Anak-anak-1

Pemerintah yang menggaung - gaungkan program pendidikan wajib belajar 9 tahun belum mencapai targetnya.Bagaimana kita bisa akan menjadi negara yang maju,jika pendidikan masih dipandang sebelah mata.

Anak-anak-2

Pemerintah yang menggaung - gaungkan program pendidikan wajib belajar 9 tahun belum mencapai targetnya.Bagaimana kita bisa akan menjadi negara yang maju,jika pendidikan masih dipandang sebelah mata.

Anak-anak-3

Pemerintah yang menggaung - gaungkan program pendidikan wajib belajar 9 tahun belum mencapai targetnya.Bagaimana kita bisa akan menjadi negara yang maju,jika pendidikan masih dipandang sebelah mata.

Anak-anak-4

Pemerintah yang menggaung - gaungkan program pendidikan wajib belajar 9 tahun belum mencapai targetnya.Bagaimana kita bisa akan menjadi negara yang maju,jika pendidikan masih dipandang sebelah mata.

Anak-anak-5

Pemerintah yang menggaung - gaungkan program pendidikan wajib belajar 9 tahun belum mencapai targetnya.Bagaimana kita bisa akan menjadi negara yang maju,jika pendidikan masih dipandang sebelah mata.

Sabtu, Oktober 06, 2012

KEPALA DAERAH MUNDUR? (Menggugat Undang-Undang Pemilu)


Pendahuluan
Undang-Undangg Pemilu baru saja di disahkan, tepatnya 11 Mei 2012. Walaupun terdapat pasal yang benar-benar baru dalam Undang-Undang tersebut, namun selebihnya merupakan pasal penyempurnaan dari undang-undang sebelumnya.
Salah satu pasal baru dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 adalah pasal 51 huruf k yang menyatakan “mengundurkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah…” untuk menjadi bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten. Demikian pula jika kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mencalonkan diri sebagai anggota DPD (pasal 12 hufuf k).
Pasal ini berpotensi untuk digugat karena terdapat sejumlah kenjanggalan hukum yang menyertainya. Kejanggalan-kejanggalan tersebut dapat dieksplor melalui pertanyaan: Pertama: Mengapa syarat mundur bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk menjadi calon legislatif tidak berlaku bagi presiden dan wakil presiden?. Padahal kedua jabatan tersebut sama-sama merupakan jabatan politik yang dipilih secara langsung oleh masyarakat melalui mekanisme Pemilihan Umum (Pemilu); Kedua: Mengapa kepala daerah dan wakil kepala daerah ketika mencalonkan diri sebagai bupati/wakil bupati maupun sebagai gubernur/wakil gubernur tidak harus mengundurkan diri, tetapi hanya menjalani cuti di luar tanggungan negara pada saat melaksanakan kampanye?. Padahal baik Pilkada maupun Pileg keduanya sama-sama Pemilu?; dan Ketiga: Apa argumentasi hukum ketika kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih untuk lima tahun kehilangan hak konstitusinya hanya karena mencalonkan diri menjadi anggota legislatif?. Padahal kepala daerah dan wakil kepala daerah behenti dari jabatannya yang diatur dalam UU Pemerintahan Daerah tidak menyebutkan tentang pengunduran diri ketika menjadi calon anggota legislatif.
Alasan Pembenaran

Alasan pembenar mengapa kepala daerah dan wakil kepala daerah harus mundur ketika mencalonkan diri menjadi anggota legislatif adalah alasan pembusukan kekuasaan (abuse of power) serta alasan pertentangan kepentingan (conflict of interest). Penyalahgunaan kewenangan/kekuasaan patut dicurigai dilakukan kepala daerah dalam pelaksanaan Pemilu. sejumlah fakta juga memperkuat kecurigaan tersebut, dimana kepala daerah dengan kekuasaannya dapat menggerakan roda birokrasi dan diarahkan untuk mendukung kekuatan politik tertentu. Bisa jadi kekuatan birokrasi (baca: PNS) digunakan dalam mengkatrol suara ketika kepala daerah/wakil kepala daerah yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
Dua bentuk penyalahgunaan kekuasaan kepala daerah dalam memperalat PNS sebagai kekuatan politik. Pertama: PNS merupakan bawahan yang dengan mudah ditekan/diintimidasi dengan bentuk mutasi bila tidak memberikan dukungan atau tidak memilih sesuai kehendak penguasa. Kedua: terjadi symbiosis mutualis, dimana PNS yang memberikan dukungan ditawarkan promosi jabatan pada posisi-posisi tertentu. Dikhawatirkan pula kepala daerah/wakil kepala daerah bila tidak mengundurkan diri menjadi calon anggota legislatif, maka dengan kekuasaannya akan memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan politik. Menggunakan program/kegiatan yang dibiayai APBD guna meningkatkan popularitas atau bentuk lain semisal membagi-bagikan proyek kepada Tim Sukses (TS).
Pembenaran berikutanya adalah menjamin pemerintahan daerah berjalan stabil tanpa kejutan-kejutan berarti (berganti kepemimpinan di tengah masa jabatan). Oleh karena itu kepala daerah diharapakan berkonsentrasi melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan, sementara di sisi yang lain kepentingan politik tidak mengganggu kebijakan-kebijakan pemerintaha daerah.
Menjadi kepala daerah/wakil kepala daerah dan menjadi anggota legislatif merupakan pilihan. Logika ini mendorong kondisi dilematis. Kepala daerah/wakil kepala daerah diperhadapkan dengan dua pilihan jabatan politik. Ketika kepala daerah/wakil kepala daerah yang hendak menjadi calon anggota legislatif harusnya mudur dari jabatannya sehingga pilihan untuk menjadi calon tidak sekedar mencoba-coba atau mengukur kekuatan politik semata.

