Senin, April 15, 2013
MENDOBRAK MANDULNYA ASPIRASI DESA
Sesugguhnya sebelum konsepsi modern mengatur tatanan
kehidupan masyarakat, jauh sebelum itu sosiokultur mayarakat di Indonesia telah
memiliki tradisi dalam mekanisme keterlibatan dalam pembangunan. Nenek moyang
kita memiliki konsep gotong royong sebagi bentuk kerja sama dalam melaksanakan
suatu kegiatan, entah itu kegiatan lintas masyarakat ataupun antar masyarakat
dengan negara (pemerintah). Leluhur Gorontalo misalnya, memiliki konsep huyula ataupun tiayo dalam membalut kebersamaan untuk berkontribusi nyata dalam
pembangunan. Daerah lain juga memiliki tradisi yang hampir sama.
Saat ini kearifan-kearifan nasional dan lokal di atas,
dimodifikasi dan disesuaikan dengan konteks kemajuan Iptek dan zaman yang
kemudian melahirkan terminologi baru. Kini “gotong royong”, “hyula” dan “tiayo” berganti nama menjadi “partisipasi”. Walaupun secara istilah
telah berganti nama tapi secara substansial, nilai-nilai tidak berubah bahkan
meningkat karena sentuhan manajemen modern. Kalau dulu diminta maupun tidak
oleh pemerintah, masyarakat senantiasa bahu-membahu untuk membangun karena ada
masalah dan kepentingan bersama memajukan kelompok atau komunitas. Kini model
itu diorganisir, difasilitasi serta dimanej agar kerja sama menjadi efektif dan
efisien.
Partisipasi masyarakat model klasik kini diperluas
tidak sebatas pada pelaksanaan kegiatan semata, tetapi telah melingkupi seluruh
proses pembangunan (sejak dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan pengawasan).
Bentuk paling nyata dari keterlibatan masyarakat tingkat bawah dalam
perencanaan pembangunan saat ini sering kita dengar dengan model Musyawarah
Rencana Pembangunan (Musrenbang). Tak tanggung-tanggung gagasan musyawarah ini digali
bahkan dari tingkat dusun.
Tak ada yang masalah dengan itu semua!. Keresahan masyarakat
desa muncul setelah diskusi panjang bahkan berujung perdebatan sengit “di
arena” Musrenbang berakhir dengan kenyataan “pepesan kosong”. Prioritas
pembangunan melalui usulan Musrenbag-Des yang dikawal oleh para delegasi untuk
diperjuangkan di tingkat kecamatan sampai dengan kabupaten, “menguap” di tengah
jalan, entah “disunat” oleh siapa?. Dengan tidak mengesampingkan ada juga hasil
Musrenbang-Des yang terakomodir dalam APBD, namun lebih banyak dari dokumen
tersebut sekedar tumpukan berkas.
Ilusi Musrenbang
Kekecewaan yang terus berulang dari fakta “pepesan
kosong“ Musrenbang-Des berefek domino terhadap partisipasi masayarakat. Tidak
mengherankan disejumlah desa Musrenbang-Des mejadi ritual yang kian sepi.
Padahal tiap kali pelaksanaan Musrenbang-Des, sesaat itu pula terbetik harapan
masyarakat untuk mengatasi persoalan desa mendapatkan energi dahsyat. Sayangnya
energi itu melemah seiring dengan tidak terakomodrinya prioritas usulan dalam
APBD. Lebih aneh lagi ada beberapa desa yang mengusulkan satu kegiatan tidak
hanya sekali dilakukan, tetapi dihampir setiap tahun pelaksanaan Musrenbang-Des,
namun sampai berakhirnya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM-Des) lima
tahunan, lagi-lagi usulan tersebut tak pernah terrealisasi.
Sejumlah alasan mengapa usulan dari Musrenbang-Des
seakan ilusi. Pertama: Antara
kebutuhan Desa dengan ketersediaan anggaran pemerintah daerah tidak sebanding. Jika
ditotalkan seluruh usulan dari masing-masing desa bisa mencapai angka triliun.
