Sabtu, Oktober 06, 2012

KEPALA DAERAH MUNDUR? (Menggugat Undang-Undang Pemilu)


Pendahuluan
Undang-Undangg Pemilu baru saja di disahkan, tepatnya 11 Mei 2012. Walaupun terdapat pasal yang benar-benar baru dalam Undang-Undang tersebut, namun selebihnya merupakan pasal penyempurnaan dari undang-undang sebelumnya.
Salah satu pasal baru dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 adalah pasal 51 huruf k yang menyatakan “mengundurkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah…” untuk menjadi bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten. Demikian pula jika kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mencalonkan diri sebagai anggota DPD (pasal 12 hufuf k).
Pasal ini berpotensi untuk digugat karena terdapat sejumlah kenjanggalan hukum yang menyertainya. Kejanggalan-kejanggalan tersebut dapat dieksplor melalui pertanyaan: Pertama: Mengapa syarat mundur bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk menjadi calon legislatif tidak berlaku bagi presiden dan wakil presiden?. Padahal kedua jabatan tersebut sama-sama merupakan jabatan politik yang dipilih secara langsung oleh masyarakat melalui mekanisme Pemilihan Umum (Pemilu); Kedua: Mengapa kepala daerah dan wakil kepala daerah ketika mencalonkan diri sebagai bupati/wakil bupati maupun sebagai gubernur/wakil gubernur tidak harus mengundurkan diri, tetapi hanya menjalani cuti di luar tanggungan negara pada saat melaksanakan kampanye?. Padahal baik Pilkada maupun Pileg keduanya sama-sama Pemilu?; dan Ketiga: Apa argumentasi hukum ketika kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih untuk lima tahun kehilangan hak konstitusinya hanya karena mencalonkan diri menjadi anggota legislatif?. Padahal kepala daerah dan wakil kepala daerah behenti dari jabatannya yang diatur dalam UU Pemerintahan Daerah tidak menyebutkan tentang pengunduran diri ketika menjadi calon anggota legislatif.
Alasan Pembenaran

Alasan pembenar mengapa kepala daerah dan wakil kepala daerah harus mundur ketika mencalonkan diri menjadi anggota legislatif adalah alasan pembusukan kekuasaan (abuse of power) serta alasan pertentangan kepentingan (conflict of interest). Penyalahgunaan kewenangan/kekuasaan patut dicurigai dilakukan kepala daerah dalam pelaksanaan Pemilu. sejumlah fakta juga memperkuat kecurigaan tersebut, dimana kepala daerah dengan kekuasaannya dapat menggerakan roda birokrasi dan diarahkan untuk mendukung kekuatan politik tertentu. Bisa jadi kekuatan birokrasi (baca: PNS) digunakan dalam mengkatrol suara ketika kepala daerah/wakil kepala daerah yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
Dua bentuk penyalahgunaan kekuasaan kepala daerah dalam memperalat PNS sebagai kekuatan politik. Pertama: PNS merupakan bawahan yang dengan mudah ditekan/diintimidasi dengan bentuk mutasi bila tidak memberikan dukungan atau tidak memilih sesuai kehendak penguasa. Kedua: terjadi symbiosis mutualis, dimana PNS yang memberikan dukungan ditawarkan promosi jabatan pada posisi-posisi tertentu. Dikhawatirkan pula kepala daerah/wakil kepala daerah bila tidak mengundurkan diri menjadi calon anggota legislatif, maka dengan kekuasaannya akan memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan politik. Menggunakan program/kegiatan yang dibiayai APBD guna meningkatkan popularitas atau bentuk lain semisal membagi-bagikan proyek kepada Tim Sukses (TS).
Pembenaran berikutanya adalah menjamin pemerintahan daerah berjalan stabil tanpa kejutan-kejutan berarti (berganti kepemimpinan di tengah masa jabatan). Oleh karena itu kepala daerah diharapakan berkonsentrasi melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan, sementara di sisi yang lain kepentingan politik tidak mengganggu kebijakan-kebijakan pemerintaha daerah.
Menjadi kepala daerah/wakil kepala daerah dan menjadi anggota legislatif merupakan pilihan. Logika ini mendorong kondisi dilematis. Kepala daerah/wakil kepala daerah diperhadapkan dengan dua pilihan jabatan politik. Ketika kepala daerah/wakil kepala daerah yang hendak menjadi calon anggota legislatif harusnya mudur dari jabatannya sehingga pilihan untuk menjadi calon tidak sekedar mencoba-coba atau mengukur kekuatan politik semata.