Mengapa di gugat?
Pasal-pasal yang berhubungan dengan pengunduran diri kepala daerah dan wakil kepala daerah pada Undang-Undang Pemilu Tahun 2012 memiliki prespektif perlakuan yang tidak sama (unequal treatment). Selain perlakuan tidak sama, juga pasal tersebut telah merampas hak konstitusional dari kepala daerah maupun wakil kepala daerah yang semestinya memegang jabatan selama 5 (lima) tahun sejak pelantikan (Pasal 110 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004).
Berkaca pada Putusan Mahkamah Konstitusi (Putusan Nomor 17/PUU-VI/2008) pada beberapa tahun yang lalu mengenai gugatan materi terhadap ketentuan Pasal 58 huruf q Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan bahwa  “Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat: q. Mengundurkan diri sejak pendaftaran bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang masih menduduki jabatannya”. MK berkesimpulan bahwa pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat (1) menyatakan: "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya". Pasal 28D ayat (1) menyatakan: "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum".
Dari putusan di atas nampak bahwa MK berpandangan tidak ada perbedaan antara presiden/wakil presiden maupun bupati/wakil bupati dalam konteks jabatan politik. Antar keduanya sama-sama sebagai pejabat negara yang berbeda hanya pada tingkatannya saja (pusat dan daerah).  Perbedaan tingkatan tersebut tidak harus berimplikasi pada perbedaan pemberlakuan, karena baik Bupati maupun Gubernur sebagai kepala pemerintah di daerah dan Presiden selaku kepala pemerintah (pusat), sama-sama dipilih oleh rakyat melalui mekanisme pemilihan umum dengan asas dan metode yang sama.
Relevan dengan Pasal 51 huruf k UU Nomor 8 Tahun 2012 yang hanya menyebut kepala daerah/wakil kepala daerah tanpa menyebut presiden/wakil presiden mundur ketika menjadi calon anggota legislatif, mencederai rasa pemberlakuan setara antara sesama pejabat negara.
Kurang lebih tiga kali keberadaan Kepala Daerah yang hendak mencalonkan diri menjadi kepala daerah (baik menjadi bupati maupun gubernur) mengalami perubahan. Ketentuan pertama dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan kepala daerah tidak perlu mundur, tapi cuti sementara. Ketika UU Nomor 12 Tahun 2008 disahkan, disebutkan pada pada pasal 58 huruf q “mengundurkan diri sejak pendaftaran bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang masih menduduki jabatannya. Dikemudian hari pasal ini di gugat ke MK oleh H. Sjachroedin Zp, S.H. (Gubernur Lampung) dan gugatannya dikabulkan. Akhirnya sampai dengan saat ini kepala daerah/wakil kepala daerah tidak harus mundur ketika mencalokan menjadi bupati maupun gubernur.
Baik Pemilukada maupun Pemilu Legislatif (Pileg) lagi-lagi sama keberadaannya sebagai sarana menseleksi kepemimpinan. Pengunduran kepala daerah/wakil kepala daerah menjadi kurang adil bila hanya untuk satu Pemilu sementara pada Pemilu yang lain tidak perlu mundur. Di sini pula kemudian perlakuan pasal menjadi tidak konsisten.
Bila abuse of power maupun conflict of interest yang dijadikan alasan, maka fenomena dapat membuktikan bahwa jauh lebih besar potensi penyimpangan tersebut dilakukan pada saat Pilkada dari pada saat pelaksanaan Pileg.
Pasal 110 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004, menyatakan “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan”. Sedangkan Pasal 51 ayat 1 huruf k UU Nomor 8 Tahun 2008 “Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan:… k). mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah…” Semakin parah lagi ketentuan ini dipertegas dengan pernyataan “surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik…” (ayat 2 huruf h). Akibatnya bagi kepala daerah yang berhajat untuk menjadi calon anggota legislatif harus mundur ditengah jalan. Sementara hak konstitusionalnya untuk memegang jabatan lima tahun sebagai kepala daerah terabaikan.
Hanya 3 (tiga) alasan Kepala Daerah  dapat berhenti dari jabatannya, yakni: meninggal dunia; permintaan sendiri; atau diberhentikan. Mengundurkan diri bagi kepala daerah ketika mencalonkan anggota legilatif yang disyaratkan oleh UU Nomor 8 Tahun 2012 merupakan bentuk pemaksaan. Sementara terdapat cara lain yang dapat ditempuh dengan tidak harus mengundurkan diri, yakni “cuti di luar tanggungan negara”.