Di sisi yang lain kemampuan anggaran pemerintah daerah hanya dikisaran angka
miliaran. Itu pun tidak semuanya untuk belanja pembangunan. Sebagian besar APBD
dialoksikan untuk belanja aparatur/pegawai. Sehingga sangat wajar hanya
sebagian kecil saja dari usulan Musrenbang-Des dapat di realiasikan.
Kedua:
Usulan-usulan yang disampaikan desa cenderung tidak relevan (bersesuaian) dengan
program dan kegiatan Pemerintaha Daerah yang tergambar dari RPJM kabupaten/kota.
Sementara pemerintah berupaya untuk menjalankan program dan kegiatan dalam RPJM
tersebut untuk mewujudkan visi dan misi.
Kenyataan ini mengharuskan Satuan Kerja Perangka Daerah (SKPD)
mengeliminir usulan-usulan hasil Musrenbang-Des yang tidak berkorelasi dengan
tujuan pemerintahan.
Ketiga: tidak
kuatnya argumentasi prioritas usulan sehingga pengambil keputusan tidak
memiliki landasan keyakinan untuk mengakomodir usulan tersebut kedalam APBD.
Terkadang pula terjadi inkonsistensi usulan yang disampaikan oleh masyrakat desa
melalui jalur Musrenbang-Des dengan keinginan masyarakat yang disampaikan
kepada para anggota legislatif melalui Jaringan Aspirasi Masyarakat. Pada
kenyataan yang seringkali terjadi perencaaan melalui jalur politik (oleh
anggota DPRD) yang
Ketiga alasan di atas cukup normatif untuk menawar rasa
kecewa sekaligus rasa ingin tahu masyarakat yang terus mempertanyakan “nasib”
usulan dari Musrenbang-Des. Dan tidak hanya itu, sejumlah penelitian juga
menujukkan ternyata APBD seringkali diwarnai oleh keinginan (baca:
opportunistik) sebagian elit eksekutif maupun legislatif terutama untuk
kepetingan proyek, dan atau kepetingan politik.
Tetapi apapunm alasannya, jawaban tersebut di atas belumlah
utuh ketika sebagian kita tidak memahami bahwa satu-satunya kemampuan
pemerintah desa dalam menyelesaikan urusan pemerintahan dan pembangunan adalah Anggaran
Pembangunan dan Belanja Desa (APB-Des) itu sendiri, dan tidak ada selebihnya.
Pemahaman ini mempertegas bahwa usulan melalui Musrenbang-Des tersebut adalah
harapan sekaligus permohonan kepada pemerintah supra desa yang tak pasti adanya.
Sesaat setelah kita memahami ketidakpastian “nasib”
usulan melalui Musrenbang-Des melalui APBD dan satu-satunya yang dapat
memberikan kepastian realiasi usulan tersebut hanyalah APB-Des, maka sementara
waktu kita bisa bersimpulan bawah sekeras apapun aspirasi yang disampaikan
masyarakat melalui Musrenbang-Des, maka aspirasi tersebut tetaplah “mandul” dan
tak memiliki daya dobrak mempuni bagi para pengambil keputusan. Simpulan ini
sekaligus mengantarkan kita pada pertanyaan apa yang semestinya dilakukan oleh
desa untuk memperkuat keberadan usulan yang dibahas secara partisipatif oleh masyarakat
agar tidak sekedar ilusi?
Setetes Inovasi
Sejak awal Pemerintah melakukan penguatan terhadap
keuangan desa, dengan membuat kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD) yakni bagian dari dana perimbangan keuangan yg
diterima pemerintah
daerah sebesar 10% untuk desa. Bagi pemerintah daerah yang memiliki
pendapatan besar tentu berimbas pada ADD yang besar pula. Tetapi sebaliknya
daerah-daerah dengan pendapatan rendah, maka ADD untuk masing-masing desa juga
rendah, dan inilah yang paling banyak. Secara rata-rata ADD untuk setiap desa
tidak lebih dari dua ratus juta pertahun. Angka ini masih dibagi dengan biaya
aparatur yang ada didesa. Praktis anggaran untuk pembangunan kurang
dari seratus juta per tahunnya.
