Sesugguhnya sebelum konsepsi modern mengatur tatanan
kehidupan masyarakat, jauh sebelum itu sosiokultur mayarakat di Indonesia telah
memiliki tradisi dalam mekanisme keterlibatan dalam pembangunan. Nenek moyang
kita memiliki konsep gotong royong sebagi bentuk kerja sama dalam melaksanakan
suatu kegiatan, entah itu kegiatan lintas masyarakat ataupun antar masyarakat
dengan negara (pemerintah). Leluhur Gorontalo misalnya, memiliki konsep huyula ataupun tiayo dalam membalut kebersamaan untuk berkontribusi nyata dalam
pembangunan. Daerah lain juga memiliki tradisi yang hampir sama.
Saat ini kearifan-kearifan nasional dan lokal di atas,
dimodifikasi dan disesuaikan dengan konteks kemajuan Iptek dan zaman yang
kemudian melahirkan terminologi baru. Kini “gotong royong”, “hyula” dan “tiayo” berganti nama menjadi “partisipasi”. Walaupun secara istilah
telah berganti nama tapi secara substansial, nilai-nilai tidak berubah bahkan
meningkat karena sentuhan manajemen modern. Kalau dulu diminta maupun tidak
oleh pemerintah, masyarakat senantiasa bahu-membahu untuk membangun karena ada
masalah dan kepentingan bersama memajukan kelompok atau komunitas. Kini model
itu diorganisir, difasilitasi serta dimanej agar kerja sama menjadi efektif dan
efisien.
Partisipasi masyarakat model klasik kini diperluas
tidak sebatas pada pelaksanaan kegiatan semata, tetapi telah melingkupi seluruh
proses pembangunan (sejak dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan pengawasan).
Bentuk paling nyata dari keterlibatan masyarakat tingkat bawah dalam
perencanaan pembangunan saat ini sering kita dengar dengan model Musyawarah
Rencana Pembangunan (Musrenbang). Tak tanggung-tanggung gagasan musyawarah ini digali
bahkan dari tingkat dusun.
Tak ada yang masalah dengan itu semua!. Keresahan masyarakat
desa muncul setelah diskusi panjang bahkan berujung perdebatan sengit “di
arena” Musrenbang berakhir dengan kenyataan “pepesan kosong”. Prioritas
pembangunan melalui usulan Musrenbag-Des yang dikawal oleh para delegasi untuk
diperjuangkan di tingkat kecamatan sampai dengan kabupaten, “menguap” di tengah
jalan, entah “disunat” oleh siapa?. Dengan tidak mengesampingkan ada juga hasil
Musrenbang-Des yang terakomodir dalam APBD, namun lebih banyak dari dokumen
tersebut sekedar tumpukan berkas.
Ilusi Musrenbang
Kekecewaan yang terus berulang dari fakta “pepesan
kosong“ Musrenbang-Des berefek domino terhadap partisipasi masayarakat. Tidak
mengherankan disejumlah desa Musrenbang-Des mejadi ritual yang kian sepi.
Padahal tiap kali pelaksanaan Musrenbang-Des, sesaat itu pula terbetik harapan
masyarakat untuk mengatasi persoalan desa mendapatkan energi dahsyat. Sayangnya
energi itu melemah seiring dengan tidak terakomodrinya prioritas usulan dalam
APBD. Lebih aneh lagi ada beberapa desa yang mengusulkan satu kegiatan tidak
hanya sekali dilakukan, tetapi dihampir setiap tahun pelaksanaan Musrenbang-Des,
namun sampai berakhirnya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM-Des) lima
tahunan, lagi-lagi usulan tersebut tak pernah terrealisasi.
Sejumlah alasan mengapa usulan dari Musrenbang-Des
seakan ilusi. Pertama: Antara
kebutuhan Desa dengan ketersediaan anggaran pemerintah daerah tidak sebanding. Jika
ditotalkan seluruh usulan dari masing-masing desa bisa mencapai angka triliun.
