tag:blogger.com,1999:blog-50819274556658964372024-02-19T23:43:39.038+07:00Risman Kudrat Umar"BERBAGI UNTUK SEMUA"Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06032929108363771251noreply@blogger.comBlogger14125tag:blogger.com,1999:blog-5081927455665896437.post-51505272705319429172013-04-22T12:26:00.000+07:002013-04-22T12:26:15.322+07:00KOPROL<br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgdpd6_9RsoaMsg_otWdxrN22IZ-foyZHgaDN3loQnULSESTajVEjDnkobqOVuVY905g6vui6Cg68CSknpPcljQRE9PoKAep_kaRKJhanP4GWXh76Kvc0VKxVMSoNIh_oxNO_5xR3iVkyQ/s1600/KOPROL.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgdpd6_9RsoaMsg_otWdxrN22IZ-foyZHgaDN3loQnULSESTajVEjDnkobqOVuVY905g6vui6Cg68CSknpPcljQRE9PoKAep_kaRKJhanP4GWXh76Kvc0VKxVMSoNIh_oxNO_5xR3iVkyQ/s1600/KOPROL.jpg" height="320" width="242" /></a><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">“Koprol”,
demikian kata itu menjadi populer
dalam bahasa keseharian masyarakat Gorontalo beberapa tahun terakhir ini. Kata
yang sebelumnya jarang dituturukan orang, karena maknanya sempit, terbatas penggunaannya
dalam bahasa olah raga saja, namun kini, kata tersebut telah digunakan dalam
beragam momen dan situasi, bahkan fenomenanya
menembus hampir seluruh strata masyarakat kita. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">“Koprol” yang sesungguhnya berarti “gerakan berguling
kedepan” (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008), berubah menjadi kata yang
berbeda jauh dari arti sebelumnya (semantis). Akhir-akhir ini famil</span><span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">iar </span><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">di</span><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 11.0pt;"> </span><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">telinga kita kata koprol
dibahasakan, seperti: “pejabat koprol”, “proposal koprol”, “program koprol”, “pertanyaan
koprol”, “cerita koprol”, “politik koprol”, aspirasi koprol dan seterusnya…
atau dalam kalimat yang lebih panjang, misalnya: “kalau ingin jabatan tertentu,
kenapa harus koprol?”.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;"> Mencermati contoh dan pemisalan penggunaan
kata koprol pada kalimat-kalimat di atas, mendekatkan kita pada terminologi
baru dari kata koprol yang secara sederhana dapat diartikan: upaya mempengaruhi.
Namun berbeda dengan definisi kepemimpinan. Dalam beberapa teori menyebut</span><span style="color: red; font-size: 13.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;"> </span><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">kepemimpinan
adalah </span><span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">“</span><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">upaya mempengaruhi</span><span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">” </span>(<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Mis: Stephen J.Carrol & Henry L.Tosj (1977) atau
Harold Koontz (1989)</span>.<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;"> Walaupun sama-sama berati cara mempengaruhi, namun kepemimpinan
berusaha mempengaruhi bawahan, tapi koprol adalah cara bawahan untuk
mempengaruhi pimpinan/atasan. Sayangnya, definisi terakhir ini juga belum cukup
memadai untuk digunakan. Karena sering terdengar celetukan, “pimpinan koprol”,
atau “politisi koprol kepada rakyat”. Untuk menghindari penyamaan kata “koprol”
ini dengan kata “menjilat”, mungkin juga dapat diartikan sebagai “atraksi”,
entah itu sandiwara atau serius untuk menarik perhatian atasan ataupun bawahan
dengan cara memuji, mengelu-elu guna tujuan tertentu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Memungkinkan kita semua bisa mendefinisikan sendiri
arti dan makna kata “koprol”</span><span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 11.0pt;"> itu</span><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">. Tetapi,
yang paling menarik</span><span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 11.0pt;"> adalah</span><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;"> kata
“koprol” asosiasinya tidak jauh dari bahasa birokrasi dan politik. Entah siapa
dan sejak kapan, kemudian kata tersebut menjadi sedemikian populer. Penulis
meyakini kata ini awalnya merupakan bahasa simbolik untuk mengaburkan situasi rahasia
dan negatif menyertai makna sesungguhnya yang ini disampaikan oleh penuturnya. Kurang
lebih sama dengan kata “apel malang” dan “apel washington” yang digunakan untuk
mengaburkan “uang rupiah” dan “uang dolar” dalam kasus korupsi. Namun apapun
itu, kini “koprol” menjadi kata fenomenal dan telah menempatkannya dalam terminologi
birokrasi dan politik Gorontalo. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Jika kata koprol diterima menjadi sebuah terminologi
baru dalam praktek serta komunikasi birokrasi
dan politik, maka kita sulit menghindari dari tuduhan negatif. Betapa tidak,
akibat dari koprol itu seseorang dengan bermodal “mencari muka” akan mencapai
tujuan politik ataupun kariernya. Kurang menjadi soal ketika tujuan yang
didapat dengan cara koprol tersebut berbanding lurus dengan kualitas dan
kapabilitas. Tetapi menjadi sesuatu yang lain bila hasil koprol tersebut
melahirkan kebijakan ataupun pilihan yang tidak sesuai dengan aturan dan
regulasi dalam patron birokrasi dan politik.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Di tengah harapan untuk mereformasi birokrasi dan
menata iklim politik yang lebih baik, koprol menjadi salah satu momok yang menghantui prinsip egaliter pemerintahan dan
demokrasi substantif. Koprol ini adalah bahasa yang baru, namun pada tataran
praktek, sebenarnya koprol adalah cara-cara sudah berlangsung lama. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Memaknai tulisan ini, saya tiba pada satu hipotesa
hubungan antara jabatan karier dan kekuasaan politik. Birokrat cenderung
menggunakan cara-cara politis untuk meningkatkan kariernya, sementara penguasa
cenderung menawarkan jabatan tertentu untuk memuluskan hasrat</span><span style="color: red; font-size: 13.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;"> </span><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">politiknya.
Hipotesa ini merupakan asal mula dari lahirnya nepotisme. Sebuah paktek
simbiosis mutualisme yang diharamkan oleh undang-undang korupsi, kolusi dan
nepotisme (baca: KKN).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Lumrah suatu zaman melahirkan tata bahasa baru.</span><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 11.0pt;"> </span><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Namun jika kita merenungi peribahasa yang menyebutkan “bahasa menunjukkan
bangsa”, maka nyatalah koprol merupakan langkah mundur dalam sistem birokrasi
dan politik kita.<o:p></o:p></span></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06032929108363771251noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5081927455665896437.post-41986149764591525332013-04-15T15:04:00.000+07:002013-04-15T16:40:31.785+07:00MENDOBRAK MANDULNYA ASPIRASI DESA<br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Sesugguhnya sebelum konsepsi modern mengatur tatanan
kehidupan masyarakat, jauh sebelum itu sosiokultur mayarakat di Indonesia telah
memiliki tradisi dalam mekanisme keterlibatan dalam pembangunan. Nenek moyang
kita memiliki konsep gotong royong sebagi bentuk kerja sama dalam melaksanakan
suatu kegiatan, entah itu kegiatan lintas masyarakat ataupun antar masyarakat
dengan negara (pemerintah). Leluhur Gorontalo misalnya, memiliki konsep <i>huyula</i> ataupun <i>tiayo</i> dalam membalut kebersamaan untuk berkontribusi nyata dalam
pembangunan. Daerah lain juga memiliki tradisi yang hampir sama.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Saat ini kearifan-kearifan nasional dan lokal di atas,
dimodifikasi dan disesuaikan dengan konteks kemajuan Iptek dan zaman yang
kemudian melahirkan terminologi baru. Kini “gotong royong”, “<i>hyula</i>” dan “<i>tiayo</i>” berganti nama menjadi “partisipasi”. Walaupun secara istilah
telah berganti nama tapi secara substansial, nilai-nilai tidak berubah bahkan
meningkat karena sentuhan manajemen modern. Kalau dulu diminta maupun tidak
oleh pemerintah, masyarakat senantiasa bahu-membahu untuk membangun karena ada
masalah dan kepentingan bersama memajukan kelompok atau komunitas. Kini model
itu diorganisir, difasilitasi serta dimanej agar kerja sama menjadi efektif dan
efisien.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Partisipasi masyarakat model klasik kini diperluas
tidak sebatas pada pelaksanaan kegiatan semata, tetapi telah melingkupi seluruh
proses pembangunan (sejak dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan pengawasan).
Bentuk paling nyata dari keterlibatan masyarakat tingkat bawah dalam
perencanaan pembangunan saat ini sering kita dengar dengan model Musyawarah
Rencana Pembangunan (Musrenbang). Tak tanggung-tanggung gagasan musyawarah ini digali
bahkan dari tingkat dusun.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Tak ada yang masalah dengan itu semua!. Keresahan masyarakat
desa muncul setelah diskusi panjang bahkan berujung perdebatan sengit “di
arena” Musrenbang berakhir dengan kenyataan “pepesan kosong”. Prioritas
pembangunan melalui usulan Musrenbag-Des yang dikawal oleh para delegasi untuk
diperjuangkan di tingkat kecamatan sampai dengan kabupaten, “menguap” di tengah
jalan, entah “disunat” oleh siapa?. Dengan tidak mengesampingkan ada juga hasil
Musrenbang-Des yang terakomodir dalam APBD, namun lebih banyak dari dokumen
tersebut sekedar tumpukan berkas.<b><o:p></o:p></b></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<b><span style="font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Ilusi Musrenbang<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Kekecewaan yang terus berulang dari fakta “pepesan
kosong“ Musrenbang-Des berefek domino terhadap partisipasi masayarakat. Tidak
mengherankan disejumlah desa Musrenbang-Des mejadi ritual yang kian sepi.
Padahal tiap kali pelaksanaan Musrenbang-Des, sesaat itu pula terbetik harapan
masyarakat untuk mengatasi persoalan desa mendapatkan energi dahsyat. Sayangnya
energi itu melemah seiring dengan tidak terakomodrinya prioritas usulan dalam
APBD. Lebih aneh lagi ada beberapa desa yang mengusulkan satu kegiatan tidak
hanya sekali dilakukan, tetapi dihampir setiap tahun pelaksanaan Musrenbang-Des,
namun sampai berakhirnya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM-Des) lima
tahunan, lagi-lagi usulan tersebut tak pernah terrealisasi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Sejumlah alasan mengapa usulan dari Musrenbang-Des
seakan ilusi. <i>Pertama</i>: Antara
kebutuhan Desa dengan ketersediaan anggaran pemerintah daerah tidak sebanding. Jika
ditotalkan seluruh usulan dari masing-masing desa bisa mencapai angka triliun.
Di sisi yang lain kemampuan anggaran pemerintah daerah hanya dikisaran angka
miliaran. Itu pun tidak semuanya untuk belanja pembangunan. Sebagian besar APBD
dialoksikan untuk belanja aparatur/pegawai. Sehingga sangat wajar hanya
sebagian kecil saja dari usulan Musrenbang-Des dapat di realiasikan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<i><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Kedua</span></i><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">:
Usulan-usulan yang disampaikan desa cenderung tidak relevan (bersesuaian) dengan
program dan kegiatan Pemerintaha Daerah yang tergambar dari RPJM kabupaten/kota.
Sementara pemerintah berupaya untuk menjalankan program dan kegiatan dalam RPJM
tersebut untuk mewujudkan visi dan misi.
Kenyataan ini mengharuskan Satuan Kerja Perangka Daerah (SKPD)
mengeliminir usulan-usulan hasil Musrenbang-Des yang tidak berkorelasi dengan
tujuan pemerintahan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<i><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Ketiga</span></i><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">: tidak
kuatnya argumentasi prioritas usulan sehingga pengambil keputusan tidak
memiliki landasan keyakinan untuk mengakomodir usulan tersebut kedalam APBD.
Terkadang pula terjadi inkonsistensi usulan yang disampaikan oleh masyrakat desa
melalui jalur Musrenbang-Des dengan keinginan masyarakat yang disampaikan
kepada para anggota legislatif melalui Jaringan Aspirasi Masyarakat. Pada
kenyataan yang seringkali terjadi perencaaan melalui jalur politik (oleh
anggota DPRD) yang <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Ketiga alasan di atas cukup normatif untuk menawar rasa
kecewa sekaligus rasa ingin tahu masyarakat yang terus mempertanyakan “nasib”
usulan dari Musrenbang-Des. Dan tidak hanya itu, sejumlah penelitian juga
menujukkan ternyata APBD seringkali diwarnai oleh keinginan (baca:
opportunistik) sebagian elit eksekutif maupun legislatif terutama untuk
kepetingan proyek, dan atau kepetingan politik.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; text-align: justify; text-indent: 1.0cm;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Tetapi apapunm alasannya, jawaban tersebut di atas belumlah
utuh ketika sebagian kita tidak memahami bahwa satu-satunya kemampuan
pemerintah desa dalam menyelesaikan urusan pemerintahan dan pembangunan adalah Anggaran
Pembangunan dan Belanja Desa (APB-Des) itu sendiri, dan tidak ada selebihnya.