Minimnya anggaran untuk pembangunan desa yang tercermin
dari ADD, menempatkan Musrenbang sebagai tempat penampungan mimpi-mimpi desa
menjadi wilayah yang diperebutkan dengan lobi-lobi anggaran. Sebagian permerintah daerah (kabupaten/kota)
di Indonesia telah mengendus kelemahaman sistem Musrenbang, dan memahami dampak
buruk dari kelemahan tersebut terahadap tingkat partisipasi masyarakat dalam
pembangunan. Solusi merujuk pada
pemikiran untuk memperkuat basis penerimaan desa melalui kebijakan-kebijakan
pro desa.
Kabupaten Sumedang misalnya, pada Tahun 2007 membuat
satu kebijakan yang mereka sebut dengan Pagu
Indikatif Kewilayahan (PIK). Adalah sejumlah patokan batas maksimal anggaran
yang diberikan kepada kecamatan berbasis kewilayahan yang penentuan alokasi
belanjanya ditentukan oleh mekanisme partisipatif melalui Musrenbang Kecamatan
dengan berdasarkan kepada kebutuhan dan prioritas program yang mendesak
berdimensi strategis kewilayahan.
Mengokohkan
kebijakan tersebut, Pemerintah Daerah Kabupaten Sumedang merumuskannya dalam
bentuk Peraturan Daerah. Dimana dari total PIK tersebut didistribusikan dengan
metode 25% dibagi rata kesemua kecamatan dan 75% dibagikan secara proporsional,
menggunakan sejumlah variabel seperti sosial,ekonomi dan geografis.
Tahun
2012 Kabupaten Gorontalo membuat terobosan dengan program satu kecamatan satu
miliar (1k1m). Kebijakan ini kurang lebih sama dengan semangat Kabupaten
Sumedang untuk mereduksi kekurangketerjaminan usulan prioritas desa dalam
praktek Musrenbang sebelum-sebelumnya. Namun berbeda dengan Sumedang, Progaram
1k1m Kabupaten Gorontalo belum diformulasi dalam regulasi daerah. Sementara
dalam distribusinya menggunakan pendekatan pemerataan untuk tiap kecamatan
sedangkan distribusi ke setip desa diserahkan kepada masing-masing Camat.
Jika
program ini berkelanjutan, tentu merupakan langkah maju namun perlu pembenahan
disejumlah hal.
Ditengah serotan aspirasi masyarakat desa yang
terkadang terabaikan oleh keterbatasan pemerintah, tidak serta merta pisimisme
itu dibiarkan. Percayalah! Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
sesungguhnya terus melakukan upaya dan usaha. Semoga saja tidak sebatas wacana
tentang perjuangan 10% APBN untuk pemerintah desa atau perjuangan sejumlah
elemen tentang one million one vilage (satu
miliar satu desa). Semabari menggelayut mimpi kesejahteraan masyarakat desa, kita
tetap besabar…
DPD “BUS GRATIS” MENUJU SENAYAN
Mendekati tahapan pencalonan anggota
DPR, DPD dan DPRD, nampak “kegalauan” menghampiri sejumlah bakal Calon Anggota Legislatif
(Caleg). Kegalauan tersebut dipicu oleh dua hal penting. Pertama, jumlah Partai Politik yang akan menjadi peserta Pemilu
2014 berkurang drastis, dari 38 Parpol pada Pemilu sebelumnya, kini tinggal 10
Parpol saja. Kedua, Pasal 54, UU No. 8 Tahun 2012 yang menyebutkan “Daftar
bakal calon memuat paling banyak 100% (seratus persen) dari jumlah kursi pada
setiap daerah pemilihan. Berbeda dengan Pemilu 2009 dimana daftar bakal calon
memuat paling banyak 120% dari jumlah kursi setiap Dapil.
