Mendekati tahapan pencalonan anggota
DPR, DPD dan DPRD, nampak “kegalauan” menghampiri sejumlah bakal Calon Anggota Legislatif
(Caleg). Kegalauan tersebut dipicu oleh dua hal penting. Pertama, jumlah Partai Politik yang akan menjadi peserta Pemilu
2014 berkurang drastis, dari 38 Parpol pada Pemilu sebelumnya, kini tinggal 10
Parpol saja. Kedua, Pasal 54, UU No. 8 Tahun 2012 yang menyebutkan “Daftar
bakal calon memuat paling banyak 100% (seratus persen) dari jumlah kursi pada
setiap daerah pemilihan. Berbeda dengan Pemilu 2009 dimana daftar bakal calon
memuat paling banyak 120% dari jumlah kursi setiap Dapil.
Pemilu 2009 diikuti oleh 38 Parpol
dengan memperebutkan 560 krusi DPR, sehingga terdapat kurang lebih 25.536 orang
yang terdaftar sebagai Caleg di seluruh Indonesia. Namun dengan hanya 10 Parpol
kontestan Pemilu 2014, maka total seluruh Caleg tidak lebih dari 5.600 orang
saja, atau hanya 21,92% dari jumlah Caleg pada Pemilu 2009. Bila diasumsikan semua
Caleg pada Pemilu 2009 berhasrat kembali untuk mendaftarkan diri, maka terdapat
78,08% yang tidak akan mendapatkan porsi tempat duduk lagi di Parpol sebagai “kendaraan”
menuju Calon Anggota DPR.
Saat ini Parpol menjadi bus yang
penuh sesak, bahkan para Caleg membentuk baris antrian yang sangat panjang. Paprol
tidak hanya disesaki oleh Caleg dari kadernya sendiri, tetapi juga akan
disesaki oleh “penumpang gelap” dari Parpol lain.
Berkurangnya Parpol peserta Pemilu merupakan
berita baik bagi penyederhanaan partai dalam rangka mendukung sistem
presidensial. Berita buruknya, berkurangnya Parpol menyebabkan minimnya armada angkut
Caleg, sementara permintaan terlalu banyak. Kondisi ini mendorong hukum ekonomi
berlangsung dimana harga tiket akan melonjak drastis dan hanya dimampui oleh
kalangan berduit. Jika ini yang terjadi, maka petaka demokrasi baru saja dimulai
dari pintu baru bernama proses pen-Caleg-kan.
Entah mengapa? Armada yang bernama
DPD kurang diniminati para politisi. Di Provinsi Gorontalo misalnya, Pemilu
Tahun 2004 jumlah politis yang mencalon diri untuk menjadi anggota DPD
sebanyak 20 orang. Pemilu berikutnya
(Tahun 2009) justru jumlahnya mengalami penuruan menjadi 19 calon saja. Merujuk
teori peluang, maka menjadi calon anggota DPD lebih besar peluang terpilihnya
bila dibandingkan peluang terpilih menjadi anggota DPR.
Para politis “berburu” menjadi Caleg
DPR, padahal selain peluang keterpilihan rendah, juga penumpangnya banyak,
ditambah lagi dengan tiket mahal. Di sisi yang lain DPD merupakan kendaraan
dengan daya angkut dan kapasitasnya tak terbatas plus tiket yang tidak terlalu
mahal. Sepanjang memiliki dukungan sesuai ketentuaan, maka berhak untuk
mencalonkan diri sebagai anggota DPD.
Dugaan besar jumlah Caleg pada Pemilu
kali ini akan berimbang antara jumlah Caleg DPR melalui Partai Politik dengan
Caleg DPD melalui jalur dukungan rakyat. Dan bila dugaan ini benar, maka penambahan
jumlah Caleg DPD tersebut berkolerlasi dengan
berkurangnya daya tampung Parpol yang bisa membawa Calegnya ke
Senayan. Dan bila lagi-lagi dugaan ini
benar, maka seolah DPD menjadi kelas ke dua setelah DPR.
Sebuah paradigma yang kurang elok
dalam sistem bi kameral kita.
0 komentar:
Posting Komentar
KOMENTARNYA..DONK.!