Mengapa di gugat?
Pasal-pasal yang berhubungan dengan pengunduran diri kepala daerah dan wakil kepala daerah pada Undang-Undang Pemilu Tahun 2012 memiliki prespektif perlakuan yang tidak sama (unequal treatment). Selain perlakuan tidak sama, juga pasal tersebut telah merampas hak konstitusional dari kepala daerah maupun wakil kepala daerah yang semestinya memegang jabatan selama 5 (lima) tahun sejak pelantikan (Pasal 110 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004).
Berkaca pada Putusan Mahkamah Konstitusi (Putusan Nomor 17/PUU-VI/2008) pada beberapa tahun yang lalu mengenai gugatan materi terhadap ketentuan Pasal 58 huruf q Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan bahwa  “Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat: q. Mengundurkan diri sejak pendaftaran bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang masih menduduki jabatannya”. MK berkesimpulan bahwa pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat (1) menyatakan: "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya". Pasal 28D ayat (1) menyatakan: "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum".
Dari putusan di atas nampak bahwa MK berpandangan tidak ada perbedaan antara presiden/wakil presiden maupun bupati/wakil bupati dalam konteks jabatan politik. Antar keduanya sama-sama sebagai pejabat negara yang berbeda hanya pada tingkatannya saja (pusat dan daerah).  Perbedaan tingkatan tersebut tidak harus berimplikasi pada perbedaan pemberlakuan, karena baik Bupati maupun Gubernur sebagai kepala pemerintah di daerah dan Presiden selaku kepala pemerintah (pusat), sama-sama dipilih oleh rakyat melalui mekanisme pemilihan umum dengan asas dan metode yang sama.
Relevan dengan Pasal 51 huruf k UU Nomor 8 Tahun 2012 yang hanya menyebut kepala daerah/wakil kepala daerah tanpa menyebut presiden/wakil presiden mundur ketika menjadi calon anggota legislatif, mencederai rasa pemberlakuan setara antara sesama pejabat negara.
Kurang lebih tiga kali keberadaan Kepala Daerah yang hendak mencalonkan diri menjadi kepala daerah (baik menjadi bupati maupun gubernur) mengalami perubahan. Ketentuan pertama dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan kepala daerah tidak perlu mundur, tapi cuti sementara. Ketika UU Nomor 12 Tahun 2008 disahkan, disebutkan pada pada pasal 58 huruf q “mengundurkan diri sejak pendaftaran bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang masih menduduki jabatannya. Dikemudian hari pasal ini di gugat ke MK oleh H. Sjachroedin Zp, S.H. (Gubernur Lampung) dan gugatannya dikabulkan. Akhirnya sampai dengan saat ini kepala daerah/wakil kepala daerah tidak harus mundur ketika mencalokan menjadi bupati maupun gubernur.
Baik Pemilukada maupun Pemilu Legislatif (Pileg) lagi-lagi sama keberadaannya sebagai sarana menseleksi kepemimpinan. Pengunduran kepala daerah/wakil kepala daerah menjadi kurang adil bila hanya untuk satu Pemilu sementara pada Pemilu yang lain tidak perlu mundur. Di sini pula kemudian perlakuan pasal menjadi tidak konsisten.
Bila abuse of power maupun conflict of interest yang dijadikan alasan, maka fenomena dapat membuktikan bahwa jauh lebih besar potensi penyimpangan tersebut dilakukan pada saat Pilkada dari pada saat pelaksanaan Pileg.
Pasal 110 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004, menyatakan “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan”. Sedangkan Pasal 51 ayat 1 huruf k UU Nomor 8 Tahun 2008 “Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan:… k). mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah…” Semakin parah lagi ketentuan ini dipertegas dengan pernyataan “surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik…” (ayat 2 huruf h). Akibatnya bagi kepala daerah yang berhajat untuk menjadi calon anggota legislatif harus mundur ditengah jalan. Sementara hak konstitusionalnya untuk memegang jabatan lima tahun sebagai kepala daerah terabaikan.
Hanya 3 (tiga) alasan Kepala Daerah  dapat berhenti dari jabatannya, yakni: meninggal dunia; permintaan sendiri; atau diberhentikan. Mengundurkan diri bagi kepala daerah ketika mencalonkan anggota legilatif yang disyaratkan oleh UU Nomor 8 Tahun 2012 merupakan bentuk pemaksaan. Sementara terdapat cara lain yang dapat ditempuh dengan tidak harus mengundurkan diri, yakni “cuti di luar tanggungan negara”.

Simpulan
Kepala daerah merupakan pihak yang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya pasal 51 huruf k UU Nomor 8 Tahun 2012, sehingganya hanya kepala daerah yang mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk menggugat Undang-Undang ini. Namun keterusikan nilai keadilan sebagai bahasa universal, membuat masalah ini layak dipercakapkan oleh siapapun.
Selain inkonsistensi aturan atas keberadaan kepala daerah/wakil kepala daerah dalam Pemilu, dimana pada Pilkada hanya menjalani cuti di luar tanggungan negara sedangkan pada Pemilu Legislatif kepala daerah harus mengundurkan, Pasal 51 UU Nomor 8 Tahun 2012 juga telah merampas hak konstitusional kepala daerah. Tak hanya itu, pasal tersebut berlaku dikriminatif, dengan tidak memperlakukan setara terhadap jabatan politik presiden/gubernur/bupati yang secara bersama-sama dipilih melalui asas dan metode Pemilu yang sama. Jikalau untuk kasus yang sama diperlakukan berbeda dan masalah yang berbeda diperlakukan sama, maka itulah ketidakadilan. GUGAT!

0 komentar:

Posting Komentar

KOMENTARNYA..DONK.!