Pemilu 2009 diikuti oleh 38 Parpol
dengan memperebutkan 560 krusi DPR, sehingga terdapat kurang lebih 25.536 orang
yang terdaftar sebagai Caleg di seluruh Indonesia. Namun dengan hanya 10 Parpol
kontestan Pemilu 2014, maka total seluruh Caleg tidak lebih dari 5.600 orang
saja, atau hanya 21,92% dari jumlah Caleg pada Pemilu 2009. Bila diasumsikan semua
Caleg pada Pemilu 2009 berhasrat kembali untuk mendaftarkan diri, maka terdapat
78,08% yang tidak akan mendapatkan porsi tempat duduk lagi di Parpol sebagai “kendaraan”
menuju Calon Anggota DPR.
Saat ini Parpol menjadi bus yang
penuh sesak, bahkan para Caleg membentuk baris antrian yang sangat panjang. Paprol
tidak hanya disesaki oleh Caleg dari kadernya sendiri, tetapi juga akan
disesaki oleh “penumpang gelap” dari Parpol lain.
Berkurangnya Parpol peserta Pemilu merupakan
berita baik bagi penyederhanaan partai dalam rangka mendukung sistem
presidensial. Berita buruknya, berkurangnya Parpol menyebabkan minimnya armada angkut
Caleg, sementara permintaan terlalu banyak. Kondisi ini mendorong hukum ekonomi
berlangsung dimana harga tiket akan melonjak drastis dan hanya dimampui oleh
kalangan berduit. Jika ini yang terjadi, maka petaka demokrasi baru saja dimulai
dari pintu baru bernama proses pen-Caleg-kan.
Entah mengapa? Armada yang bernama
DPD kurang diniminati para politisi. Di Provinsi Gorontalo misalnya, Pemilu
Tahun 2004 jumlah politis yang mencalon diri untuk menjadi anggota DPD
sebanyak 20 orang. Pemilu berikutnya
(Tahun 2009) justru jumlahnya mengalami penuruan menjadi 19 calon saja. Merujuk
teori peluang, maka menjadi calon anggota DPD lebih besar peluang terpilihnya
bila dibandingkan peluang terpilih menjadi anggota DPR.
Para politis “berburu” menjadi Caleg
DPR, padahal selain peluang keterpilihan rendah, juga penumpangnya banyak,
ditambah lagi dengan tiket mahal. Di sisi yang lain DPD merupakan kendaraan
dengan daya angkut dan kapasitasnya tak terbatas plus tiket yang tidak terlalu
mahal. Sepanjang memiliki dukungan sesuai ketentuaan, maka berhak untuk
mencalonkan diri sebagai anggota DPD.
Dugaan besar jumlah Caleg pada Pemilu
kali ini akan berimbang antara jumlah Caleg DPR melalui Partai Politik dengan
Caleg DPD melalui jalur dukungan rakyat. Dan bila dugaan ini benar, maka penambahan
jumlah Caleg DPD tersebut berkolerlasi dengan
berkurangnya daya tampung Parpol yang bisa membawa Calegnya ke
Senayan. Dan bila lagi-lagi dugaan ini
benar, maka seolah DPD menjadi kelas ke dua setelah DPR.
Sebuah paradigma yang kurang elok
dalam sistem bi kameral kita.
SIMULASI KETIKA METODE PERHITUNGAN PEROLEHAN SUARA BERUBAH
(Tulisan ini dibuat saat DPR membahas UU Pemilu 2014, diposting kembali kepada pembaca blog, semoga bermanfaat)
Pemilu 2014 masih jauh, namun aroma pertarungan partai sudah dimulai. Sejumlah partai berbeda pendapat tentang metode penghitungan suara. Begitu penting metode dalam penghitungan suara karena inilah alat yang digunakan untuk mengkonversi suara menjadi kursi di parlemen. Terdapat empat metode yang menghangat didiskusikan, yakni dua usulan mengusung Metode Kuota, seperti yang diterapkan pada Pemilu 1955 hingga 2009. Dua usulan lainnya menawarkan Metode Divisor, untuk mengganti Metode Kuota yang dinilai kurang “adil”.