Simpulan
Kepala daerah merupakan pihak yang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya pasal 51 huruf k UU Nomor 8 Tahun 2012, sehingganya hanya kepala daerah yang mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk menggugat Undang-Undang ini. Namun keterusikan nilai keadilan sebagai bahasa universal, membuat masalah ini layak dipercakapkan oleh siapapun.
Selain inkonsistensi aturan atas keberadaan kepala daerah/wakil kepala daerah dalam Pemilu, dimana pada Pilkada hanya menjalani cuti di luar tanggungan negara sedangkan pada Pemilu Legislatif kepala daerah harus mengundurkan, Pasal 51 UU Nomor 8 Tahun 2012 juga telah merampas hak konstitusional kepala daerah. Tak hanya itu, pasal tersebut berlaku dikriminatif, dengan tidak memperlakukan setara terhadap jabatan politik presiden/gubernur/bupati yang secara bersama-sama dipilih melalui asas dan metode Pemilu yang sama. Jikalau untuk kasus yang sama diperlakukan berbeda dan masalah yang berbeda diperlakukan sama, maka itulah ketidakadilan. GUGAT!

BUMERANG PEMILU ATAS NAMA PERLAKUAN SAMA

Memungkinkan terjadi guncangan politik diseantero nusantara bila kekosongan hukum dibalik putusan MK terjadi. Ternyata bumerang itu tak hanya menimpa Parpol,tapi juga menghantam penyelenggara serta aturan kepemiluan!


Pengantar 
Akhir-akhir ini seluruh KPU baik dari tingkat pusat sampai daerah menunjukkan geliat yang tidak biasanya. Geliat yang sama tidak hanya terjadi dilembaga penyelenggara pemilu saja, namun juga nampak di sejumlah kantor-kantor Partai Politik (Parpol) dari tingkat pusat, juga daerah provinsi dan kabupaten/kota bahkan sampai tingkat kecamatan. Keputuasan Mahkamah Konstitusi (baca Putusan Nomor 52/PPU-X/2012) yang mengabulkan sebagian dari gugatan permohonan Partai Politik (Parpol) terhadap sejumlah pasal dalam Undang-Undang Pemilihan Umum Nomor 8 tahun 2012. Bak gong yang ditabuh bagi seluruh Parpol untuk berlomba menyediakan sejumlah syarat agar dapat menjadi peserta Pemilu 2014 nanti. Kian menegangkan ketika bersamaan dengan putusan tersebut tahapan pelaksanaan Pemilu sudah dimulai dan Parpol diperhadapkan dengan limit waktu sempit, sementara di sisi lain syarat yang dipenuhi lebih berat dari Pemilu sebelumnya. Pengalaman masa lampau seakan mengingatkan kita pentingya belajar dari sejarah. Periode Pemilu 2008 Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pasal yang kurang lebih mirip dengan kasus yang terjadi pada Pemilu kali ini. Pasal 316 UU Nomor 10 Tahun 2008 yang menghendaki Parpol yang tidak memenuhi Electoral Treshold (ET) atau tidak memiliki minimal 1 (satu) kursi di DPR untuk menjadi perserta Pemilu harus memenuhi sejumlah persyaratan. Pasal ini oleh MK dinilai merupakan ketentuan yang memberikan perlakuan yang tidak sama dan menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty) dan ketidakadilan (injustice) terhadap sesama Parpol Peserta Pemilu 2004 yang tidak mememenuhi ketentuan Pasal 315 UU 10 Tahun 2008 2008. Pesan penting dari keputusan MK di atas bila diterima dengan baik oleh 560 anggota DPR perumus UU Nomor 8 Tahun 2012, maka pasal 8 tidak sesumbar diformulasi. Tapi apapun itu, kini gugatan yang diharapakan oleh sebagian parpol, telah dikabulkan oleh MK. Benarkah ini kabar baik bagi semua calon Parpol peserta Pemilu 2014 nanti?. Atau jangan-jangan putusan ini akan menjadi bumerang tidak hanya bagi Parpol-Parpol besar yang lolos Parlementary Treshold (PT), tetapi badai bumerang itu menghantam partai-partai baru, serta partai yang tidak lolos PT pada Pemilu sebelumnya. Tak hanya sampai disitu! Bumerang ini juga sangat mungkin menyandera tahapan Pemilu ditengah jalan dengan cara yang paling sederhana, sebagaimana diuraikan pada bagian tulisan ini. 