Di sisi yang lain kemampuan anggaran pemerintah daerah hanya dikisaran angka
miliaran. Itu pun tidak semuanya untuk belanja pembangunan. Sebagian besar APBD
dialoksikan untuk belanja aparatur/pegawai. Sehingga sangat wajar hanya
sebagian kecil saja dari usulan Musrenbang-Des dapat di realiasikan.
Kedua:
Usulan-usulan yang disampaikan desa cenderung tidak relevan (bersesuaian) dengan
program dan kegiatan Pemerintaha Daerah yang tergambar dari RPJM kabupaten/kota.
Sementara pemerintah berupaya untuk menjalankan program dan kegiatan dalam RPJM
tersebut untuk mewujudkan visi dan misi.
Kenyataan ini mengharuskan Satuan Kerja Perangka Daerah (SKPD)
mengeliminir usulan-usulan hasil Musrenbang-Des yang tidak berkorelasi dengan
tujuan pemerintahan.
Ketiga: tidak
kuatnya argumentasi prioritas usulan sehingga pengambil keputusan tidak
memiliki landasan keyakinan untuk mengakomodir usulan tersebut kedalam APBD.
Terkadang pula terjadi inkonsistensi usulan yang disampaikan oleh masyrakat desa
melalui jalur Musrenbang-Des dengan keinginan masyarakat yang disampaikan
kepada para anggota legislatif melalui Jaringan Aspirasi Masyarakat. Pada
kenyataan yang seringkali terjadi perencaaan melalui jalur politik (oleh
anggota DPRD) yang
Ketiga alasan di atas cukup normatif untuk menawar rasa
kecewa sekaligus rasa ingin tahu masyarakat yang terus mempertanyakan “nasib”
usulan dari Musrenbang-Des. Dan tidak hanya itu, sejumlah penelitian juga
menujukkan ternyata APBD seringkali diwarnai oleh keinginan (baca:
opportunistik) sebagian elit eksekutif maupun legislatif terutama untuk
kepetingan proyek, dan atau kepetingan politik.
Tetapi apapunm alasannya, jawaban tersebut di atas belumlah
utuh ketika sebagian kita tidak memahami bahwa satu-satunya kemampuan
pemerintah desa dalam menyelesaikan urusan pemerintahan dan pembangunan adalah Anggaran
Pembangunan dan Belanja Desa (APB-Des) itu sendiri, dan tidak ada selebihnya.
Pemahaman ini mempertegas bahwa usulan melalui Musrenbang-Des tersebut adalah
harapan sekaligus permohonan kepada pemerintah supra desa yang tak pasti adanya.
Sesaat setelah kita memahami ketidakpastian “nasib”
usulan melalui Musrenbang-Des melalui APBD dan satu-satunya yang dapat
memberikan kepastian realiasi usulan tersebut hanyalah APB-Des, maka sementara
waktu kita bisa bersimpulan bawah sekeras apapun aspirasi yang disampaikan
masyarakat melalui Musrenbang-Des, maka aspirasi tersebut tetaplah “mandul” dan
tak memiliki daya dobrak mempuni bagi para pengambil keputusan. Simpulan ini
sekaligus mengantarkan kita pada pertanyaan apa yang semestinya dilakukan oleh
desa untuk memperkuat keberadan usulan yang dibahas secara partisipatif oleh masyarakat
agar tidak sekedar ilusi?
Setetes Inovasi
Sejak awal Pemerintah melakukan penguatan terhadap
keuangan desa, dengan membuat kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD) yakni bagian dari dana perimbangan keuangan yg
diterima pemerintah
daerah sebesar 10% untuk desa. Bagi pemerintah daerah yang memiliki
pendapatan besar tentu berimbas pada ADD yang besar pula. Tetapi sebaliknya
daerah-daerah dengan pendapatan rendah, maka ADD untuk masing-masing desa juga
rendah, dan inilah yang paling banyak. Secara rata-rata ADD untuk setiap desa
tidak lebih dari dua ratus juta pertahun. Angka ini masih dibagi dengan biaya
aparatur yang ada didesa. Praktis anggaran untuk pembangunan kurang
dari seratus juta per tahunnya.