Metode kuota mungkin mudah dipahami karena seperti pemilu sebelumnya dimana suara dihitung berdasarkan kuota atau yang sering kita kenal dengan Bilangan Pembagi Pemilh (BPP). Namun metode yang ditawarkan oleh Partai Golkar dan PKS, yakni metode devisior varian D'Hondt dan Sainte-Lague kedengaran asing ditelinga kita. Walaupun dalam terminologi politik hal ini sudah banyak diadopsi oleh negara-negara lain.
Secara operasional kedua varian dari metode dIvisior diatas hampir sama, yang bereda hanya pada deret ukur yang digunakan untuk Bilangan Pembagi Tetap. Bila pada varian D’Hondt digunakan deret 1,2,3,4,5 dan seterusnya, sedangkan pada varian Sainte-Lague ala PKS digunakan deret angka 1.4,3,5,7 dan seterusnya.
Hasil simulasi yang saya lakukan terhadap kedua varian tersebut pada hasil perolehan suara Pemilu 2008 di Kabupaten Gorontalo hasilnya tidak memiliki perbedaan terhadap perolehan kursi DPRD. Namun akan berbeda jauh hasilnya bila dibandingkan dengan metode kuota pada Pemilu 2008.
Misalnya saja jika saat ini partai Hanura hanya memiliki 5 kursi, namun bila digunakan metode devisior baik varian D’Hondt dan Sainte-Lague akan bertambah 1 kursi. Selain Hanura, Partai-partai besar juga akan diuntungkan dengan metode ini. Golkar misalnya akan ketambahan 2 kursi, PPP akan ketambahan 2 kursi dan PDIP ketambahan 1 kursi. Disisi yang lain partai-partai seperti PPRN,PKS,PBR dan Partai Demokrat masing-masing akan kehilangan 1 kursi sedangkan untuk PBB yang saat ini memiliki 2 kursi jika digunakan metode devisior ini akan kehilangan semua kursinya di DPRD. Satu-satunya partai yang tidak berubah jumlah kursinya dengan kedua model perhitungan ini hanyalah PAN.
Hasil simulasi ini menunjukkan bahwa parati-partai kecil akan semakin sulit untuk eksis. Tidak hanya di DPR namun sampai pada tingkat DPRD. Hal ini sangat mudah dijelaskkan dengan matematis karena semakin kecil bilangan pembaginya makan akan semakin baik bagi partai yang memiliki perolehan suara besar.
Jika metode kuoata yang saat ini isunya semakin kuat diparlemen akan mewarnai perubahan undang-undang pemilu hendaknya Anggota DPRD kabupaten/kota turut berhitung. Apalagi bila parliamentary threshold juga akan diberlakukan sampai pada tingkat DPRD. Andai ini yang terjadi maka lebih dari separuh anggota DPRD akan menjadi penikmat kursi “haram”
Bersambung…
Ketika Golput Diproduksi Sistem dan Penyelenggara
Tinjauan
Historis
Pemilu pertama Indonesia dilakukan
pada tahun 1955, saat itu istilah Golongan Putih (GOLPUT) belumlah dikenal
dalam tradisi kepemiluan. Namun faktanya pada waktu itu terdapat pemilih yang
tidak menggunakan hak pilihnya sebesar 12,34% dari total pemilih. Dikemudian
hari orang-orang yang tidak menggunakan hak pilihnya tersebut dicap Golput.
Golput sendiri dikenal ditingkat
masyarakat luas kurang lebih 16 tahun
setelah Pemilu pertama digelar, tepatnya pada tanggal 3 Juni 1971 saat
Indonesia memasuki Pemilu kedua. Golput pertama kali merupakan “gerakan moral”
yang oleh Arief Budiman disebut “gerakan bukan untuk mencapai kemenangan
politik, tetapi lebih untuk melahirkan tradisi dimana ada jaminan perbedaan
pendapat dengan penguasa dalam situasi apa pun”.
