“Koprol”,
demikian kata itu menjadi populer
dalam bahasa keseharian masyarakat Gorontalo beberapa tahun terakhir ini. Kata
yang sebelumnya jarang dituturukan orang, karena maknanya sempit, terbatas penggunaannya
dalam bahasa olah raga saja, namun kini, kata tersebut telah digunakan dalam
beragam momen dan situasi, bahkan fenomenanya
menembus hampir seluruh strata masyarakat kita.
“Koprol” yang sesungguhnya berarti “gerakan berguling
kedepan” (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008), berubah menjadi kata yang
berbeda jauh dari arti sebelumnya (semantis). Akhir-akhir ini familiar di telinga kita kata koprol
dibahasakan, seperti: “pejabat koprol”, “proposal koprol”, “program koprol”, “pertanyaan
koprol”, “cerita koprol”, “politik koprol”, aspirasi koprol dan seterusnya…
atau dalam kalimat yang lebih panjang, misalnya: “kalau ingin jabatan tertentu,
kenapa harus koprol?”.
Mencermati contoh dan pemisalan penggunaan
kata koprol pada kalimat-kalimat di atas, mendekatkan kita pada terminologi
baru dari kata koprol yang secara sederhana dapat diartikan: upaya mempengaruhi.
Namun berbeda dengan definisi kepemimpinan. Dalam beberapa teori menyebut kepemimpinan
adalah “upaya mempengaruhi” (Mis: Stephen J.Carrol & Henry L.Tosj (1977) atau
Harold Koontz (1989). Walaupun sama-sama berati cara mempengaruhi, namun kepemimpinan
berusaha mempengaruhi bawahan, tapi koprol adalah cara bawahan untuk
mempengaruhi pimpinan/atasan. Sayangnya, definisi terakhir ini juga belum cukup
memadai untuk digunakan. Karena sering terdengar celetukan, “pimpinan koprol”,
atau “politisi koprol kepada rakyat”. Untuk menghindari penyamaan kata “koprol”
ini dengan kata “menjilat”, mungkin juga dapat diartikan sebagai “atraksi”,
entah itu sandiwara atau serius untuk menarik perhatian atasan ataupun bawahan
dengan cara memuji, mengelu-elu guna tujuan tertentu.
Memungkinkan kita semua bisa mendefinisikan sendiri
arti dan makna kata “koprol” itu. Tetapi,
yang paling menarik adalah kata
“koprol” asosiasinya tidak jauh dari bahasa birokrasi dan politik. Entah siapa
dan sejak kapan, kemudian kata tersebut menjadi sedemikian populer. Penulis
meyakini kata ini awalnya merupakan bahasa simbolik untuk mengaburkan situasi rahasia
dan negatif menyertai makna sesungguhnya yang ini disampaikan oleh penuturnya. Kurang
lebih sama dengan kata “apel malang” dan “apel washington” yang digunakan untuk
mengaburkan “uang rupiah” dan “uang dolar” dalam kasus korupsi. Namun apapun
itu, kini “koprol” menjadi kata fenomenal dan telah menempatkannya dalam terminologi
birokrasi dan politik Gorontalo.
Jika kata koprol diterima menjadi sebuah terminologi
baru dalam praktek serta komunikasi birokrasi
dan politik, maka kita sulit menghindari dari tuduhan negatif. Betapa tidak,
akibat dari koprol itu seseorang dengan bermodal “mencari muka” akan mencapai
tujuan politik ataupun kariernya. Kurang menjadi soal ketika tujuan yang
didapat dengan cara koprol tersebut berbanding lurus dengan kualitas dan
kapabilitas. Tetapi menjadi sesuatu yang lain bila hasil koprol tersebut
melahirkan kebijakan ataupun pilihan yang tidak sesuai dengan aturan dan
regulasi dalam patron birokrasi dan politik.
Di tengah harapan untuk mereformasi birokrasi dan
menata iklim politik yang lebih baik, koprol menjadi salah satu momok yang menghantui prinsip egaliter pemerintahan dan
demokrasi substantif. Koprol ini adalah bahasa yang baru, namun pada tataran
praktek, sebenarnya koprol adalah cara-cara sudah berlangsung lama.
Memaknai tulisan ini, saya tiba pada satu hipotesa
hubungan antara jabatan karier dan kekuasaan politik. Birokrat cenderung
menggunakan cara-cara politis untuk meningkatkan kariernya, sementara penguasa
cenderung menawarkan jabatan tertentu untuk memuluskan hasrat politiknya.
Hipotesa ini merupakan asal mula dari lahirnya nepotisme. Sebuah paktek
simbiosis mutualisme yang diharamkan oleh undang-undang korupsi, kolusi dan
nepotisme (baca: KKN).
Lumrah suatu zaman melahirkan tata bahasa baru. Namun jika kita merenungi peribahasa yang menyebutkan “bahasa menunjukkan
bangsa”, maka nyatalah koprol merupakan langkah mundur dalam sistem birokrasi
dan politik kita.
0 komentar:
Posting Komentar
KOMENTARNYA..DONK.!