Minimnya anggaran untuk pembangunan desa yang tercermin
dari ADD, menempatkan Musrenbang sebagai tempat penampungan mimpi-mimpi desa
menjadi wilayah yang diperebutkan dengan lobi-lobi anggaran. Sebagian permerintah daerah (kabupaten/kota)
di Indonesia telah mengendus kelemahaman sistem Musrenbang, dan memahami dampak
buruk dari kelemahan tersebut terahadap tingkat partisipasi masyarakat dalam
pembangunan. Solusi merujuk pada
pemikiran untuk memperkuat basis penerimaan desa melalui kebijakan-kebijakan
pro desa.
Kabupaten Sumedang misalnya, pada Tahun 2007 membuat
satu kebijakan yang mereka sebut dengan Pagu
Indikatif Kewilayahan (PIK). Adalah sejumlah patokan batas maksimal anggaran
yang diberikan kepada kecamatan berbasis kewilayahan yang penentuan alokasi
belanjanya ditentukan oleh mekanisme partisipatif melalui Musrenbang Kecamatan
dengan berdasarkan kepada kebutuhan dan prioritas program yang mendesak
berdimensi strategis kewilayahan.
Mengokohkan
kebijakan tersebut, Pemerintah Daerah Kabupaten Sumedang merumuskannya dalam
bentuk Peraturan Daerah. Dimana dari total PIK tersebut didistribusikan dengan
metode 25% dibagi rata kesemua kecamatan dan 75% dibagikan secara proporsional,
menggunakan sejumlah variabel seperti sosial,ekonomi dan geografis.
Tahun
2012 Kabupaten Gorontalo membuat terobosan dengan program satu kecamatan satu
miliar (1k1m). Kebijakan ini kurang lebih sama dengan semangat Kabupaten
Sumedang untuk mereduksi kekurangketerjaminan usulan prioritas desa dalam
praktek Musrenbang sebelum-sebelumnya. Namun berbeda dengan Sumedang, Progaram
1k1m Kabupaten Gorontalo belum diformulasi dalam regulasi daerah. Sementara
dalam distribusinya menggunakan pendekatan pemerataan untuk tiap kecamatan
sedangkan distribusi ke setip desa diserahkan kepada masing-masing Camat.
Jika
program ini berkelanjutan, tentu merupakan langkah maju namun perlu pembenahan
disejumlah hal.
Ditengah serotan aspirasi masyarakat desa yang
terkadang terabaikan oleh keterbatasan pemerintah, tidak serta merta pisimisme
itu dibiarkan. Percayalah! Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
sesungguhnya terus melakukan upaya dan usaha. Semoga saja tidak sebatas wacana
tentang perjuangan 10% APBN untuk pemerintah desa atau perjuangan sejumlah
elemen tentang one million one vilage (satu
miliar satu desa). Semabari menggelayut mimpi kesejahteraan masyarakat desa, kita
tetap besabar…
1 komentar:
DITENGAH KEGALAUAN...SY MERENUNG DAN BERFIKIR KETIKA SAYA PERTAMA KALI MENGGULIRKAN SEBUAH INOVASI..MELALUI PIK INI SY BERSYUKUR MUDAH-MUDAHAN IDE-IDE BARU UTK KEBERPIHAKAN RAKYAT TERUS BISA DIGULIRKAN...IDE BISA DARI SIAPA SAJA YANG PEDULI DENGAN KESEJAHTERAAN RAKYAT...DENGAN KEMASAN YANG BERBEDA TENTUNYA...DAN DISESUAIKAN DENGAN SOSIOKULTURAL DIMASING-MASING DAERAH...SEJATINYA ADALAH KITA SENDIRI YANG MENGERTI DAN MENGETAHUI APA SEBENARNYA YANGMENJADI PROBLEM DIDAERAH KITA MASING-MASING BUKAN ORANG LAIN...SISIHKAN SEDIKIT WAKTU UTK TERUS BERKONTEMPLASI MEMIKIRKAN SESUATU YANG BIASA MENJADI SESUATU YANG TIDAK BIASA-BIASA SAJA INSYAALLOH SECERCAH HARAPAN MASIH ADA DISANA...
Posting Komentar
KOMENTARNYA..DONK.!