Golput seringkali ditafsirkan dengan
orang-orang yang tidak menggunakan hak pilihnya. Walaupun pemahaman ini tidak
keliru tetapi tidak sepenuhnya benar. Merujuk pada histori lahirnya Goput
sebagai gerakan moral, itu artinya Golput dilakukan dalam wilayah sadar oleh
pemilihnya. Namun orang-orang yang tidak menggunakan hak pilih tidak semuanya
bisa dikatakan Golput. Bisa jadi ada pemilih yang tidak menggunakan hak pilih
diluar dari kesadarnya, dan lebih disebabkan oleh produksi sistem atau maladminstrasi
penyelenggara kepemiluan. Dalam konteks ini Golput menjadi masalah serius.
Untuk kegunaan tulisan ini Golput diartikan orang yang tidak menggunakan hak
pilihnya entah itu sadar atau tidak.
Sejak Pemilu 1955 angka Golput cenderung
naik. Bila dihitung dari pemilih tidak datang dan suara tidak sah, Golput pada
Pemilu 1955 sebesar 12,34%. Pada pemilu 1971, ketika golput dicetuskan dan
dikampanyekan, justru mengalami penurunan hanya 6,67%. Sampai dipenghujung Orde
Baru (Pemilu 1997) angka partisipasi pemilih mencapai 94.63%, angka Golput
berkisar hanya 5,37% saja. Pemilu terakhir (Tahun 2009) angka Golput telah
mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah. Kurang lebih 29% masyarakat pemilih
tidak menggunakan haknya di Pemilu. Sulit untuk menjastifikasi angka sebesar
itu dilakukan secara sadar oleh kurang lebih 49 juta lebih pemilih. Angka
tersebut sekaligus dapat membenarkan dugaan sejumlah pihak yang memunculkan
pandangan bahwa pemilih bisa Golput karena sistem pendataan atau kelalaian
penyelenggara Pemilu.
Bentuk
Golput Produksi Sistem
Penyelenggaran Pemilu sebelumnya
(Tahun 2009) tingkat partisipasi pemilih yang sangat rendah, juga di lain pihak
terdapat sejumlah warga negara yang telah berhak memilih namun luput dari
pendataan. Hal ini sesungguhnya sudah
bisa diduga sebelumnya karena sistem pendataan yang digunakan kurang tepat,
dimana Pemilu legislatif menggunakan pendataan berbasis Kartu Tanda Penduduk
(KTP) dan bukan basis domisili.
Pendataan dengan basis KTP memiliki keunggulan sekaligus kelemahan dalam
saat yang bersamaan. Kelemahan mendasar pendataan model ini adalah pemilih yang
karena urusan tertentu sampai dengan hari pemungutan tidak berdomisili sesuai
dengan alamt KTP sudah bisa dipastikan tidak akan bisa menggunakan hak pilihnya
(baca: Golput) karena KTP dengan domisili pemilih berbeda. Dikemudian hari Penyelengara
pada periode itu memperbaiki basis pendataan dari KTP kependataan dengan basis
domisili pada Pemilu Pilpres.
Hal lain yang juga cukup penting dan sekaligus berpengaruh terhadap
pendataan pemilih adalah stelsel yang digunakan. Terdapat dua stelsel dalam
pendataan, yakni stelsel aktif dan setelsel pasif. Pada stelsel aktif, pemilih
digugah untuk secara aktif mengecek dan memastikan namanya telah terdaftar
sebagai pemilih. Secara teknis, penyelenggara (petugas pendataan pemilih) membuat daftar pemilih sementara. yang
kemudian mengumumkan daftar tersebut ditempat-tempat yang mudah diakses oleh
pemilih.
Metode ini merupakan pesan regulasi, namun cenderung tidak realistis.
Dapat dibayangkan seseorang yang karena kesibukan aktivitasnya masih harus meluangkan
waktu mencari pengumuman hanya untuk mengecek namanya berada di dalam daftar
pemilih. Dan lagi-lagi potensi pemilih
untuk Golput dengan stelsel ini lebih besar bila dibandingkan dengan stelsel
pasif, dimana penyelenggaralah yang aktif menemui pemilih untuk didata
sekaligus dipastikan mereka terdaftar sebagai pemilih.