Pemahaman ini mempertegas bahwa usulan melalui Musrenbang-Des tersebut adalah
harapan sekaligus permohonan kepada pemerintah supra desa yang <b><u>tak pasti adanya</u></b>. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span style="font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Sesaat setelah kita memahami ketidakpastian “nasib”
usulan melalui Musrenbang-Des melalui APBD dan satu-satunya yang dapat
memberikan kepastian realiasi usulan tersebut hanyalah APB-Des, maka sementara
waktu kita bisa bersimpulan bawah sekeras apapun aspirasi yang disampaikan
masyarakat melalui Musrenbang-Des, maka aspirasi tersebut tetaplah “mandul” dan
tak memiliki daya dobrak mempuni bagi para pengambil keputusan. Simpulan ini
sekaligus mengantarkan kita pada pertanyaan apa yang semestinya dilakukan oleh
desa untuk memperkuat keberadan usulan yang dibahas secara partisipatif oleh masyarakat
agar tidak sekedar ilusi?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<b><span style="font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Setetes Inovasi<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span style="font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Sejak awal Pemerintah melakukan penguatan terhadap
keuangan desa, dengan membuat kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD) yakni bagian dari</span><span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 11.0pt; mso-bidi-font-weight: bold;"> dana </span><span style="font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-size: 11.0pt; mso-bidi-font-weight: bold;">perimbangan</span><span style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 11.0pt; mso-bidi-font-weight: bold;"> </span><span style="font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-size: 11.0pt;"> keuangan</span><span style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 11.0pt; mso-bidi-font-weight: bold;"> </span><span style="font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-size: 11.0pt; mso-bidi-font-weight: bold;">yg
</span><span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 11.0pt; mso-bidi-font-weight: bold;">diterima </span><span style="font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-size: 11.0pt; mso-bidi-font-weight: bold;">pemerintah
daerah sebesar 10% u</span><span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 11.0pt; mso-bidi-font-weight: bold;">n</span><span style="font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-size: 11.0pt; mso-bidi-font-weight: bold;">t</span><span lang="IN" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 11.0pt; mso-bidi-font-weight: bold;">u</span><span style="font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-size: 11.0pt; mso-bidi-font-weight: bold;">k desa. Bagi pemerintah daerah yang memiliki
pendapatan besar tentu berimbas pada ADD yang besar pula. Tetapi sebaliknya
daerah-daerah dengan pendapatan rendah, maka ADD untuk masing-masing desa juga
rendah, dan inilah yang paling banyak. Secara rata-rata ADD untuk setiap desa
tidak lebih dari dua ratus juta pertahun. Angka ini masih dibagi dengan biaya
aparatur yang ada didesa. Praktis anggaran untuk </span><span style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-font-size: 11.0pt; mso-bidi-font-weight: bold;"> </span><span style="font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-size: 11.0pt; mso-bidi-font-weight: bold;">pembangunan kurang
dari seratus juta per tahunnya.</span><span style="font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-size: 11.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span style="font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Minimnya anggaran untuk pembangunan desa yang tercermin
dari ADD, menempatkan Musrenbang sebagai tempat penampungan mimpi-mimpi desa
menjadi wilayah yang diperebutkan dengan lobi-lobi anggaran. Sebagian permerintah daerah (kabupaten/kota)
di Indonesia telah mengendus kelemahaman sistem Musrenbang, dan memahami dampak
buruk dari kelemahan tersebut terahadap tingkat partisipasi masyarakat dalam
pembangunan. Solusi merujuk pada
pemikiran untuk memperkuat basis penerimaan desa melalui kebijakan-kebijakan
pro desa.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span style="font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Kabupaten Sumedang misalnya, pada Tahun 2007 membuat
satu kebijakan yang mereka sebut dengan </span><span lang="PT-BR" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: PT-BR; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Pagu
Indikatif Kewilayahan (PIK). Adalah sejumlah patokan batas maksimal anggaran
yang diberikan kepada kecamatan berbasis kewilayahan yang penentuan alokasi
belanjanya ditentukan oleh mekanisme partisipatif melalui Musrenbang Kecamatan
dengan berdasarkan kepada kebutuhan dan prioritas program yang mendesak
berdimensi strategis kewilayahan.</span><span style="font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-size: 11.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="PT-BR" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: PT-BR; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Mengokohkan
kebijakan tersebut, Pemerintah Daerah Kabupaten Sumedang merumuskannya dalam
bentuk Peraturan Daerah. Dimana dari total PIK tersebut didistribusikan dengan
metode 25% dibagi rata kesemua kecamatan dan 75% dibagikan secara proporsional,
menggunakan sejumlah variabel seperti sosial,ekonomi dan geografis.</span><span style="font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-size: 11.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="PT-BR" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: PT-BR; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Tahun
2012 Kabupaten Gorontalo membuat terobosan dengan program satu kecamatan satu
miliar (1k1m). Kebijakan ini kurang lebih sama dengan semangat Kabupaten
Sumedang untuk mereduksi kekurangketerjaminan usulan prioritas desa dalam
praktek Musrenbang sebelum-sebelumnya. Namun berbeda dengan Sumedang, Progaram
1k1m Kabupaten Gorontalo belum diformulasi dalam regulasi daerah. Sementara
dalam distribusinya menggunakan pendekatan pemerataan untuk tiap kecamatan
sedangkan distribusi ke setip desa diserahkan kepada masing-masing Camat. </span><span style="font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-size: 11.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span lang="PT-BR" style="font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: PT-BR; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Jika
program ini berkelanjutan, tentu merupakan langkah maju namun perlu pembenahan
disejumlah hal. </span><span style="font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-size: 11.0pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 1cm;">
<span style="font-size: 12.0pt; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Ditengah serotan aspirasi masyarakat desa yang
terkadang terabaikan oleh keterbatasan pemerintah, tidak serta merta pisimisme
itu dibiarkan. Percayalah! Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
sesungguhnya terus melakukan upaya dan usaha. Semoga saja tidak sebatas wacana
tentang perjuangan 10% APBN untuk pemerintah desa atau perjuangan sejumlah
elemen tentang <i>one million one vilage </i>(satu
miliar satu desa). Semabari menggelayut mimpi kesejahteraan masyarakat desa, kita
tetap besabar… <o:p></o:p></span></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06032929108363771251noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-5081927455665896437.post-28871484717501702162013-04-15T15:00:00.001+07:002013-04-15T16:40:27.193+07:00DPD “BUS GRATIS” MENUJU SENAYAN<br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Mendekati tahapan pencalonan anggota
DPR, DPD dan DPRD, nampak “kegalauan” menghampiri sejumlah bakal Calon Anggota Legislatif
(Caleg). Kegalauan tersebut dipicu oleh dua hal penting. <i>Pertama</i>, jumlah Partai Politik yang akan menjadi peserta Pemilu
2014 berkurang drastis, dari 38 Parpol pada Pemilu sebelumnya, kini tinggal 10
Parpol saja. <i>Kedua</i>, Pasal 54, UU No. 8 Tahun 2012 yang menyebutkan “Daftar
bakal calon memuat paling banyak 100% (seratus persen) dari jumlah kursi pada
setiap daerah pemilihan. Berbeda dengan Pemilu 2009 dimana daftar bakal calon
memuat paling banyak 120% dari jumlah kursi setiap Dapil.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Pemilu 2009 diikuti oleh 38 Parpol
dengan memperebutkan 560 krusi DPR, sehingga terdapat kurang lebih 25.536 orang
yang terdaftar sebagai Caleg di seluruh Indonesia. Namun dengan hanya 10 Parpol
kontestan Pemilu 2014, maka total seluruh Caleg tidak lebih dari 5.600 orang
saja, atau hanya 21,92% dari jumlah Caleg pada Pemilu 2009. Bila diasumsikan semua
Caleg pada Pemilu 2009 berhasrat kembali untuk mendaftarkan diri, maka terdapat
78,08% yang tidak akan mendapatkan porsi tempat duduk lagi di Parpol sebagai “kendaraan”
menuju Calon Anggota DPR.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Saat ini Parpol menjadi bus yang
penuh sesak, bahkan para Caleg membentuk baris antrian yang sangat panjang. Paprol
tidak hanya disesaki oleh Caleg dari kadernya sendiri, tetapi juga akan
disesaki oleh “penumpang gelap” dari Parpol lain. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Berkurangnya Parpol peserta Pemilu merupakan
berita baik bagi penyederhanaan partai dalam rangka mendukung sistem
presidensial. Berita buruknya, berkurangnya Parpol menyebabkan minimnya armada angkut
Caleg, sementara permintaan terlalu banyak. Kondisi ini mendorong hukum ekonomi
berlangsung dimana harga tiket akan melonjak drastis dan hanya dimampui oleh
kalangan berduit. Jika ini yang terjadi, maka petaka demokrasi baru saja dimulai
dari pintu baru bernama proses pen-Caleg-kan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Entah mengapa? Armada yang bernama
DPD kurang diniminati para politisi. Di Provinsi Gorontalo misalnya, Pemilu
Tahun 2004 jumlah politis yang mencalon diri untuk menjadi anggota DPD
sebanyak 20 orang. Pemilu berikutnya
(Tahun 2009) justru jumlahnya mengalami penuruan menjadi 19 calon saja. Merujuk
teori peluang, maka menjadi calon anggota DPD lebih besar peluang terpilihnya
bila dibandingkan peluang terpilih menjadi anggota DPR.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Para politis “berburu” menjadi Caleg
DPR, padahal selain peluang keterpilihan rendah, juga penumpangnya banyak,
ditambah lagi dengan tiket mahal. Di sisi yang lain DPD merupakan kendaraan
dengan daya angkut dan kapasitasnya tak terbatas plus tiket yang tidak terlalu
mahal. Sepanjang memiliki dukungan sesuai ketentuaan, maka berhak untuk
mencalonkan diri sebagai anggota DPD.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Dugaan besar jumlah Caleg pada Pemilu
kali ini akan berimbang antara jumlah Caleg DPR melalui Partai Politik dengan
Caleg DPD melalui jalur dukungan rakyat. Dan bila dugaan ini benar, maka penambahan
jumlah Caleg DPD tersebut berkolerlasi dengan
berkurangnya daya tampung Parpol yang bisa membawa Calegnya ke
Senayan. Dan bila lagi-lagi dugaan ini
benar, maka seolah DPD menjadi kelas ke dua setelah DPR. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Sebuah paradigma yang kurang elok
dalam sistem bi kameral kita.<o:p></o:p></span></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06032929108363771251noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5081927455665896437.post-77509948100299290102013-04-15T14:57:00.000+07:002013-04-15T16:40:09.781+07:00SIMULASI KETIKA METODE PERHITUNGAN PEROLEHAN SUARA BERUBAH<br />
<div style="background-color: white; color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 19.5px;">
(Tulisan ini dibuat saat DPR membahas UU Pemilu 2014, diposting kembali kepada pembaca blog, semoga bermanfaat)</div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 19.5px;">
<br /></div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 19.5px;">
<br /></div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 19.5px;">
Pemilu 2014 masih jauh, namun aroma pertarungan partai sudah dimulai. Sejumlah partai berbeda pendapat tentang metode penghitungan suara. Begitu penting metode dalam penghitungan suara karena inilah alat yang digunakan untuk mengkonversi suara menjadi kursi di parlemen. Terdapat empat metode yang menghangat didiskusikan, yakni dua usulan mengusung Metode Kuota, seperti yang diterapkan pada Pemilu 1955 hingga 2009. Dua usulan lainnya menawarkan Metode Divisor, untuk mengganti Metode Kuota yang dinilai kurang “adil”.</div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 19.5px;">
Metode kuota mungkin mudah dipahami karena seperti pemilu sebelumnya dimana suara dihitung berdasarkan kuota atau yang sering kita kenal dengan Bilangan Pembagi Pemilh (BPP). Namun metode yang ditawarkan oleh Partai Golkar dan PKS, yakni metode devisior varian D'Hondt dan Sainte-Lague kedengaran asing ditelinga kita. Walaupun dalam terminologi politik hal ini sudah banyak diadopsi oleh negara-negara lain.</div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 19.5px;">
<br /></div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 19.5px;">
Secara operasional kedua varian dari metode dIvisior diatas hampir sama, yang bereda hanya pada deret ukur yang digunakan untuk Bilangan Pembagi Tetap. Bila pada varian D’Hondt digunakan deret 1,2,3,4,5 dan seterusnya, sedangkan pada varian Sainte-Lague ala PKS digunakan deret angka 1.4,3,5,7 dan seterusnya.</div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 19.5px;">
<br /></div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 19.5px;">
Hasil simulasi yang saya lakukan terhadap kedua varian tersebut pada hasil perolehan suara Pemilu 2008 di Kabupaten Gorontalo hasilnya tidak memiliki perbedaan terhadap perolehan kursi DPRD. Namun akan berbeda jauh hasilnya bila dibandingkan dengan metode kuota pada Pemilu 2008.</div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 19.5px;">
<br /></div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 19.5px;">
Misalnya saja jika saat ini partai Hanura hanya memiliki 5 kursi, namun bila digunakan metode devisior baik varian D’Hondt dan Sainte-Lague akan bertambah 1 kursi. Selain Hanura, Partai-partai besar juga akan diuntungkan dengan metode ini. Golkar misalnya akan ketambahan 2 kursi, PPP akan ketambahan 2 kursi dan PDIP ketambahan 1 kursi. Disisi yang lain partai-partai seperti PPRN,PKS,PBR dan Partai Demokrat masing-masing akan kehilangan 1 kursi sedangkan untuk PBB yang saat ini memiliki 2 kursi jika digunakan metode devisior ini akan kehilangan semua kursinya di DPRD. Satu-satunya partai yang tidak berubah jumlah kursinya dengan kedua model perhitungan ini hanyalah PAN.</div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 19.5px;">
<br /></div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 19.5px;">
Hasil simulasi ini menunjukkan bahwa parati-partai kecil akan semakin sulit untuk eksis. Tidak hanya di DPR namun sampai pada tingkat DPRD. Hal ini sangat mudah dijelaskkan dengan matematis karena semakin kecil bilangan pembaginya makan akan semakin baik bagi partai yang memiliki perolehan suara besar.</div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 19.5px;">
Jika metode kuoata yang saat ini isunya semakin kuat diparlemen akan mewarnai perubahan undang-undang pemilu hendaknya Anggota DPRD kabupaten/kota turut berhitung. Apalagi bila <em>parliamentary threshold </em>juga<em> </em>akan diberlakukan sampai pada tingkat DPRD. Andai ini yang terjadi maka lebih dari separuh anggota DPRD akan menjadi penikmat kursi “haram”</div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 19.5px;">
<br /></div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 19.5px;">
Bersambung…</div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 19.5px;">
<br /></div>
<div style="background-color: white; color: #333333; font-family: 'lucida grande', tahoma, verdana, arial, sans-serif; font-size: 13px; line-height: 19.5px;">
<span class="photo " style="padding: 0px;"><img alt="" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-f-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash4/400168_135105503271738_1023071191_n.jpg" style="border: 0px; margin: 0px; max-width: 620px; padding: 0px;" /></span></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06032929108363771251noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5081927455665896437.post-40256736137336084752013-04-15T14:34:00.000+07:002013-04-15T16:40:40.909+07:00Ketika Golput Diproduksi Sistem dan Penyelenggara<br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 17.85pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm;">
<b>Tinjauan
Historis<o:p></o:p></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 17.85pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm;">
Pemilu pertama Indonesia dilakukan
pada tahun 1955, saat itu istilah Golongan Putih (GOLPUT) belumlah dikenal
dalam tradisi kepemiluan. Namun faktanya pada waktu itu terdapat pemilih yang
tidak menggunakan hak pilihnya sebesar 12,34% dari total pemilih. Dikemudian
hari orang-orang yang tidak menggunakan hak pilihnya tersebut dicap Golput.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 17.85pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm;">
Golput sendiri dikenal ditingkat
masyarakat luas kurang lebih 16 tahun
setelah Pemilu pertama digelar, tepatnya pada tanggal 3 Juni 1971 saat
Indonesia memasuki Pemilu kedua. Golput pertama kali merupakan “gerakan moral”
yang oleh Arief Budiman disebut “gerakan bukan untuk mencapai kemenangan
politik, tetapi lebih untuk melahirkan tradisi dimana ada jaminan perbedaan
pendapat dengan penguasa dalam situasi apa pun”.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 17.85pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 17.85pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm;">
Golput seringkali ditafsirkan dengan
orang-orang yang tidak menggunakan hak pilihnya. Walaupun pemahaman ini tidak
keliru tetapi tidak sepenuhnya benar. Merujuk pada histori lahirnya Goput
sebagai gerakan moral, itu artinya Golput dilakukan dalam wilayah sadar oleh
pemilihnya. Namun orang-orang yang tidak menggunakan hak pilih tidak semuanya
bisa dikatakan Golput. Bisa jadi ada pemilih yang tidak menggunakan hak pilih
diluar dari kesadarnya, dan lebih disebabkan oleh produksi sistem atau maladminstrasi
penyelenggara kepemiluan. Dalam konteks ini Golput menjadi masalah serius.
