Senin, April 15, 2013

DPD “BUS GRATIS” MENUJU SENAYAN


Mendekati tahapan pencalonan anggota DPR, DPD dan DPRD, nampak “kegalauan” menghampiri sejumlah bakal Calon Anggota Legislatif (Caleg). Kegalauan tersebut dipicu oleh dua hal penting. Pertama, jumlah Partai Politik yang akan menjadi peserta Pemilu 2014 berkurang drastis, dari 38 Parpol pada Pemilu sebelumnya, kini tinggal 10 Parpol saja. Kedua, Pasal 54,  UU No. 8 Tahun 2012 yang menyebutkan “Daftar bakal calon memuat paling banyak 100% (seratus persen) dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan. Berbeda dengan Pemilu 2009 dimana daftar bakal calon memuat paling banyak 120% dari jumlah kursi setiap Dapil.

Pemilu 2009 diikuti oleh 38 Parpol dengan memperebutkan 560 krusi DPR, sehingga terdapat kurang lebih 25.536 orang yang terdaftar sebagai Caleg di seluruh Indonesia. Namun dengan hanya 10 Parpol kontestan Pemilu 2014, maka total seluruh Caleg tidak lebih dari 5.600 orang saja, atau hanya 21,92% dari jumlah Caleg pada Pemilu 2009. Bila diasumsikan semua Caleg pada Pemilu 2009 berhasrat kembali untuk mendaftarkan diri, maka terdapat 78,08% yang tidak akan mendapatkan porsi tempat duduk lagi di Parpol sebagai “kendaraan” menuju Calon Anggota DPR.

Saat ini Parpol menjadi bus yang penuh sesak, bahkan para Caleg membentuk baris antrian yang sangat panjang. Paprol tidak hanya disesaki oleh Caleg dari kadernya sendiri, tetapi juga akan disesaki oleh “penumpang gelap” dari Parpol lain.

Berkurangnya Parpol peserta Pemilu merupakan berita baik bagi penyederhanaan partai dalam rangka mendukung sistem presidensial. Berita buruknya, berkurangnya Parpol menyebabkan minimnya armada angkut Caleg, sementara permintaan terlalu banyak. Kondisi ini mendorong hukum ekonomi berlangsung dimana harga tiket akan melonjak drastis dan hanya dimampui oleh kalangan berduit. Jika ini yang terjadi, maka petaka demokrasi baru saja dimulai dari pintu baru bernama proses pen-Caleg-kan.

Entah mengapa? Armada yang bernama DPD kurang diniminati para politisi. Di Provinsi Gorontalo misalnya, Pemilu Tahun 2004 jumlah politis yang mencalon diri untuk menjadi anggota DPD sebanyak  20 orang. Pemilu berikutnya (Tahun 2009) justru jumlahnya mengalami penuruan menjadi 19 calon saja. Merujuk teori peluang, maka menjadi calon anggota DPD lebih besar peluang terpilihnya bila dibandingkan peluang terpilih menjadi anggota DPR.

Para politis “berburu” menjadi Caleg DPR, padahal selain peluang keterpilihan rendah, juga penumpangnya banyak, ditambah lagi dengan tiket mahal. Di sisi yang lain DPD merupakan kendaraan dengan daya angkut dan kapasitasnya tak terbatas plus tiket yang tidak terlalu mahal. Sepanjang memiliki dukungan sesuai ketentuaan, maka berhak untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD.

Dugaan besar jumlah Caleg pada Pemilu kali ini akan berimbang antara jumlah Caleg DPR melalui Partai Politik dengan Caleg DPD melalui jalur dukungan rakyat. Dan bila dugaan ini benar, maka penambahan jumlah Caleg DPD tersebut berkolerlasi dengan  berkurangnya daya tampung Parpol yang bisa membawa Calegnya ke Senayan.  Dan bila lagi-lagi dugaan ini benar, maka seolah DPD menjadi kelas ke dua setelah DPR.
Sebuah paradigma yang kurang elok dalam sistem bi kameral kita.

0 komentar:

Posting Komentar

KOMENTARNYA..DONK.!