Bentuk
Golput Produksi Penyelenggara
Luis De Sipio, dkk, mencatat tiga
kategori warga negara yang tidak berpatisipasi dalam Pemilu. Pertama, Registered Not Voted : yaitu kalangan warga Negara yang memiliki hak
pilih dan telah terdaftar namun tidak menggunakan hak pilih. Kedua, Citizen-not Registered : yaitu kalangan warga Negara yang
memiliki hak pilih namun tidak terdaftar sehingga tidak memiliki hak pilih. Ketiga, Non-Citizen : Mereka yang dianggap bukan warga negara (penduduk
suatu daerah) sehingga tidak memiliki hak pilih.
Penyelenggara Pemilu (baca: KPU)
berkontribusi atas terjadinya Golput pada dua kategori di atas (Registered Not Voted and Citizen-not Registered). Kelalaian penyelenggara berakibat Golput
ini dapat terjadi pada dua momen penting, yakni pada saat pelaksanaan
pendaftaraan dan saat menjelang hari pemungutan suara.
Keitidakcermatan penyelenggaran pada saat pelaksanaan pendataan pemilih
bisa menyebabkan pemilih tidak terdaftar (luput dari pendaataan), atau seorang
pemilih terdaftar lebih dari sekali. Kedua-duanya akan berakibat pada jumlah
partisipasi pemilih. Kelalaian pertama berakibat pemilih tidak mungkin bisa
masuk TPS karena tidak terdaftar. Sementara pemilih yang terdaftar lebih dari
sekali hanya menggunakan hak pilihnya sekali, sehingga menyebabkan data pada rekpitulasi
pemilih yang tidak menggunakan hak pilih menjadi besar, padahal secara faktual
pemilih yang bersangkutan telah menggunakan haknya, tetapi tidak dengan data.
Alasan lain pemilih untuk Golput adalah
tidak mendapatkan undangan untuk memilih. Kebiasaan menjelang hari pelaksanaan
Pemilu, pemilih akan menerima undangan memilih di TPS dimana ia terdaftar. Proses
ini dilakukan oleh penyelenggara Pemilu di tingkat bawah (baca: KPPS). Disaat
yang sama KPPS juga mempersipakan logistik Pemilu dan membangun TPS. Kondisi
keterbatasan dan ketersibukan penyelenggara, selain alasan lain dari pemilih
yang tidak ditemukan alamatnya oleh KPPS, menyebabkan sampai dengan hari
pemilihan, undangan tidak sampai ditangan pemilih.
Didalam peraturan memang telah disebutkan bahwa tanpa undangan untuk
memilih seseorang yang telah terdaftar dapat menggunakan hak, hanya dengan
menunjukkan KTP. Namun bagi pemilih yang terbiasa dengan Pemilu yang harus
terdaftar dan mendapatkan undangan hal tersebut menjadi sesuatu yang berbeda.
Cenderung mereka untuk tidak menggunakan hak pilihnya.
Pemilu 2014, Pemilu Pembenahan
Kelemahan pendataan pemilih, dari segi sistem maupun
penyelenggara untuk 2014 terjadi pembenahan yang cukup signifikan. Dalam Pasal
34 UU Nomor 8 Tahun 2012 (baca: UU Pemilu) tegas disebutkan bahwa saat
pendaftaran dilakukan, maka petugas pendaftar akan memberikan tanda bukti telah
terdaftar bagi Pemilih. Cara ini merupakan penegasan perubahan stelsel
pendaftaran dari stelsel aktif menjadi stelsel pasif.
Pemilu 2014 juga memberi peluang kepada pemilih yang
luput dari proses pendaftaran untuk dapat menggunakan hak pilihnya (Pasal 149) dengan
membawa KTP ke TPS di RT/RW atau nama
lain sesuai dengan alamat yang tertera di dalam KTP.
Dengan sejumlah perubahan mendasar tersebut,
undang-undang ingin memastikan semua warga negara yang telah memiliki hak pilih
dapat menggunkan haknya. Walau demikian, penyelenggara Pemilu perlu
mensosialisasikannya kepada seluruh masyarakat, terutama kepada masyarakat yang
masih bertradisi harus terdaftar dan atau mendapatkan undangan untuk dapat
memilih.