Untuk kegunaan tulisan ini Golput diartikan orang yang tidak menggunakan hak
pilihnya entah itu sadar atau tidak.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 17.85pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 17.85pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm;">
Sejak Pemilu 1955 angka Golput cenderung
naik. Bila dihitung dari pemilih tidak datang dan suara tidak sah, Golput pada
Pemilu 1955 sebesar 12,34%. Pada pemilu 1971, ketika golput dicetuskan dan
dikampanyekan, justru mengalami penurunan hanya 6,67%. Sampai dipenghujung Orde
Baru (Pemilu 1997) angka partisipasi pemilih mencapai 94.63%, angka Golput
berkisar hanya 5,37% saja. Pemilu terakhir (Tahun 2009) angka Golput telah
mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah. Kurang lebih 29% masyarakat pemilih
tidak menggunakan haknya di Pemilu. Sulit untuk menjastifikasi angka sebesar
itu dilakukan secara sadar oleh kurang lebih 49 juta lebih pemilih. Angka
tersebut sekaligus dapat membenarkan dugaan sejumlah pihak yang memunculkan
pandangan bahwa pemilih bisa Golput karena sistem pendataan atau kelalaian
penyelenggara Pemilu.</div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 17.85pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 17.85pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm;">
<b>Bentuk
Golput Produksi Sistem<o:p></o:p></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 17.85pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm;">
Penyelenggaran Pemilu sebelumnya
(Tahun 2009) tingkat partisipasi pemilih yang sangat rendah, juga di lain pihak
terdapat sejumlah warga negara yang telah berhak memilih namun luput dari
pendataan. Hal ini sesungguhnya sudah
bisa diduga sebelumnya karena sistem pendataan yang digunakan kurang tepat,
dimana Pemilu legislatif menggunakan pendataan berbasis Kartu Tanda Penduduk
(KTP) dan bukan basis domisili. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 17.85pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm;">
Pendataan dengan basis KTP memiliki keunggulan sekaligus kelemahan dalam
saat yang bersamaan. Kelemahan mendasar pendataan model ini adalah pemilih yang
karena urusan tertentu sampai dengan hari pemungutan tidak berdomisili sesuai
dengan alamt KTP sudah bisa dipastikan tidak akan bisa menggunakan hak pilihnya
(baca: Golput) karena KTP dengan domisili pemilih berbeda. Dikemudian hari Penyelengara
pada periode itu memperbaiki basis pendataan dari KTP kependataan dengan basis
domisili pada Pemilu Pilpres. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 17.85pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 17.85pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm;">
Hal lain yang juga cukup penting dan sekaligus berpengaruh terhadap
pendataan pemilih adalah stelsel yang digunakan. Terdapat dua stelsel dalam
pendataan, yakni stelsel aktif dan setelsel pasif. Pada stelsel aktif, pemilih
digugah untuk secara aktif mengecek dan memastikan namanya telah terdaftar
sebagai pemilih. Secara teknis, penyelenggara (petugas pendataan pemilih) membuat daftar pemilih sementara. yang
kemudian mengumumkan daftar tersebut ditempat-tempat yang mudah diakses oleh
pemilih. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 17.85pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 17.85pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm;">
Metode ini merupakan pesan regulasi, namun cenderung tidak realistis.
Dapat dibayangkan seseorang yang karena kesibukan aktivitasnya masih harus meluangkan
waktu mencari pengumuman hanya untuk mengecek namanya berada di dalam daftar
pemilih. Dan lagi-lagi potensi pemilih
untuk Golput dengan stelsel ini lebih besar bila dibandingkan dengan stelsel
pasif, dimana penyelenggaralah yang aktif menemui pemilih untuk didata
sekaligus dipastikan mereka terdaftar sebagai pemilih.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 17.85pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 17.85pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm;">
<b>Bentuk
Golput Produksi Penyelenggara<o:p></o:p></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 17.85pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm;">
Luis De Sipio, dkk, mencatat tiga
kategori warga negara yang tidak berpatisipasi dalam Pemilu. <i>Pertama</i>, <i><span lang="IN">Registered Not Voted </span></i><span lang="IN">: yaitu kalangan warga Negara yang memiliki hak
pilih dan telah terdaftar namun tidak menggunakan hak pilih. </span>Kedua, <i><span lang="IN">Citizen-not Registered </span></i><span lang="IN">: yaitu kalangan warga Negara yang
memiliki hak pilih namun tidak terdaftar sehingga tidak memiliki hak pilih.</span><span lang="IN"> </span><i>Ketiga</i>, <i><span lang="IN">Non-Citizen </span></i><span lang="IN">: Mereka yang dianggap bukan warga negara (penduduk
suatu daerah) sehingga </span>t<span lang="IN">idak</span><span lang="IN"> </span><span lang="IN">memiliki hak pilih.</span><o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 17.85pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 17.85pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm;">
Penyelenggara Pemilu (baca: KPU)
berkontribusi atas terjadinya Golput pada dua kategori di atas (<i><span lang="IN">Registered Not Voted</span></i> and <i><span lang="IN">Citizen-not Registered</span></i>). Kelalaian penyelenggara berakibat Golput
ini dapat terjadi pada dua momen penting, yakni pada saat pelaksanaan
pendaftaraan dan saat menjelang hari pemungutan suara. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 17.85pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 17.85pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm;">
Keitidakcermatan penyelenggaran pada saat pelaksanaan pendataan pemilih
bisa menyebabkan pemilih tidak terdaftar (luput dari pendaataan), atau seorang
pemilih terdaftar lebih dari sekali. Kedua-duanya akan berakibat pada jumlah
partisipasi pemilih. Kelalaian pertama berakibat pemilih tidak mungkin bisa
masuk TPS karena tidak terdaftar. Sementara pemilih yang terdaftar lebih dari
sekali hanya menggunakan hak pilihnya sekali, sehingga menyebabkan data pada rekpitulasi
pemilih yang tidak menggunakan hak pilih menjadi besar, padahal secara faktual
pemilih yang bersangkutan telah menggunakan haknya, tetapi tidak dengan data.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 17.85pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 17.85pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; text-align: justify;">
Alasan lain pemilih untuk Golput adalah
tidak mendapatkan undangan untuk memilih. Kebiasaan menjelang hari pelaksanaan
Pemilu, pemilih akan menerima undangan memilih di TPS dimana ia terdaftar. Proses
ini dilakukan oleh penyelenggara Pemilu di tingkat bawah (baca: KPPS). Disaat
yang sama KPPS juga mempersipakan logistik Pemilu dan membangun TPS. Kondisi
keterbatasan dan ketersibukan penyelenggara, selain alasan lain dari pemilih
yang tidak ditemukan alamatnya oleh KPPS, menyebabkan sampai dengan hari
pemilihan, undangan tidak sampai ditangan pemilih.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 17.85pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 17.85pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm;">
Didalam peraturan memang telah disebutkan bahwa tanpa undangan untuk
memilih seseorang yang telah terdaftar dapat menggunakan hak, hanya dengan
menunjukkan KTP. Namun bagi pemilih yang terbiasa dengan Pemilu yang harus
terdaftar dan mendapatkan undangan hal tersebut menjadi sesuatu yang berbeda.
Cenderung mereka untuk tidak menggunakan hak pilihnya. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 17.85pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 17.85pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 17.85pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm;">
<b><span style="font-size: 11.5pt;">Pemilu 2014, Pemilu Pembenahan<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 17.85pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 17.85pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-size: 11.5pt;">Kelemahan pendataan pemilih, dari segi sistem maupun
penyelenggara untuk 2014 terjadi pembenahan yang cukup signifikan. Dalam Pasal
34 UU Nomor 8 Tahun 2012 (baca: UU Pemilu) tegas disebutkan bahwa saat
pendaftaran dilakukan, maka petugas pendaftar akan memberikan tanda bukti telah
terdaftar bagi Pemilih. Cara ini merupakan penegasan perubahan stelsel
pendaftaran dari stelsel aktif menjadi stelsel pasif. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 17.85pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 17.85pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-size: 11.5pt;">Pemilu 2014 juga memberi peluang kepada pemilih yang
luput dari proses pendaftaran untuk dapat menggunakan hak pilihnya (Pasal 149) dengan
membawa KTP ke TPS di RT/RW atau nama
lain sesuai dengan alamat yang tertera di dalam KTP.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 17.85pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0cm; margin-left: 17.85pt; margin-right: 0cm; margin-top: 0cm; text-align: justify;">
<span style="font-size: 11.5pt;">Dengan sejumlah perubahan mendasar tersebut,
undang-undang ingin memastikan semua warga negara yang telah memiliki hak pilih
dapat menggunkan haknya. Walau demikian, penyelenggara Pemilu perlu
mensosialisasikannya kepada seluruh masyarakat, terutama kepada masyarakat yang
masih bertradisi harus terdaftar dan atau mendapatkan undangan untuk dapat
memilih.<o:p></o:p></span></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06032929108363771251noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5081927455665896437.post-66038633446195979602013-04-09T16:41:00.001+07:002013-04-09T16:41:32.359+07:00Perempuan Di Pusaran Sistem Pemilu “Pertarungan Bebas”<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: left; margin-right: 1em; text-align: left;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://beritawan.com/image/rTs9iCQtcA.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; margin-bottom: 1em; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="http://beritawan.com/image/rTs9iCQtcA.jpg" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Gbr : Ilustrasi ( <a href="http://beritawan.com/image/rTs9iCQtcA.jpg">beritawan.com</a> )</td></tr>
</tbody></table>
<div style="text-align: justify;">
Beberapa saat yang lalu, di media ini (Gorontalo Post: edisi Rabu, 13 Maret 2013), saya membaca sebuah artikel yang ditulis oleh: Nurdiana Sultan, SH dengan judul: <b>Strategi Peningkatan Keterwakilan Perempuan di Parlemen</b>. Walaupun sesungguhnya banyak artikel yang telah membahas tema perempuan dalam konteks politik. Namun tulisan Nurdiana Sultan, SH menarik karena tiga strategi penting yang beliau sebutkan dalam persepsinya, bahwa “Kelompok perempuan harus membangun kekuatan politik dengan menyusun strategi baik melalui pengaturan dalam UU Pemilu maupun pendekatan kepada partai-partai politik sebagai peserta Pemilu dan juga kepada masyarakat umum”.
Angka-angka yang menggambarkan representasi kaum perempuan pada lembaga legislatif (DPR dan DPD), masih jauh dari harapan. </div>
<div style="text-align: justify;">
Jumlah calon DPR perempuan pada Pemilu 2009 sebanyak 3.894 orang dari total Calon Legislatif (baca Caleg) 11.225 orang atau 34,69%. Prosentasi tersebut telah melampaui pesan UU Pemilu yang mensyaratkan minimal 30% keterwakilan perempuan dalam daftar Caleg.
Hasil Pemilu menunjukkan ternyata tingkat keterpilihan kaum perempuan masih jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan pria/laki-laki. Pemilu 2009 mencatat jumlah perempuan yang terpilih sebagai anggota DPR hanya 99 orang saja dari 560 kursi yang diperebutkan. Angka tersebut setara dengan 17,68%. Bandingkan dengan kaum pria yang memperoleh kursi sebanyak 461 atau sama dengan 82,32%. Di lembaga DPD, keterwakilan perempuan lebih baik dari DPR. Jumlah perempuan yang terpilih sebagai anggota DPD sebanyak 35 orang atau sama dengan 26,51%.
Menarik untuk membicarakan kelompok perempuan dalam perhelatan Pemilu, karena dua hal penting:Pertama: Kebijakan affirmative action dalam UU Pemilu dinilai oleh sebagian yang lain belum memberi dampak signifikan terhadap representasi perempuan di parlemen; Kedua: Zipper System dalam penentuan Daftar Calon (DCT) kurang bermakna bagi penguatan kelompok perempuan ketika sistem Pemilu menetapkan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Kondisi ini menimbulkan sejumlah pertanyaan mendasar. Benarkah UU Pemilu berpihak kepada perempuan?; Adakah yang salah dengan sistem Pemilu?
Pemilu 1999 dan sebelumnya, tak pernah dijumpai kata “perempuan” dalam regulasi Pemilu. Perhatian terhadap eksitensi perempuan muncul pada penyelenggaraan Pemilu 2004 sampai dengan saat ini. Pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 (baca: UU Pemilu), kata “perempuan” disebut sebanyak 15 kali. Sementara kata “laki-laki” atau ”pria” tak pernah disebut. Hal ini mengindikasikan dengan jelas bahwa aturan Pemilu memiliki keberpihakan terhadap kaum perempuan. Kebijakan semacam ini yang sering kita dengar dengan istilah affirmative action.
Kebijakan affirmative action bisanya digunakan untuk mensetarakan satu golongan yang berposisi “lemah” pada satu urusan atau bidang tertentu. Dalam rezim Pemilu “keberpihakan positif” untuk meningkatkan eksitensi perempuan di parlemen diakomodir melalui pasal yang menyebutkan “Daftar bakal calon memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan”.
Selain kebijakan affirmative, ada juga kebijakan lain yang dirumuskan dalam UU Pemilu dan berpihak kepada kaum perempuan. Kebijakan tersebut nampak Pasal 56 ayat 2 yang menyatakan “Di dalam daftar bakal calon, setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan”. Sistem ini yang kemudian dikenal dengan istilah Zipper System.
Memperkuat ketentuan UU Pemilu, maka KPU melalui peraturan tentang pencalonan lebih mempertegas lagi bahwa Parpol yang tidak dapat memenuhi ketentuan 30% keterwakilan perempuan dan atau tidak mencantumkan sekurang-kurangnya satu orang perempuan disetiap tiga bakal calon pada daftar calon, maka Parpol tidak dapat mengikuti Pemilu pada daerah pemilihan tersebut. Memaknai semangat regulasi Pemilu kali ini, maka sulit untuk membenarkan perespsi yang mengatakan bahwa Pemilu kurang berpihak pada kaum perempuan.
Argumentasi yang menyebutkan bahwa kebijakan affirmative action dan zipper system kurang bermakna ketika sistem Pemilu merumuskan bahwa “Calon terpilih ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara terbanyak”. Argumentasi ini dapat dijelaskan dengan dua pernyataan berikut:
Pertama, semua sistem Pemilu (election system) yang digunakan disetiap negara merupakan pilihan. Tidak ada sistem Pemilu yang buruk, yang ada adalah sistem Pemilu yang tidak sesuai dengan karakter demokrasi dari sebuah bangsa; Kedua, pilihan satu sistem dengan sistem yang lain dalam Pemilu idealnya harus berkorelasi/berhubungan. Sistem Pemilu harus dibangun dengan asas rasional dan logis.
