi nilai, sikap dan perilaku pegawai sehingga akan terbentuk budaya organisasi yang mapan dan sesuai dengan arah perubahan. Apapun rencana dan rancangan perubahan dibuat dalam sistematika yang panjang, tetapi syarat utama yang harus dimiliki oleh agen-agen perubah adalah niat dan komitemen yang kuat untuk mau berubah serta konsistensi atas gagasan itu.
Sekarang persoalan menjadi sederhana bila agen-agen kunci dalam perubahan mau berubah. Artinya bila pimpinan-pimpinan kita memiliki komitmen dan konsistensi, maka gerbang baru dalam budaya birokrasi terbuka lebar untuk berubah. Dengan kata yang lebih sederhana lagi, jika kita mau memongkar budaya birokrasi, maka bongkar dulu budaya pipimpinanya.
Pertanyaan terakhir yang perlu kita renungkan adalah : beranikah Anda, saya dan kita semua melakukan itu ?. Berani menepuk air didulang walaupun terpercik muka sendiri?. Kalau bisa hari ini kenapa tunggu sampai hari esok!. Bangkit dan lakukan hari ini juga melalui perubahan dirimu sendiri!.
Selamat mencoba..!!.