Oleh karena itu pilihan sistem Pemilu yang menetapkan sistem proporsional dengan stelsel daftar terbuka maka semestinya dipadukan dengan sistem penentuan calon yang memperoleh suara terbanyak. Demikian pula sebaliknya. Bila regulasi Pemilu memilih sistem prororisonal dengan daftar tertutup, maka logis bila digunakan sistem penentuan calon terpilih berdasarkan nomor urut. Menjadi tidak rasional bila sistem yang digunakan daftar terbuka sementara penentuan calon terpilih menjadi tertutup (berdasarkan nomor urut).
Kebijakan affirmative action dan zipper system untuk memperkuat representasi kaum perempuan diparlemen, tidak mesti diikuti dengan penentuan calon terpilih berdasarkan nomor urut. Karena hal tersebut tidak rasional dan sulit dimungkinkan. Jika stertegi ini terus diperjuangkan oleh kaum perempuan, dan bila pada akhirnya menjadi nyata, maka yang terjadi justeru “tirani kaum lemah”.
Masih banyak strategi yang dapat dilakukan oleh kaum perempuan dalam merepresentasi suara mereka di parelemen. Strategi-strategi tersebut sudah banyak pula dipaparkan oleh para pemerhati dan organisasi pergerakan perempuan.
Di tengah “pertempuran bebas” (bahasa penulis: menggambarkan sistem penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak), maka penulis sepakat dengan pandangan Nurdiana Sultan, SH, yang sebaiknya melakukan “pendekatan kepada partai-partai politik sebagai peserta Pemilu” untuk memperkuat eksistensi dan peran perempuan dalam politik. Perempuan jangan hanya dijadikan “pelengkap derita”, untuk memuluskan syarat mengikuti Pemilu saja.
Sesungguhnya sangat banyak perempuan yang dapat dijadikan Caleg. Tapi apakah secara politik figurnya memiliki popularitas dan elektabilitas?. Tak sedikit perempuan yang kini menjadi tokoh. Tapi berapa banyak mereka yang menjadi tokoh tersebut berada di ranah politik?. Inilah yang menjadi soal yang seringkali menghangatkan diskusi. Oleh karena itu, Parpol sudah harus serius memperkuat kompetensi dan kapasitas perempuan melalui sistem pengkaderan atau memberdayakan kaum perempuan lewat sayap partai. Parpol tidak harus mencari-cari tokoh perempuan dari luar, tetapi sudah harus mengkristalkan tokoh-tokoh baru.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06032929108363771251noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5081927455665896437.post-38299954540102285602012-10-06T12:02:00.006+07:002013-04-09T16:49:03.728+07:00KEPALA DAERAH MUNDUR? (Menggugat Undang-Undang Pemilu)<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br />
<b>Pendahuluan</b><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://fbcdn-sphotos-a-a.akamaihd.net/hphotos-ak-snc6/255426_298840203564933_1852354132_n.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://fbcdn-sphotos-a-a.akamaihd.net/hphotos-ak-snc6/255426_298840203564933_1852354132_n.jpg" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
Undang-Undangg Pemilu baru saja di disahkan, tepatnya 11 Mei 2012. Walaupun terdapat pasal yang benar-benar baru dalam Undang-Undang tersebut, namun selebihnya merupakan pasal penyempurnaan dari undang-undang sebelumnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Salah satu pasal baru dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 adalah pasal 51 huruf k yang menyatakan “mengundurkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah…” untuk menjadi bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten. Demikian pula jika kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mencalonkan diri sebagai anggota DPD (pasal 12 hufuf k).</div>
<div style="text-align: justify;">
Pasal ini berpotensi untuk digugat karena terdapat sejumlah kenjanggalan hukum yang menyertainya. Kejanggalan-kejanggalan tersebut dapat dieksplor melalui pertanyaan: Pertama: Mengapa syarat mundur bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk menjadi calon legislatif tidak berlaku bagi presiden dan wakil presiden?. Padahal kedua jabatan tersebut sama-sama merupakan jabatan politik yang dipilih secara langsung oleh masyarakat melalui mekanisme Pemilihan Umum (Pemilu); Kedua: Mengapa kepala daerah dan wakil kepala daerah ketika mencalonkan diri sebagai bupati/wakil bupati maupun sebagai gubernur/wakil gubernur tidak harus mengundurkan diri, tetapi hanya menjalani cuti di luar tanggungan negara pada saat melaksanakan kampanye?. Padahal baik Pilkada maupun Pileg keduanya sama-sama Pemilu?; dan Ketiga: Apa argumentasi hukum ketika kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih untuk lima tahun kehilangan hak konstitusinya hanya karena mencalonkan diri menjadi anggota legislatif?. Padahal kepala daerah dan wakil kepala daerah behenti dari jabatannya yang diatur dalam UU Pemerintahan Daerah tidak menyebutkan tentang pengunduran diri ketika menjadi calon anggota legislatif.</div>
<div style="text-align: justify;">
Alasan Pembenaran</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Alasan pembenar mengapa kepala daerah dan wakil kepala daerah harus mundur ketika mencalonkan diri menjadi anggota legislatif adalah alasan pembusukan kekuasaan (abuse of power) serta alasan pertentangan kepentingan (conflict of interest). Penyalahgunaan kewenangan/kekuasaan patut dicurigai dilakukan kepala daerah dalam pelaksanaan Pemilu. sejumlah fakta juga memperkuat kecurigaan tersebut, dimana kepala daerah dengan kekuasaannya dapat menggerakan roda birokrasi dan diarahkan untuk mendukung kekuatan politik tertentu. Bisa jadi kekuatan birokrasi (baca: PNS) digunakan dalam mengkatrol suara ketika kepala daerah/wakil kepala daerah yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.</div>
<div style="text-align: justify;">
Dua bentuk penyalahgunaan kekuasaan kepala daerah dalam memperalat PNS sebagai kekuatan politik. Pertama: PNS merupakan bawahan yang dengan mudah ditekan/diintimidasi dengan bentuk mutasi bila tidak memberikan dukungan atau tidak memilih sesuai kehendak penguasa. Kedua: terjadi symbiosis mutualis, dimana PNS yang memberikan dukungan ditawarkan promosi jabatan pada posisi-posisi tertentu. Dikhawatirkan pula kepala daerah/wakil kepala daerah bila tidak mengundurkan diri menjadi calon anggota legislatif, maka dengan kekuasaannya akan memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan politik. Menggunakan program/kegiatan yang dibiayai APBD guna meningkatkan popularitas atau bentuk lain semisal membagi-bagikan proyek kepada Tim Sukses (TS).</div>
<div style="text-align: justify;">
Pembenaran berikutanya adalah menjamin pemerintahan daerah berjalan stabil tanpa kejutan-kejutan berarti (berganti kepemimpinan di tengah masa jabatan). Oleh karena itu kepala daerah diharapakan berkonsentrasi melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan, sementara di sisi yang lain kepentingan politik tidak mengganggu kebijakan-kebijakan pemerintaha daerah.</div>
<div style="text-align: justify;">
Menjadi kepala daerah/wakil kepala daerah dan menjadi anggota legislatif merupakan pilihan. Logika ini mendorong kondisi dilematis. Kepala daerah/wakil kepala daerah diperhadapkan dengan dua pilihan jabatan politik. Ketika kepala daerah/wakil kepala daerah yang hendak menjadi calon anggota legislatif harusnya mudur dari jabatannya sehingga pilihan untuk menjadi calon tidak sekedar mencoba-coba atau mengukur kekuatan politik semata.</div>
<br />
<b>Mengapa di gugat?</b><br />
<div style="text-align: justify;">
Pasal-pasal yang berhubungan dengan pengunduran diri kepala daerah dan wakil kepala daerah pada Undang-Undang Pemilu Tahun 2012 memiliki prespektif perlakuan yang tidak sama (unequal treatment). Selain perlakuan tidak sama, juga pasal tersebut telah merampas hak konstitusional dari kepala daerah maupun wakil kepala daerah yang semestinya memegang jabatan selama 5 (lima) tahun sejak pelantikan (Pasal 110 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004).</div>
<div style="text-align: justify;">
Berkaca pada Putusan Mahkamah Konstitusi (Putusan Nomor 17/PUU-VI/2008) pada beberapa tahun yang lalu mengenai gugatan materi terhadap ketentuan Pasal 58 huruf q Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan bahwa “Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat: q. Mengundurkan diri sejak pendaftaran bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang masih menduduki jabatannya”. MK berkesimpulan bahwa pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat (1) menyatakan: "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya". Pasal 28D ayat (1) menyatakan: "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum".</div>
<div style="text-align: justify;">
Dari putusan di atas nampak bahwa MK berpandangan tidak ada perbedaan antara presiden/wakil presiden maupun bupati/wakil bupati dalam konteks jabatan politik. Antar keduanya sama-sama sebagai pejabat negara yang berbeda hanya pada tingkatannya saja (pusat dan daerah). Perbedaan tingkatan tersebut tidak harus berimplikasi pada perbedaan pemberlakuan, karena baik Bupati maupun Gubernur sebagai kepala pemerintah di daerah dan Presiden selaku kepala pemerintah (pusat), sama-sama dipilih oleh rakyat melalui mekanisme pemilihan umum dengan asas dan metode yang sama.</div>
<div style="text-align: justify;">
Relevan dengan Pasal 51 huruf k UU Nomor 8 Tahun 2012 yang hanya menyebut kepala daerah/wakil kepala daerah tanpa menyebut presiden/wakil presiden mundur ketika menjadi calon anggota legislatif, mencederai rasa pemberlakuan setara antara sesama pejabat negara.</div>
<div style="text-align: justify;">
Kurang lebih tiga kali keberadaan Kepala Daerah yang hendak mencalonkan diri menjadi kepala daerah (baik menjadi bupati maupun gubernur) mengalami perubahan. Ketentuan pertama dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan kepala daerah tidak perlu mundur, tapi cuti sementara. Ketika UU Nomor 12 Tahun 2008 disahkan, disebutkan pada pada pasal 58 huruf q “mengundurkan diri sejak pendaftaran bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang masih menduduki jabatannya. Dikemudian hari pasal ini di gugat ke MK oleh H. Sjachroedin Zp, S.H. (Gubernur Lampung) dan gugatannya dikabulkan. Akhirnya sampai dengan saat ini kepala daerah/wakil kepala daerah tidak harus mundur ketika mencalokan menjadi bupati maupun gubernur.</div>
<div style="text-align: justify;">
Baik Pemilukada maupun Pemilu Legislatif (Pileg) lagi-lagi sama keberadaannya sebagai sarana menseleksi kepemimpinan. Pengunduran kepala daerah/wakil kepala daerah menjadi kurang adil bila hanya untuk satu Pemilu sementara pada Pemilu yang lain tidak perlu mundur. Di sini pula kemudian perlakuan pasal menjadi tidak konsisten.</div>
<div style="text-align: justify;">
Bila abuse of power maupun conflict of interest yang dijadikan alasan, maka fenomena dapat membuktikan bahwa jauh lebih besar potensi penyimpangan tersebut dilakukan pada saat Pilkada dari pada saat pelaksanaan Pileg.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pasal 110 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004, menyatakan “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan”. Sedangkan Pasal 51 ayat 1 huruf k UU Nomor 8 Tahun 2008 “Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan:… k). mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah…” Semakin parah lagi ketentuan ini dipertegas dengan pernyataan “surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik…” (ayat 2 huruf h). Akibatnya bagi kepala daerah yang berhajat untuk menjadi calon anggota legislatif harus mundur ditengah jalan. Sementara hak konstitusionalnya untuk memegang jabatan lima tahun sebagai kepala daerah terabaikan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Hanya 3 (tiga) alasan Kepala Daerah dapat berhenti dari jabatannya, yakni: meninggal dunia; permintaan sendiri; atau diberhentikan. Mengundurkan diri bagi kepala daerah ketika mencalonkan anggota legilatif yang disyaratkan oleh UU Nomor 8 Tahun 2012 merupakan bentuk pemaksaan. Sementara terdapat cara lain yang dapat ditempuh dengan tidak harus mengundurkan diri, yakni “cuti di luar tanggungan negara”.</div>
<br />
<b>Simpulan</b><br />
<div style="text-align: justify;">
Kepala daerah merupakan pihak yang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya pasal 51 huruf k UU Nomor 8 Tahun 2012, sehingganya hanya kepala daerah yang mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk menggugat Undang-Undang ini. Namun keterusikan nilai keadilan sebagai bahasa universal, membuat masalah ini layak dipercakapkan oleh siapapun.</div>
<div style="text-align: justify;">
Selain inkonsistensi aturan atas keberadaan kepala daerah/wakil kepala daerah dalam Pemilu, dimana pada Pilkada hanya menjalani cuti di luar tanggungan negara sedangkan pada Pemilu Legislatif kepala daerah harus mengundurkan, Pasal 51 UU Nomor 8 Tahun 2012 juga telah merampas hak konstitusional kepala daerah. Tak hanya itu, pasal tersebut berlaku dikriminatif, dengan tidak memperlakukan setara terhadap jabatan politik presiden/gubernur/bupati yang secara bersama-sama dipilih melalui asas dan metode Pemilu yang sama. Jikalau untuk kasus yang sama diperlakukan berbeda dan masalah yang berbeda diperlakukan sama, maka itulah ketidakadilan. GUGAT!</div>
<br /></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06032929108363771251noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5081927455665896437.post-81487583047019420842012-10-06T11:51:00.005+07:002012-10-06T11:51:38.833+07:00BUMERANG PEMILU ATAS NAMA PERLAKUAN SAMA<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<blockquote class="tr_bq">
Memungkinkan terjadi guncangan politik diseantero nusantara bila kekosongan hukum dibalik putusan MK terjadi. Ternyata bumerang itu tak hanya menimpa Parpol,tapi juga menghantam penyelenggara serta aturan kepemiluan!</blockquote>
<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://fbcdn-photos-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn1/564414_298090003639953_488463257_a.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://fbcdn-photos-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn1/564414_298090003639953_488463257_a.jpg" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<b style="text-align: left;">Pengantar</b><span style="text-align: left;"> </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: inherit;">Akhir-akhir ini seluruh KPU baik dari tingkat pusat sampai daerah menunjukkan geliat yang tidak biasanya. Geliat yang sama tidak hanya terjadi dilembaga penyelenggara pemilu saja, namun juga nampak di sejumlah kantor-kantor Partai Politik (Parpol) dari tingkat pusat, juga daerah provinsi dan kabupaten/kota bahkan sampai tingkat kecamatan.
Keputuasan Mahkamah Konstitusi (baca Putusan Nomor 52/PPU-X/2012) yang mengabulkan sebagian dari gugatan permohonan Partai Politik (Parpol) terhadap sejumlah pasal dalam Undang-Undang Pemilihan Umum Nomor 8 tahun 2012. Bak gong yang ditabuh bagi seluruh Parpol untuk berlomba menyediakan sejumlah syarat agar dapat menjadi peserta Pemilu 2014 nanti. Kian menegangkan ketika bersamaan dengan putusan tersebut tahapan pelaksanaan Pemilu sudah dimulai dan Parpol diperhadapkan dengan limit waktu sempit, sementara di sisi lain syarat yang dipenuhi lebih berat dari Pemilu sebelumnya.
Pengalaman masa lampau seakan mengingatkan kita pentingya belajar dari sejarah. Periode Pemilu 2008 Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pasal yang kurang lebih mirip dengan kasus yang terjadi pada Pemilu kali ini. Pasal 316 UU Nomor 10 Tahun 2008 yang menghendaki Parpol yang tidak memenuhi Electoral Treshold (ET) atau tidak memiliki minimal 1 (satu) kursi di DPR untuk menjadi perserta Pemilu harus memenuhi sejumlah persyaratan. Pasal ini oleh MK dinilai merupakan ketentuan yang memberikan perlakuan yang tidak sama dan menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty) dan ketidakadilan (injustice) terhadap sesama Parpol Peserta Pemilu 2004 yang tidak mememenuhi ketentuan Pasal 315 UU 10 Tahun 2008 2008.
Pesan penting dari keputusan MK di atas bila diterima dengan baik oleh 560 anggota DPR perumus UU Nomor 8 Tahun 2012, maka pasal 8 tidak sesumbar diformulasi. Tapi apapun itu, kini gugatan yang diharapakan oleh sebagian parpol, telah dikabulkan oleh MK. Benarkah ini kabar baik bagi semua calon Parpol peserta Pemilu 2014 nanti?. Atau jangan-jangan putusan ini akan menjadi bumerang tidak hanya bagi Parpol-Parpol besar yang lolos Parlementary Treshold (PT), tetapi badai bumerang itu menghantam partai-partai baru, serta partai yang tidak lolos PT pada Pemilu sebelumnya. Tak hanya sampai disitu! Bumerang ini juga sangat mungkin menyandera tahapan Pemilu ditengah jalan dengan cara yang paling sederhana, sebagaimana diuraikan pada bagian tulisan ini. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<b><br /></b></div>
<b>Harapan Parpol diaminkan MK </b><br />
<div style="text-align: justify;">
Hasrat sejumlah elemen yang berkepentingan dengan Pemilu untuk menggugat pasal dalam Undang-Undang Pemilu sudah nampak sejak awal. Bahkan Undang-Undang tersebut masih dalam bentuk rancangan, gugatan sejumlah Parpol dan Organiasi Pemerhati Pemilu sudah masuk ke MK. Tercatat kurang lebih 17 Parpol dan sejumlah LSM menggugat Undang-Undang Pemilu yang masih berumur hari tersebut. Dari sejumlah pasal yang digugat, hanya 4 pasal yang kemudian dikabulkan oleh MK. Keempat pasal tersebut adalah: Pasal 8 ayat (1) dan (2), pasal 17 ayat (1), pasal 208 dan 209.
Empat pasal dimaksud memuat dua soal penting. Pertama, terkait dengan persyaratan Parpol untuk menjadi peserta Pemilu 2014, dimana pada ketentuan pasal tersebut menyebutkan bahwa Parpol yang sudah lolos PT secara otomatis ditetapkan sebagai peserta Pemilu, sementara Parpol-Parpol baru harus melewati sejumlah persyaratan tertentu.</div>
<div style="text-align: justify;">
Kedua ; pemberlakuan ambang batas perolehan suara Parpol yang sekurang-kurangnya harus memperoleh suara 3,5% dari jumlah suara sah nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota.
Benar adanya, kedua persoalan ini agaknya sulit untuk dinalar. Dimana partai politik harusnya perlakukan sama dan setara tanpa harus membeda-bedakan partai kecil dan partai besar. Juga rasa keadilan tak menerima bila penetapan calon anggota DPRD Provinsi dan kabupaten/Kota harus didasarkan pada perolehan suara anggota DPR di tingkat nasional. Walaupun pasal-pasal yang dibuat oleh 560 anggota parlemen tersebut memiliki argumentasi yang tidak sederahana, namun perdebatannya sudah harus berakhir dengan diamanikannya oleh MK tuntutan perubahan empat pasal di atas. </div>
<br />
<b>Implikasi Penting </b><br />
<div style="text-align: justify;">
Menarik!, perubahan sejumlah pasal tersebut membawa dampak besar tidak hanya bagi Parpol calon peserta Pemilu dan calon legislatif saja, tapi juga bagi penyelenggara dan peraturan kepemiluan itu sendiri turut beresonasi kuat merespon putaran bumerang. </div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: red;">Pertama</span>: partai-partai politik harus melewati prasyarat ketat sebelum ditetapkan menjadi peserta Pemilu 2014. Ketatnya syarat tersebut bisa dilihat dari sembilan persyaratan yang harus dipenuhi dimana lima diantaranya diyakini akan menguras waktu dan energi Parpol. Kelima syarat tersebut adalah: 1) memiliki kepengurusan di seluruh provinsi; 2) memiliki kepengurusan di 75% jumlah kabupaten/kota; 3) memiliki kepengurusan di 50% jumlah kecamatan di kabupaten/kota; serta 4) memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik ditingkat kabupaten/kota yang dibuktikan dengan kepemilikan Kartu Tanda Anggota (KTA). Dengan jumlah 495 kabupten/kota di Indonesia, maka untuk memenuhi ketentuan ini, Parpol harus memiliki kepengurusan sekaligus keanggotaan partai minimal di 372 kabupaten dan kota. Satu saja dari 372 kabupaten/kota tersebut dinyatakan tidak memenuhi syarat oleh KPU, maka harapan Parpol untuk menjadi peserta Pemilu 2014 hanya akan menjadi mimpi yang setiap lima tahun mimpi itu kembali terulang.
Bagi partai yang sudah mapan dan teruji oleh Pemilu-Pemilu sebelumnya persyaratan kepengurusan memungkinkan mereka untuk tidak terlalu bekerja keras memenuhi ketentuan tersebut karena jauh-jauh hari kepengurusan sudah tertata dan hanya membutuhkan pembenahan-pembenahan kecil. Tapi tidak dengan syarat memiliki keanggotan yang dibuktikan dengan KTA. Hal ini dapat dipastikan sulit karena hampir sebagian besar Parpol tidak memiliki basis anggota yang jelas dan pasti, sekalipun Parpol tersebut memperoleh suara yang banyak pada Pemilu sebelumnya.
Mencari, menemukan sampai dengan mendistribuskan KTA keseluruh anggota di 372 kabupaten/kota bukanlah sesuatu mudah.
Jika Parpol-Parpol besar saja ada kegalauan memenuhi persyaratan, apalagi dengan parpol-Parpol baru atau Parpol “kecil”?. Tidak bermaksud meremehkan semangat dan perjuangan Parpol tersebut, namun dibalik semangat dan perjuangan ini terdapat “lukisan” kerja dengan energi besar yang tentu dibayar dengan pengorbanan besar pula. </div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: red;">Kedua</span>: Verifikasi faktual tidak hanya dimaknai dengan mencocokan data KTA yang dimiliki oleh KPU dengan KTA yang dimiliki oleh masyarakat anggota partai. Verifikasi faktual menggunakan serangkaian metode dan teknis tertentu untuk mendapatkan informasi yang benar sampai pada kesimpulan cocok atau tidak. Definisi yang digunakan oleh aturan KPU terhadap verifikasi faktual ini adalah penelitian dan pencocokan (singkat: litcok, bukan coklit).
Bila saja 34 parpol yang dinyatakan lolos pendaftaran oleh KPU kali ini juga akan lolos pada verfikasi administratif, maka KPU kabupaten/kota sebagai penyelenggara pemilu juga akan bekerja ekstra. Jika rata-rata 34 Parpol tersebut menyodorkan 1.000 lembar KTA dan sampelnya 10% dari jumlah tersebut, maka ada 3.400 sampel yang akan diverifikasi secara faktual selama 24 hari saja. Atau rata-rata perhari KPU kabupaten/kota akan memverifikasi sebanyak 142 KTA. Dari 3.400 sampel tersebut dapat dipastikan mereka tidak berkumpul disatu tempat, tapi berpencar sampai didusun-dusun terpencil bahkan ada diantara mereka yang menghuni lereng-lereng gunung. Kesulitan ini menjadi minimal bila anggaran dan sarana/prasarana tersedia, serta Sumber Daya Aparatur KPU kabupaten/kota kualitas dan kuantitasnya berbanding lurus dengan beban kerja. Tapi bagaimana bila tidak?. Di sejumlah KPU kabupaten/Kota disaat yang bersamanaan sedang mempersiapkan/ menyelenggarakan pelaksanaan Pemilu kepala daerah. Tak ada pilihan KPU kabupaten/kota untuk memprioritaskan satu dengan yang lainnya karena kedua tahapan ini sama penting untuk dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan. </div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: red;">Ketiga</span>: untuk sementara waktu sistem presidensial bersabar dibalik bayang-bayang parlementer karena upaya perlahan-lahan menyederhanakan partai belum bisa terwujud. Ditakdirkannya Pasal 208 dan 209 berakhir ditangan MK membawa implikasi Parpol yang menjamur dari Pemilu ke Pemilu masih akan mewarnai pelaksanaan pesta demokrasi lima tahunan. Parpol yang tidak lolos PT dan tanpa perwakilan partai di DPR namun akar-akarnya di daerah tidak tercabut sehingga memungkinkan Parpol tersebut tumbuh kembali di Pemilu berikutnya. Putusan MK atas pasal ini benar adanya untuk mengakomodir aspirasi lokal (baca: daerah) sebagai bagian dari semangat reformasi dan perkembangan demokrasi Indonesia.
Asa untuk menggapai efektivitas dan efisiensi Parpol kedepan masih terbuka. Setidaknya DPR periode berikutnya dapat mengutak atik angka PT yang saat ini hanya 3,5%. Jalan untuk menkokohkan sistem presidensial dengan angka 3,5% masih sulit terwujud, maka perlu dipikirkan untuk meningkatkan angka tersebut ke level yang lebih aman dikisaran 7% sampai dengan 10%. Namun perjuangan ke arah itu membutuhkan lobi panjang dan melelahkan serta besarnya gelombang resistensi dari Parpol-Parpol “gurem”. </div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: red;">Keempat</span>: Memungkinkan terjadi guncangan politik diseantero nusantara bila kekosongan hukum dibalik putusan MK akan terjadi. Andai saja pasal 8 undang-undang Pemilu 2012 tidak dianulir oleh MK maka dapat dipastikan minimal sembilan Parpol yang akan mengikuti Pemilu 2014 (Parpol yang lolos PT). Namun ketika pasal tersebut berubah dengan mengharuskan semua Parpol melewati pintu verifikasi diikuti dengan pemenuhan syarat yang cukup berat, maka sangat terbuka peluang terjadi kondisi dimana semua calon partai politik tidak memenuhi syarat dan tidak lolos menjadi peserta pemilu. Situasi yang sama juga akan terjadi manakala hanya ada satu porpol yang lolos verifikasi. Langkah apa yang harus dilakukan oleh penyelenggara Pemilu?, bagaimana solusi undang-undang mengatasi hal ini?.
Semua pasal di dalam UU Pemilu 2012 labil untuk menjawab persoalan di atas. Hukum mana yang dapat dirujuk?. Mengandaikan kekosongan hukum ini lebih lanjut, maka sangat mungkin pula tahapan Pemilu dapat disandera oleh Parpol di tengah jalan dengan cara yang paling sederhana.
Jika kondisi yang dikhawatirkan di atas menjadi fakta, maka Putusan MK tidak hanya bumerang bagi Parpol tapi sekaligus menjadi bumerang bagi penyelenggara dan peraturan Pemilu.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06032929108363771251noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5081927455665896437.post-12772500235087968882012-01-09T15:58:00.002+07:002012-01-09T16:01:36.029+07:00INILAH CINTAKU<div style="text-align: justify; color: rgb(0, 0, 0);">Tak ada kata kompromi dalam cinta, karena cinta adalah cinta dan tak ada kata lain yang bisa mewakili keindahannya. Engkau bagai melayang di awan yang harum diatapinya jiwamu dengan pelangi bahagia. Serasa ingin menelannya karena kita semua haus akan dia. Tak ada satu pun jiwa yang terhapuskan dahaganya oleh cinta, kerena dia juga memabukkan. Kala cinta sesungguhnya merambat dan memasuki aliran nafasmu, maka senyum kan merekah walau kematian mengetuk pintu kehidupanmu.<br /><br />Para pencari cinta takkan menemukan dimana cinta berada.<br />Renungku menolak bahwa ukuran cinta adalah perpisahan, tapi aku setuju jika takaran cinta adalah kerinduan, dan ukuran kerinduan pun bukan perpisahan, tapi kesatuan. Kerinduan ibarat gaya gravitasi, yang bila semaki dekat, maka semakin kuat daya tariknya.<br /><br />Di dunia ini air tersuci adalah air mata cinta, dan air terkotor adalah air mata kemunafikan. Engkau merasakan separuh jiwa yang mati bila ditinggalakan cinta , tapi engkau tidak pahami jika cinta telah menyelimutimu maka tak pernah ada perpisahan. Jasadmu mungkin tak bisa bersanding dengan yang engkau cintai, tapi jiwamu akan terus menjadi bayang-bayang kemana pun cinta itu melangkah.<br /><br />Para pencinta sejati hanya meneteskan air mata atas nama kerinduan bukan untuk memiliki.<br />Jika tujuan cinta hanya untuk memiliki maka yakinlah itu adalah nafsu. Namun jika engkau tak mampu menahan rindu yang abadi, mendekatlah dan peluklah dia. Tapi ingatlah wahai pencinta, walapun alam raya bergetar seiring pelukan rindumu terhadap dia, yakinlah dia adalah dia dan engkau bukan dia.<br /><br />Cinta dan rindu ibarat rembulan dan cahayanya<br />Cinta dan rindu bagaikan api dan dan panasnya<br />Cinta dan rindu laksana Tuhan dan mahluknya<br />Suka yang mendatangkan kerinduan itulah cinta<br />Suka dengan hasrat untuk memiliki itulah nafsu<br /><br />Seniman terhebat adalah para pencinta sejati<br />Manusia terpintar adalah para pencita sejati<br />Sosok yang paling kuat dalah para pencinta sejati<br /><br />Para pencinta sejati ibarat pohon yang rindang digurun tandus, mengalir dibawahnya air jernih<br />Para pencinta sejati adalah guru yang diamnya merupakan pengajaran dari ilmu suci nan putih<br />Para pencinta sejati segala perkataannya adalah doa yang diaminkan oleh barisan malaikat<br />Para pencinta sejati sanggup menuntunmu walau engaku berjalan dimalam gelap dan pekat<br />Para pencinta sejati dihatinya terukir keindahan, kedamaian, dan kebebasan paripurna<br />Para pencinta sejati sapuan tangannya adalah kasih dan sayang yang tulus tak bernoda<br />Para pencinta sejati setan-setan lari ketakutan mendengar namanya apalagi melihatnya<br /><br />Hampir semua manusia menginginkan keabadian, namun pencita menginginkan kematian, tapi itu adalah sebuah kebodohan yang membedakan pencinta dan pencinta sejati.<br />Jangan engkau mencari cinta. Rasakanlah karena dia ada dan sangat dekat denganmu.<br />Aku hendak meluruskan pemahamanmu bahwa mencintai itu lebih mudah dari pada dicintai.<br />Tapi yang sesungguhnya adalah mencintai itu jauh lebih indah daripada dicintai.<br />Jangan sekali-kali melepas cinta. Jika engkau melepasnya disaat yang sama pintu neraka terbuka dan derita yang tak terperikan menyambutmu dalam sejarah kegelapan. Cinta boleh meredup tapi jangan sampai dia padam.( Makassar 11/3/2007)</div>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06032929108363771251noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5081927455665896437.post-91867367921514857882012-01-09T15:29:00.005+07:002012-01-09T15:50:40.278+07:00SURAT TERBUKA UNTUK “NKRI”<span style="font-style: italic; color: rgb(255, 0, 0);">“Masyarakat telah memilih. dan kenyataan NKRI adalah pemenang!.Upaya untuk menggugat keputusan KPU di Mahkamah Konstitusi juga tak mampu mengubah takdir Tuhan "</span><br /><br /><div style="text-align: justify;">Lima Tahun kedepan genderang pemerintahan dan pembangunan Gorontalo ditabuh dengan semangat “Karya Nyata”. Tak tanggung-tanggung ada janji yang terungkap untuk menggratiskan pendidikan dan kesehatan ditegah kehausaan masyarakat akan keadilan hak-haknya!. Semoga bukan sekedar “Karya Kata”.<br /><br />Terlepas dari itu semua, ada hal lain yang juga sama pentingnya untuk dibenahi, yakni terkotak-kotaknya pemerintahan antara kabupaten dan kota paska Perhelatan Pemilu Gubernur Gorontalo.<br /><br />Masyarakat mahfum keberadaaan kandidat pada Pemilu Gubernur kemarin adalah para penguasa diwayahnya masing-masing. Juga masyarakat mahfum bahwa sebagian besar para bupati dan walikota yang bukan kontestan juga memiliki jagoannya masing-masing. Kaplingan kekuasaan ini sekaligus mewarnai pilihan politik masyarakat. Realitas itu tak dapat dihakimi oleh siapa pun. Karena perilaku politik masyarakat adalah sebuah tatanan peradaban yang dikonstruksi oleh infromasi, lingkungan dan alamnya.<br /><br />Kemenangan NKRI juga adalah kemenangan Rakyat Gorontalo. NKRI kini menjadi Gubernur seluruh Rakyat Gorontalo bukan hanya Gubernur para Tim Sukses atau para pemilhnya saja. Itulah cita demokrasi yang luhur. Karena Pemilu hanyalah instrumen seleksi “kekuasaan”. Bukan tujuan!.<br /><br />Jika kita semua sepakat dengan hal itu, maka adalah kewajiban kita untuk bersama mensukseskan visi dan misi NKRI. Menakhodai provinsi ini lima tahun kedepan bukanlah sesuatu yang mudah tapi bisa dan jauh lebih baik bila dilakukan secara bersama-sama.<br /><br />Sangatlah keliru bila kebencian terhadap pilihan politik akan menyebabkan kita berlaku tidak adil.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Sekali lagi selamat...</span>!!!<br /></div><br />* <span style="color: rgb(255, 0, 0); font-style: italic;">NKRI (Nyata Karya Rusli Idris) Pasangan Calon Pemenang Gubernur dan Wakil Gubernur Gorontalo (Ruli Habibie dan Idris Rahim)</span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06032929108363771251noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5081927455665896437.post-34261604238404828292008-11-10T20:34:00.007+07:002008-11-11T18:53:27.963+07:00PERUBAHAN PATOLOGI BIROKRASI KE ETIKA PEMERINTAHAN MELALUI PRINSIP GOOD GOVERNANCE<span style="font-size:100%;"><span style="font-family:trebuchet ms;">Reformasi dalam amanatnya menegaskan bahwa hapus praktek korupsi, kolusi dan nepotisme sebagai konsekuensi dari tuntutan masyarakat dan tuntutan perubahan paradigma. Sektor publik dalam perubahan paradigma barunya telah menegaskan pula bentuk dan model birokrasi yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, transparan dan pengelolaan administrasi yang akuntabel, melalui perubahan sistem dan pemangkasan struktur birokrasi serta model administrasi dan pemerintahan yang baik (good governance).</span><br /><span style="font-family:trebuchet ms;">Fenomena menarik untuk dicermati dan diangkat kepermukaan adalah, masih adanya praktek-praktek penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab pada tingkat managerial birokrasi, sehingga indikasi ke arah paradigma baru pemerintahan dan etika pemerintahan dalam penilaian publik belum sesuai dengan amanat reformasi.</span><br /></span><span style=";font-family:trebuchet ms;font-size:100%;" id="fullpost" ><span style="font-weight: bold;">A. Good Governance Sebagai Agenda Reformasi</span>.<br /><span style="font-style: italic;">1. Patologi dan Birokrasi</span><br />Patologi merupakan bahasa kedokteran yang secara etimologi memiliki arti “ilmu tentang penyakit”. Sementara yang dimaksud dengan birokrasi adalah : "Bureaucracy is an organisation with a certain position and role in running the government administration of a contry" (Mustopadijaja AR., 1999). Dengan demikian dapat dilihat bahwa birokrasi merupakan suatu organisasi dengan peran dan posisi tertentu dalam menjalankan administrasi pemerintah suatu negera.<br />Prof. Dr. Sondang P. Siagian, MPA., (1988) mengatakan bahwa pentingnya patologi ialah agar diketahui berbagai jenis penyakit yang mungkin diderita oleh manusia,……Analogi itulah yang berlaku pula bagi suatu birokrasi. Artinya agar seluruh birokrasi pemerintahan negara mampu menghadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul baik bersifat politi, ekonomi, soio-kultural dan teknologikal………<br />Risman K. Umar (2002) mendifinisikan bahwa patologi birokrasi adalah penyakit atau bentuk perilaku birokrasi yang menyimpang dari nilai-nilai etis, aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan serta norma-norma yang berlaku dalam birokrasi.<br />Lebih lanjut Sondang P. Siagian (1988) menuliskan beberapa patologi birokrasi yang dapat dijumpai, antara lain :<br />• Penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab<br />• Pengaburan masalah<br />• Indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme<br />• Indikasi mempertahankan status quo<br />• Empire bulding (membina kerajaan)<br />• Ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko<br />• Ketidakpedulian pada kritik dan saran<br />• Takut mengambil keputusan<br />• Kurangnya kreativitas dan eksperimentasi<br />• Kredibilitas yang rendah, kurang visi yang imajinatif,<br />• Minimnya pengetahuan dan keterampilan, dll.<br /><span style="font-style: italic;">2. Good Governance</span><br />Secara etimologi good adalah “baik” dan governance adalah “kepemerintahan”, jadi good governance dapat diartikan “kepemerintahan yang baik”. Word Bank mendefinisikan sebagai the way state power is used in managing economic and social resources for development of society. Dari definisi ini dapat dilihat bahwa good governance merupakan suatu jalan atau cara dalam mengatur ekonomi, sumber daya sosial untuk membangun atau mengembangkan masyarakat.<br />UNDP memberikan definisi good governance sebagai hubungan yang sinergi dan konstruktif di antara negara, sektor swasta dan msyarakat. Adapun karakterisitik good governance menurut UNDP (dalam LAN dan BPK dan Pembangunan 2000), adalah:<br />• Participation. Ssetiap warganegara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung mapun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingan. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartsipasi secara konstruktif.<br />• Rule of law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk hak azasi manusia.<br />• Transparancy. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses-proses, lembaga-lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitoring.<br />• Responsiveness. Lembaga-lembaga atau proses-proses harus mencoba untuk melayani setiap stakeholders.<br />• Equity. Semua warganegara, mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.<br />• Effectiveness and efficiency. Proses-proses dan lembaga-lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin.<br />• Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat bertanggung jawab kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.<br />Strategic vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai prespektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini.<br /><span style="font-weight: bold;">B. Good Governance Sebagai Agenda Reformasi</span>.<br />Semangat reformasi politik yang mulai bergulir di Indonesia sejak tahun 1997 adalah pembalikan karakteristik tatanan politik yang telah terpola selama beberapa dekade. Sentralisme penyelenggaraan pemerintahan ingin dibalik menjadi tatanan yang desentralistik, dan otoritarianisme ingin dibalik menjadi tatanan pemerintahan yang demokratis. Regime kesemena-menaan penguasa ingin diganti dengan regime pemihakan terhadap rakyat. Meskipun kenginan untuk melakukan perubahan ke arah tersebut telah meluas, perubahan itu sendiri tidak bisa berjalan dengan sendirinya. Perubahan tersebut hanya bisa difahami sebagai hasil tarik ulur antara para pelaku politik utama. Hal ini sangat jelas terlihat kalau kita pahami proses reformasi dari kerangka berfikir transisi menuju demokrasi.<br />Reformasi ini tidak bisa diprogram secara teknokratik oleh pemerintah. Persoalannya, dalam banyak hal, justru ada pada pemerintah itu sendiri. Pada tataran formal berubahan sudah mulai merebak, namun pada tataran substantif perubahan masih belum signifikan. Adanya persoalan tarik ulur ini menjelaskan mengapa yang terjadi adalah reformasi setengah hati.<br />Dambaan bagi terlembaganya suatu penyelenggaraan pemerintahan yang baik (local good governanve) mengedepan bersamaan dengan melimpahnya tuntutan terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistik dan otoriter yang dipraktekkan semasa kepemimpinan orde baru. Ukuran yang populer saat ini untuk melihat baik tidaknya penyelenggaraan pemerintahan dirumuskan berdasarkan idealitas 'otonomi' dan 'demokrasi'.<br />Jargon good governance memang baru belakangan ini memperoleh popularitas, namun bukan berarti bahwa pada masa Orde baru tidak memiliki konsep penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Persoalannya, adalah apa yang waktu itu dipahami sebagai good governanve kini sudah dianggap sebagai pola yang usang (Purwo Santoso, 2000).<br />Singkat kata, reformasi politik di tingkat lokal melibatkan proses penting yang tidak mudah dilihat, yakni melakukan pemaknaan ulang terhadap konsep tentang penyelenggaraan pemerintahan. Sehubungan dengan hal ini, ada beberapa hal penting yang perlu di catat.<br />Pertama, konsep penyelenggaraan pemerintahan sudah bersifat build in pada benak dan ketentuan-ketentuan penyelenggaraan pemerintahan. Sungguhpun demikian, bukan berarti bahwa konsep-konsep yang ada bisa dijalankan dengan baik. Problema penyelenggaraan pemerintahan di masa Orde Baru, pada dasarnya bukan semata berakar pada kualitas konsepnya semata, melainkan juga pada ketidakmampuan merealisasikan konsep-konsep tersebut.<br />Kedua, sementara makna good governanve versi lama sudah jauh kehilangan popularitas, pemaknaan konsep good governance dalam versi baru masih simpang siur. Bias pemaknaan konsep good governance ini menjadi sulit dielakkan manakala konsep 'good governance' itu sendiri sebetulnya, secara praktis, diperankan sebagai stigma untuk mende-legitimasikan sentralisme dan otoritarianisme yang terlembaga pada era Orde Baru. Peran stigmatik konsep good governance sebetulnya tidak bisa dipisahkan dari sangat derasnya arus perwacanaan dalam kerangka berfikir yang neo-liberal, yang pada dasarnya tigak terlampau setuju dengan adanya peran sentral negara.<br />Ketiga, pemaknaan konsep good governance saat ini terjadi dalam suasana dimana hegemoni wacana yang berakar pada liberalisme terlihat sangat kental. Liberalisme difahami sebagai pintu pendobrak otoritarianisme, namun masih menjadi pertanyaan besar apakah hal itu akan terlembaga. Dalam suasana dimana hegemoni faham liberal di era reformasi ini sangat kuat, ukuran bagi baik buruknya penyelenggaraan pemerintahan bisa bergeser dari otonomi dan demokrasi, menjadi liberal atau tidak. Pola good governance ala liberal mungkin bisa terlembaga kalau masyarakat dan pejabat sama-sama sepenuh hati meliberalkan diri. Kecenderungan yang terjadi adalah sabotasi terhadap liberalisme dalam arti bahwa masyarakat mau enaknya memiliki kebebasan, namun tidak mau menanggung persyarakat-persyaratan untuk tegaknya sistem yang liberal itu. Sebagai contoh, maraknya demostrasi adalah pertanda dari pemanfaatan secara baik iklim politik liberal, namun penghargaan terhadap hak orang lain tidak dilindungi tatkala melakukan hal itu.<br /><span style="font-weight: bold;">C. Merubah Patologi Birokrasi Melalui Prinsip Good Governance</span><br />Mar'ie Muhammad (Media Transparansi 1998) menyatakan bahwa good governance itu ada jika pembagian kekuasaan ada. Jadi ada disperse of power, bukan concentrate of power. Good governance sama dengan disperse of power, pembagian kekuasaan plus public accountability plus transparancy. Jadi kalau tidak ada prinsip ini, good governance perlu untuk menekan penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan yang biasanya itu menimbulkan korupsi. Dan corrupt itu selalu abuse of power. Semakin tinggi kualitas dari good governance, semakin rendah korupsi. Sebaliknya semakin rendah kualitas good governance, korupsinya semakin tinggi.<br />Dari penyataan di atas tergambar dengan jelas beta prinsip-prinsip good governance dapat mencegah patologi birokrasi terutama dalam hal korupsi, kolusi dan nepotisme. Untuk lebih detailnya prinsip-prinsip good governance dapat merubah patologi birokrasi, maka dapat diuaraikan sebagai berikut :<br />• Participation. Melalui prinsip ini akan masyarakat terlibat dalam pembuatan keputusan yang bangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartsipasi secara konstruktif, sehingga dengan demikian maka pemerintahan tidak menjadi otoriter dalam mengambil keputusan. Keputusan yang dihasilakan merupakan representasi dari keinginan masyarakat dan tiak dapat diintervensi oleh pihak-pihak yang ingin memanfaatkan pemerintah.<br />• Rule of law. Supremasi hukum merupakan langkah yang harus diambil untuk meminimalisir atau menghilangkan praktek-praktek patologi dalam birokrasi. Dengan penegakan hukum yang baik maka indikasi untuk melakukan kesalahan akan terhapus karena para birokrat akan merasa takut dengan ancaman hukum.<br />• Transparancy. Melalui prinsip transparansi maka segala hal yang dilakukan oleh pemerintah atau birokrat dapat di kontrol oleh masyarakat melalui informasi yang terbuka dan bebas diakses. Transparansi ini mendorong birokrasi untuk senantiasa menjalankan aturan sesuai ketentuan dan perundang-undangan, karena bila tidak sasuai masyarakat pasti mengetahui dan melakukan penututan.<br />• Responsiveness. Pradigama baru birokrasi menekanakan bahwa pemerintah harus dapat melayani kebutuhan masyarakat umum dan memberi respon terhadap tuntutan pembangunan. Patologi yang selama ini terjadi dimana pemerintah dilayani oleh masyarakat, maka dengan prinsip responsiveness pemerintah harus sedapat mungkin memberikan pelayanan kepada stakeholders.<br />• Effectiveness and efficiency. Pemborosan yang terjadi dalam praktek pengelolaan organisasi birokrasi dapat diminimalisir oleh prinsip ini. Terutama dalam pengelolaan anggaran pemerintah<br />• Accountability. Melalui pertanggungjawaban kepada publik maka birokrasi menjadi hati-hati dalam bertindak, dengan akuntabilitas publik pemerintah harus memberikan keterangan yang tepat dan jelas tentang kinerjanya secara keseluruhan.<br />• Strategic vision. Melalui straegi visi maka akan tumbuh dalam setiap birokrat akan nilai-nilai idealisme dan harapan-harapan organisasi dan negara untuk masa yang akan datang. Nilai-nilai dan harapan-harapan ini akan memeberikan kesan praktek pelaksaan pekerjaan birokrasi.(versi lengkap <a style="font-style: italic;" href="http://www.ziddu.com/download/2622543/ASIKEETIKAPEMERINTAHANMELALUIPRINSIPGOODGOVERNANCE.pdf.html">download</a>)<br /></span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06032929108363771251noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-5081927455665896437.post-7628334230825357942008-08-28T15:33:00.012+07:002008-11-11T18:50:21.141+07:00MENGUBAH GORONTALO MISKIN MENJADI KAYA<span style="font-family: trebuchet ms; color: rgb(255, 0, 0);">”Ini semua adalah sesuatu yang mungkin bila kita berpikir bahwa itu adalah mungkin”</span><br /><span style="font-family: trebuchet ms;">Pendahuluan</span><br /><span style="font-family: trebuchet ms;">Pada hakekatnya eksistensi pemerintah adalah untuk meningkatkan derajat kesejahteraan rakyat, dengan kata lain keberhasilan suatu negara berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan rakyatnya. Hal ini telah lama dipahami oleh penyelenggara pemerintahan, namun terwujudnya masyarakat sejahtera bukanlah persoalan mudah dan sederhana, banyak faktor yang berpengaruh baik langsung maupun secara tidak langsung.</span><br /><span style="font-family: trebuchet ms;">Berbarengan dengan upaya untuk menciptakan perubahan besar ditubuh pemerintah, berbagai gagasan dan konsep telah banyak dipaparkan oleh para akademisi maupun para praktisi. Konsepsi good governance, reinventing government serta banishing bureaucracy menjadi serangkaian konsep yang ditawarkan untuk dapat menuntun daerah dalam melakukan perubahan dan progresivitas pembangunan</span><span style="font-family: trebuchet ms;" id="fullpost"><br />Salah satu masalah besar yang dihadapi oleh hampir semua daerah dalam meningkatkan pembangunan adalah minimnya anggaran yang dimiliki. Sementara dalam banyak hal pemerintah daerah diperhadapkan dalam dilema antara sumber daya alam yang tersedia tidak cukup menopang sejumlah dana yang dibutuhkan. Saat ini ketergantungan anggaran daerah sangat ditentukan oleh dana perimbangan pusat, karena PAD tidak sebanding dengan kebutuhan daerah, sehingganya salah satu langkah bijak dan sangat mungkin dapat ditempuh dalam menghadapi persoalan ini adalah melakukan penghematan anggaran.<br />Persoalan dana menjadi masalah yang paling memusingkan pemerintah daerah dalam meningkatkan pembangunan. Masalahnya bukan karena pemerintah daerah tidak memiliki anggaran yang banyak, tetapi lebih pada kurang tepatnya (efektif, efisien dan rasional) pemerintah mengalokasikan anggarannya. Berikut beberapa masalah yang dijadikan alasan dalam memahami upaya penghematan dimaksud : pertama, Eksplorasi sumber daya alam yang berlebihan dalam meningkatkan PAD telah dan akan membawa dampak rusaknya ekosistem dan keseimbangan alam. Di sisi lain sumber daya tersebut kian hari-kian berkurang dan membutuhkan waktu yang lama untuk diperbaharui.<br />Kedua, Pengenaan retribusi yang berlebihan dan pengenaan pada objek yang kurang proporsional, berefek pada keengganan dan antipati masyarakat terhadap pemerintah daerah. Ketiga, Alokasi APBD yang tidak seimbang antara biaya aparatur dan biaya publik, mengakibatkan lambatnya proses pembangunan dan lebih banyak APBD dinikmati oleh aparatur dan kurang berpihak pada masyarakat. Keempat, alokasi yang kurang proporsional menjadikan APBD menjadi kurang dan tidak dapat mencukupi untuk melaksanakan kegiatan pemerintahan. Kelima, dalam banyak hal pemerintah daerah melakukan pemborosan anggaran yang semestinya tidak dilakukan.<br />Masih banyak masalah yang terkait dengan inefisiensi, inefektivitas dan irasional-nya manajemen pemerintahan yang berefek pada pemborosan anggaran. Tetapi pertanyaan yang perlu dijawab adalah : langkah apa yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah dalam memaksimalkan APBD sehingga pelayanan serta tujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan, pendidikan, ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dapat terimplementasi ?. Jawaban pertanyaan ini akan terurai dalam pilihan-pilihan kebijakan dalam tulisan ini, sebagai masukan bagi Pemerintah Daerah dalam mengefektifkan APBD.<br />Indikasi pemborosan APBD selama ini dapat dilihat dari : pengadaan barang dan jasa pemerintah yang sangat besar/jauh dari nilai pasar; biaya honorarium dan insentif pegawai; pembangunan yang mubajir; perjalanan dinas, biaya pemeliharaan, belanja barang dan lain sebagainya. Sebagai contoh adalah fenomena APBD disalah satu Kabupaten di Gorontalo pada Tahun 2004 dimana pengeluaran rutin mencapai 81,05%, sedangkan untuk pengeluaran pembangunan (belanja modal) hanya 18,95% saja. Pada Tahun 2005 belanja operasi sebanyak 209.194.411.317,75 atau 87,84% sedangkan untuk biaya modal sebesar 28.559.552.076,00 atau hanya 11,99%.<br />Dari data ini dapatlah dimaklumi jika pembangunan menjadi sangat lambat dan tidak memadai/mencukupi untuk membiayai pembangunan daerah dan tuntutan masyarakat yang menginginkan perubahan yang cepat dan perbaikan ekonomi yang lebih baik menjadi sulit diwujudkan.<br />Privatisasi<br />Privatisasi dapat didefinisikan sebagai transfer peran dalam penyediaan pelayanan publik kepada swasta. Di samping definisi ini, pada kenyataannya privatisasi dapat diperlunak dengan model ”kemitraan”. Privatisiasi model ”kemitraan” ini memiliki empat bentuk (Joedo dan Nugroho D,, 2006:73) sebagai berikut : Pemberian konsesi secara terbatas, KSO atau Kerja Sama Operasi, BOT atau Built Operate and Transfer. ODT atau Operate Develop and transfer.<br />Bagi Pemerintah Daerah konsep ini sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru . di Kabupaten Gorontalo misalnya pada Tahun 2004 pernah melepas salah satu usaha parawisata (Pentadio Resort) kepada sektor swasta, namun kemudian tidak memberi dampak yang signifikan terhadap pendapatan daerah (hal ini telah dianalisis oleh penulis pada opini koran lokal dengan judul ”Kaji Kritis Reinventing Government – Tinjauan Atas Swastanisasi Pentadio Resort”. Hampir semua daerah kabupaten dan kota memiliki beberapa aset yang dapat menghasilkan pendapatan, tetapi pada kenyataannya aset tersebut malah membebani APBD melalui biaya pemeliharaannya dan biaya-biaya lainnya.<br />Swastanisasi Pentadio Resort tidak dapat dijadikan cerminan, karena prosesnya tidak memiliki konsep yang jelas dan jauh dari semangat reinventing government. Dari sepuluh prinsip pemerintahan wira usaha, salah satunya adalah pemerintahan kompetitif, dimana pemerintahan kompetitif mensyaratkan persaingan diantara para penyampai jasa atau pelayanan untuk bersaing berdasarkan kinerja dan harga. Mereka memahami bahwa kompetisi adalah kekuatan fundamental untuk memaksa badan pemerintah untuk melakukan perbaikan. (Osborne & Palstrik, 2004:323). Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mem-privatisasi aset pemerintah : Persaingan (competition), konrtak kerja (work contract), pemberdayaan (empowering). Swastanisasi seyogyanya diarahkan untuk pemberdayaan masyarakat lokal sehingga apa yang disebut dengan ”efek domino” dari perubahan dapat tercapai.<br />Pemprivatisasian dapat dilakukan tidak hanya sebatas pada badan usaha daerah, tetapi juga melingkupi berbagai kegiatan serta tugas pemerintahan, misalnya : pemadam kebakaran, kebersihan dan persampahan, pendidikan, kesehatan bahkan urusan administrasi pemerintahan, seperti : pelayanan KTP dan catatan sipil lainnya. Tetapi dari sekian banyak kegiatan yang dapat di privatisasi ini daerah perlu mempertimbangkan hal-hal yang sesuai dengan kemampuan organisasi pemerintah.<br />Berikut ini sebuah komentar yang penting untuk kita renungkan, munurut Lester Salamon, yang memimpin proyek riset bertahun-tahun terhadap organisasi-organisasi nirlaba di Urban Institut, ”sektor ketiga sebenarnya adalah ”mekanisme masyarakat yang lebih disukai untuk menyediakan barang kolektif”. Sektor ketiga sudah ada lama sebelum sebagian besar pelayanan pemerintah itu ada ia mengatasi masalah-masalah sosial lama sebelum pemerintah mengambil peran itu. Pemerintah turun tangan hanya ketika sektor ketiga terbukti tidak mampu menghadapi masalah khusus. (dalam Osborne dan Gaebler, 2005:51).<br />Restrukturisasi<br />Abstraksi awal pemerintah, ketika restrukturisasi diwacanakan adalah tergesernya eselonisasi, hilangnya jabatan dan setumpuk persoalan kepegawaian. Sesungguhnya itu merupakan dampak ”buruk” yang ”baik” karena saat kemarin dan sampai hari ini menurut evaluasi Departemen Dalam Negeri dan Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara, organisasai perangkat daerah memperlihatkan beberapa indikasi kearah pembengkakan birokrasi. Struktur pemerintahan yang gemuk memberi konsekuensi logis terserapnya energi daerah yang cukup besar. Dan lagi-lagi hal tersebut berpengaruh besar terhadap APBD. Sudah saatnya daerah memikirkan untuk merampingkan struktur dan memperkaya fungsi guna terjadi penghematan anggaran.<br />Menanggapi hal ini sesungguhnya pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah, yang kemudian hampir tidak digubris oleh tingkat pemerintah kabupaten/kota. Sehingga ”miskin struktur kaya fungsi” hanya sebatas slogan dan jauh dari nilai realitas.<br />Wacana restrukturisasi cenderung dipahami hanya dalam frame dinas/instansi, padahal ditingkatan fungsional (pendidikan dan kesehatan) juga dapat dilakukan melalui pemetaan kembali wilayah pelayanan dengan menggabungkan beberapa sarana/prasarana serta fungsi yang sama di wilayah yang berdekatan.Metode ini disebut re-grouping.<br />Regruping SD-SD sebagai upaya rasionalisasi melalui beberapa pertimbangan yaitu efisiensi, peningkatan kualitas guru dan siswa, peningkatan kualitas proses belajar mengajar (PBM). Pola Regrouping yang dilakukan yaitu penggabungan SD-SD yang jumlah siswa kurang dari 75 orang, dengan pola SD kecil, SD normal dan SD besar, (SD dengan beberapa kelas paralel). Kondisi geografis juga menjadi dasar regrouping tersebut. Disamping regrouping sekolah, juga di Puskesmas dapat regruping dilakukan karena tidak rasionalnya jumlah kunjungan dengan pegawai puskesmas. Dasar pelaksanaannya disesuaikan dengan data dan kondisi yang diharapkan.<br />Rasionalisasi<br />Rasionalisasi Pegawai<br />Perlunya rasionalisasi pegawai untuk melakukan penghematan anggaran sesungguhnya sudah terbukti dilakukan oleh beberapa daerah dan negara-negara di dunia. Di Indonesia misalnya, Kabupaten Jembrana telah melakukan restrukturisasi dan hasilnya cukup mencengangkan, dimana dengan APBD tak lebih dari 9 miliyar daerah ini dapat membayar tunjangan kinerja pegawainya sampai dengan Rp 1.000.000/orang dengan kompensasi (reward) lainnya bagi pegawai yang berprestasi. Rahasia sukses rasionalisasi pegawai ini didasari oleh efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan kegiatan pemerintahan.<br />Tak dapat dipungkiri bahwa dalam birokrasi terdapat ”pengangguran tak kentara”, mereka adalah pegawai-pegawai yang digaji oleh pemerintah tetapi tidak memiliki kinerja dan prestasi dalam kerja. Sejumlah strategi telah dipaparkan oleh David Osborne dan Peter Plastrik untuk menerapkan konsep ini.<br />Sebagai alternatif solusi atas masalah di atas, berikut hal-hal yang dapat dilakukan : 1) Tidak melakukan rekrutmen pegawai selama proses rasionalisasi dilakukan (sampai batas rasional), 2) Tidak memperpanjang masa pensiun bagi pegawai yang telah memasuki masa pensiun, 3) Menawarkan pensiun dini kepada pegawai, 4) Melatih pegawai yang memiliki kompetensi enterpreneur untuk kemudian ditawarkan untuk alih tugas pada sektor-sektor swasta, 5) Melakukan analisis jabatan, selanjutnya sampai dengan uraian tugas masing-masing, 6 Pengalihan jabatan struktural ke jabatan fungsional untuk para pejabat yang terkena dampak restrukturisasi dan 7) Rekrutmen pejabat melalui job tender<br />Rasionalisasi Anggaran<br />Merasionalkan anggaran, konsep ini berangkat dari suatu pengamatan di mana terdapat sejumlah anggaran dan proyek serta kegiatan yang dilakukan oleh birokrasi, alokasi anggarannya kurang memiliki kepekaan terhadap kondisi pasar dan cenderung melebih-lebihkan anggaran. Tawaran solusi untuk merasionalisasikan anggaran ini, dapat dilakukan dengan membentuk satu tim verifikasi (independen) yang akan menguji tawaran atau permintaan yang diajukan oleh bagian/instansi/unit untuk satu kegiatan yang kemudian akan disesuaikan dengan harga rill pasar oleh tim penguji. Tepatnya dalam menentukan harga, Tim Penguji (independen) menggunakan standar harga dinamis bukan standar harga barang yang telah lazim digunakan selama ini.<br />Proyek pemerintah selalu menjadi pembicaraan publik, “Anggaran besar, kualitas rendah”. Mengapa proyek swasta dengan anggaran lebih rendah bisa mencapai kualitas lebih tinggi?, pertanyaan ini perlu direnungkan, ada apa dengan pemerintah kita. Untuk itu pemerintah kabupaten dan kota perlu menerapkan pola baru dengan Pola OE (Owner Estimate), dimana anggaran yang tertuang di APBD tidak menjadi standar, melainkan OE yang dibuat oleh Tim Independen yang menjadi acuan. Dari pola OE yang diterapkan efisiensi dan pengawasan mutu proyek menjadi maksimal.<br />Orang masih melihat bahwa ketiga langkah di atas masih merupakan hal yang tabu dan sulit untuk dilakukan, tapi sungguh itu sesuatu yang jauh sangat mudah, tetapi niat kitalah yang kurang. Butuh keberanian untuk merealisasikan itu semua, dan kami rindu sosok yang mau melakukannya. Mereka yang berani melihat peluang dibalik tantangan. Mereka yang berani melakukan penghematan anggaran untuk kemaslahatan umatnya, bukan mereka yang mengehemat untuk memperkaya dirinya. Gorontalo yang miskin akan menjadi kaya jika pola hidupnya mengacu pada filosifis usang ”hemat pangkal kaya”. Jangan hanya mencoba tetapi lakukan dengan penuh kesungguhan. Kami yang miskin menunggu kebijakan itu.<br /></span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06032929108363771251noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5081927455665896437.post-31688639582743235942008-08-28T15:18:00.002+07:002008-11-11T18:55:41.937+07:00KEPULASAN INTELEKTUAL BIROKRAT<span style="font-size:100%;"><span style="font-family: trebuchet ms;">Sebuah keanehan besar ketika di era gegap gempita perubahan terjadi dalam per sekian detik, ada saja orang-orang yang intelektualnya teraniyaya, terpasung, terbelenggu, dan itu warisan terburuk sepanjang sejarah. “jangan lagi menoleh kebelakang”, “jangan sesali yang telah berlalu” atau “sejarah tak pernah salah”, sungguh pernyataan yang penuh optimis. Tapi benarkah adagium itu memiliki substansi pencerahan hari esok?.</span><br /><span style="font-family: trebuchet ms;">Tiga puluh dua tahun lamanya birokrat ibarat robot bernyawa. Masa berganti, dan kurang lebih satu dasawarsa nyawa itu kembali menemukan jasadnya. Sewajarnya ada pesta khusus untuk merayakan kebebasan ini. Birokrasi lepas dari konspirasi kolot yang disponsori Orba. ABG (Abri, Birokrasi dan Golkar) menemukan kembali jati dirinya masing-masing. Tapi bayang-bayang masa lalu tak lepas dari benak birokrat. Mereka terbiasa menjadi “budak”, dan seleksi alamiah mengamini kebiasaan itu dengan menghadirkan “majikan” yang rakus akan kekuasaan.</span><br /></span><span style="font-family: trebuchet ms;font-size:100%;" id="fullpost" >Mengutip bahasa Dr. Thariq Muhammad as Suwaidan, ini adalah otak-otak yang siap dijual. Bahasa penulis ini adalah nalar dari jiwa-jiwa yang gemetar menatap kebenaran<br />Ada latar belakang yang bisa kita jadikan rujukan untuk membuka tabir ini dari cengkraman sejarah yang terus berulang.<br />Pertama,budaya opportunistik, yaitu budaya yang selalu mengutamakan kepetingan diri sendiri daripada kepetingan umum. Mereka takut kehilangan jabatan, mereka takut kehilangan pengakuan, mereka takut tidak didengar bawahan. Intinya mereka lupa bahwa suatu saat mereka akan kehilangan itu semua. Mereka lupa suatu saat akan dipensiunkan dan lebih-lebih mereka lupa akan kematian.<br />Kedua, budaya paternalistik, adalah kebisaan menjadikan pimpinan sebagai “pusat kebenaran”. Bahkan ada birokrat yang rela turun kejalan, rela mati, dan saya hampir tidak percaya ada yang membawa panji jihad, bukan untuk kebenaran, tetapi untuk pimpinan. Di seluruh dunia, mereka yang menganut paham paternalisme ini memiliki satu kata , YESS BOSS!.<br />Ketiga, budaya hipokrit. Kata ini diadopsi dari bahasa Inggris, tetapi saya tidak memiliki data apakah parakteknya lebih banyak di Inggris atau di sini. Hypocrite, dalam bahasa lumrah yang sering kita dengar adalah munafik. Kenapa korupsi, kolusi dan nepotisme ditubuh birokrasi semakin diberantas, semakin “menggila”. Fakta kemunafikan itu salah satu jawabannya. Transparansi pengelolaan pemerintahan dan pembangunan diterjemahkan bias. Mereka memiliki ungkapan pamungkas “bisa transparan, tapi jangan telanjang”. Makna kata ini terus terevolusi dan akhirnya menjadi katup penutup kebohongan!.<br />Sedih rasanya, bila kita menyaksikan mereka yang memiliki kemapanan pengetahuan, memiliki sekelumit ide, secuil gagasan dan sederet harapan untuk berubah, terus dibombardir oleh budaya-budaya “setanik brokrasi”. Akhirnya idealisme itu lunglai sebelum mekar, mereka seperti kembang-kembang plastik, “biar palsu yang penting abadi”!. Tetapi, bagi mereka-mereka yang tidak ternodai. Mereka-mereka yang telah lama berkibar bak bendera lusuh nan putih selamanya, semoga niatnya tak pulas dalam pegolakan intelektual.<br />Untuk mereka tulisan ini saya dedikasikan. Sesuatu yang pantas menghormati mereka yang tulus. Disini ada jiwa yang semakin berdegup, mengasah ketajaman emosional, mental dan spiriutal. Saudaraku yang se-ide, Rasulullah berkata dengan bahasa seorang pemberani : “Tidak selayaknya bagi seorang Nabi, jika dia telah memakai baju perangnya untuk menanggalkannya kembali, hingga dia berperang”.Sebagai simpulan dari uraian ini, godaan untuk menyesatkan intelektual birokrat kian gencar, dan mereka yang tidak memiliki basis intelektual, mental dan spiritual yang baik terus berjatuhan, ada segelintir orang yang ingin menyelamatkan kondisi ini, tapi sayangnya tak jarang mereka juga menjadi korban. Saudaraku yang seide, sebelum semuanya selesai, tak layak rasanya bila kita kita menanggalkan baju perang.<br />Terlalu dini men…!<br /><br /></span><span style="font-size:100%;"><br /></span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06032929108363771251noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5081927455665896437.post-11564044742142110012008-08-18T18:13:00.005+07:002008-11-11T18:58:29.353+07:00BONGKAR BUDAYA BIROKRASI!<span style="font-family: trebuchet ms; font-weight: bold; color: rgb(255, 0, 0);">Kalau belum rusak kenapa harus diperbaiki?</span><br /><span style="font-family: trebuchet ms; font-weight: bold; color: rgb(255, 0, 0);">kalau bisa diperlambat kenapa harus dipercepat?</span><br /><span style="font-family: trebuchet ms; font-weight: bold; color: rgb(255, 0, 0);">Setan.......!</span><br /><span style="font-family: trebuchet ms; font-weight: bold; color: rgb(255, 0, 0);">Wahai para birokrat! tepuklah air di dulang, walau terpercik mukamu sendiri</span><br /><span style="font-family: trebuchet ms; font-weight: bold; color: rgb(255, 0, 0);">Thank you...!</span><br /><span style="font-family: trebuchet ms;">Dengan statment di atas, para Birokrat jangan hanya tersenyum, tapi tersinggunglah!. Kita berada dalam turbulensi zaman yang kejam dan nyata dan kalau kita lambat berubah, maka tunggulah realitas kehidupan dikubangan yang kotor. Kita harus berubah!, dan salah satu upaya menuju perubahan dan penataan kembali (transformation) birokrasi adalah merubah budaya organisasi. Pararel dengan perubahan birokrasi ini, maka unsur-unsur organisasi dan sistem-sistemnya juga harus mengalami proses adaptasi sehingga gagasan dan harapan-harapan untuk berubah bukan hanya sekedar impian utopis.</span><br /><span style="font-family: trebuchet ms;" id="fullpost">Wajah birokrasi saat ini sudah sedikit bercahaya, itupun karena tuntutan dan kritikan yang lakukan oleh masyarakat kian gencar dan sulit dibendung oleh benteng kemapanan aparatus terhadap sistem yang memang sudah tertinggal. Fakta membuktikan respon positif dari pemerintah ditandai dengan distribusi sebagian kewenangan yang selama ini hanya dierami oleh pemerintah pusat kini mulai dinikmati oleh daerah, dan lagi-lagi pemerintah berupaya terbangun dari stagnasi paradigma lamanya.<br />Menyertai proses perubahan sebagaimana disebutkan di atas, maka pemerintah juga harus melakukan penataan dalam budaya organisasi. Penataan budaya organisasi ini harus menyentuh kerak-kerak dasar mental model individu yang ada di dalamnya, karena budaya organisasi merupakan akumulasi dari budaya-budaya individu.<br />Budaya atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan “culture”. Andrew Pettigrew mengatakan bahwa dalam konteks perubahan internal organisasi perlu memperhatikan sumber daya, kapabilitas, budaya dan politik. Budaya organisasi menjadi salah satu faktor yang sangat menentukan dalam membawa perubahan-perubahan organisasi, dan Johon Kottler melihat bahwa kultur bukanlah sesuatu yang bisa dimanipulasi dengan mudah.<br />Terlepas dari ungkapan para ahli di atas, budaya birokrasi kita masih perlu direkonstruksi kembali sesuai dengan dinamika perubahan yang terjadi. Mengingat intelektual, mental dan spiritual birokrat tempo doeloe masih banyak terawetkan dalam benak pemerintah, sehingga penyakit-penyakit lama seperti korupsi, kolusi serta nepotisme masih sering mencederai harapan masyarakat dan lagi-lagi melukai proses kuncup-kuncup perubahan yang mulai tumbuh.<br />Jika saja ada ilmu penyakit birokrasi (patologi birokrasi) dan dilakukan pembedahan terhadapnya, maka ahli bedah yang paling tepat adalah robot, karena mereka tidak perlu diimunisasi. Kalau masih manusia biasa yang berusaha menjinakkan penyakit birokrasi tersebut, maka kekebalan tubuhnya dengan sangat mudah dikontaminasi virus berbahaya ini, kenapa? Karena penyakit ini berada dalam sistem yang besar, sementara dokter-dokternya juga berada dalam sistem itu.<br />Beberapa tahun yang lalu sebuah lembaga independen untuk transparansi Indonesia menyatakan bahwa negeri tercinta ini merupakan negara terkorup ketiga di dunia. Ada anekdot dibalik survey ini, bahwa sesungguhnya Indonesia merupakan negara terkorup satu didunia, tapi karena kita hebat lobi dan nyogok maka peringkat itu bisa diatur. Belum lagi beberapa penelitian yang menujukkan bahwa kinerja aparatur kita masih berada dalam kriteria rendah. Kualitas sumber daya apartur menyedihkan, perilakunya menjengkelkan dan masih hidup lagi.<br />Bongkar budaya biokrasi!, budaya apa yang dibongkar?. Jawabanya sederahana dan Anda semua bisa menjawabnya. Budaya yang perlu disehatkan adalah apa yang disebut dengan penyakit birokrasi itu sendiri. Yang sulit untuk dijawab adalah bagaimana menyehatkannya?. Konsep teori menyatakan perlu peningkatan kinerja melalui kemampuan, motivasi dan sikap perilaku. Konsep yang paling mutakhir juga menyebutkan perlu kecerdasan intelektual, mental dan spiritual. Tetapi sayangnya teori begitu mulus untuk diurai dan kenyataan membantah sulit untuk dlakukan.<br />Berikut langkah-langkah rill dalam pencanangan perubahan di dalam kultur organisasi oleh Osborne dan Plastrik yang menuliskan perlu mengubah kebiasaan (menciptakan pengalaman baru), menyetuh Perasaan (mengembangkan pemufakatan baru) dan mengubah pikiran (mengembangkan model mental baru). Menurut Kottler adalah : perubahan adalah langkah akhir, bukan langkah awal : sebagian besar perubahan norma-norma dan nilai-nilai yang diyakini bersama merupakan langkah akhir dalam sebuah proses transformasi.<br />Perubahan yang terjadi dalam struktur pemerintah dan pemerintahan harus dibarengi dengan proses adaptasi nilai, sikap dan perilaku pegawai sehingga akan terbentuk budaya organisasi yang mapan dan sesuai dengan arah perubahan. Apapun rencana dan rancangan perubahan dibuat dalam sistematika yang panjang, tetapi syarat utama yang harus dimiliki oleh agen-agen perubah adalah niat dan komitemen yang kuat untuk mau berubah serta konsistensi atas gagasan itu.<br />Sekarang persoalan menjadi sederhana bila agen-agen kunci dalam perubahan mau berubah. Artinya bila pimpinan-pimpinan kita memiliki komitmen dan konsistensi, maka gerbang baru dalam budaya birokrasi terbuka lebar untuk berubah. Dengan kata yang lebih sederhana lagi, jika kita mau memongkar budaya birokrasi, maka bongkar dulu budaya pipimpinanya.<br />Pertanyaan terakhir yang perlu kita renungkan adalah : beranikah Anda, saya dan kita semua melakukan itu ?. Berani menepuk air didulang walaupun terpercik muka sendiri?. Kalau bisa hari ini kenapa tunggu sampai hari esok!. Bangkit dan lakukan hari ini juga melalui perubahan dirimu sendiri!.<br />Selamat mencoba..!!.<br /><br /></span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/06032929108363771251noreply@blogger.com0