Harapan Parpol diaminkan MK 
Hasrat sejumlah elemen yang berkepentingan dengan Pemilu untuk menggugat pasal dalam Undang-Undang Pemilu sudah nampak sejak awal. Bahkan Undang-Undang tersebut masih dalam bentuk rancangan, gugatan sejumlah Parpol dan Organiasi Pemerhati Pemilu sudah masuk ke MK. Tercatat kurang lebih 17 Parpol dan sejumlah LSM menggugat Undang-Undang Pemilu yang masih berumur hari tersebut. Dari sejumlah pasal yang digugat, hanya 4 pasal yang kemudian dikabulkan oleh MK. Keempat pasal tersebut adalah: Pasal 8 ayat (1) dan (2), pasal 17 ayat (1), pasal 208 dan 209. Empat pasal dimaksud memuat dua soal penting. Pertama, terkait dengan persyaratan Parpol untuk menjadi peserta Pemilu 2014, dimana pada ketentuan pasal tersebut menyebutkan bahwa Parpol yang sudah lolos PT secara otomatis ditetapkan sebagai peserta Pemilu, sementara Parpol-Parpol baru harus melewati sejumlah persyaratan tertentu.
Kedua ; pemberlakuan ambang batas perolehan suara Parpol yang sekurang-kurangnya harus memperoleh suara 3,5% dari jumlah suara sah nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota. Benar adanya, kedua persoalan ini agaknya sulit untuk dinalar. Dimana partai politik harusnya perlakukan sama dan setara tanpa harus membeda-bedakan partai kecil dan partai besar. Juga rasa keadilan tak menerima bila penetapan calon anggota DPRD Provinsi dan kabupaten/Kota harus didasarkan pada perolehan suara anggota DPR di tingkat nasional. Walaupun pasal-pasal yang dibuat oleh 560 anggota parlemen tersebut memiliki argumentasi yang tidak sederahana, namun perdebatannya sudah harus berakhir dengan diamanikannya oleh MK tuntutan perubahan empat pasal di atas. 

Implikasi Penting 
Menarik!, perubahan sejumlah pasal tersebut membawa dampak besar tidak hanya bagi Parpol calon peserta Pemilu dan calon legislatif saja, tapi juga bagi penyelenggara dan peraturan kepemiluan itu sendiri turut beresonasi kuat merespon putaran bumerang. 
Pertama: partai-partai politik harus melewati prasyarat ketat sebelum ditetapkan menjadi peserta Pemilu 2014. Ketatnya syarat tersebut bisa dilihat dari sembilan persyaratan yang harus dipenuhi dimana lima diantaranya diyakini akan menguras waktu dan energi Parpol. Kelima syarat tersebut adalah: 1) memiliki kepengurusan di seluruh provinsi; 2) memiliki kepengurusan di 75% jumlah kabupaten/kota; 3) memiliki kepengurusan di 50% jumlah kecamatan di kabupaten/kota; serta 4) memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik ditingkat kabupaten/kota yang dibuktikan dengan kepemilikan Kartu Tanda Anggota (KTA). Dengan jumlah 495 kabupten/kota di Indonesia, maka untuk memenuhi ketentuan ini, Parpol harus memiliki kepengurusan sekaligus keanggotaan partai minimal di 372 kabupaten dan kota. Satu saja dari 372 kabupaten/kota tersebut dinyatakan tidak memenuhi syarat oleh KPU, maka harapan Parpol untuk menjadi peserta Pemilu 2014 hanya akan menjadi mimpi yang setiap lima tahun mimpi itu kembali terulang. Bagi partai yang sudah mapan dan teruji oleh Pemilu-Pemilu sebelumnya persyaratan kepengurusan memungkinkan mereka untuk tidak terlalu bekerja keras memenuhi ketentuan tersebut karena jauh-jauh hari kepengurusan sudah tertata dan hanya membutuhkan pembenahan-pembenahan kecil. Tapi tidak dengan syarat memiliki keanggotan yang dibuktikan dengan KTA. Hal ini dapat dipastikan sulit karena hampir sebagian besar Parpol tidak memiliki basis anggota yang jelas dan pasti, sekalipun Parpol tersebut memperoleh suara yang banyak pada Pemilu sebelumnya. Mencari, menemukan sampai dengan mendistribuskan KTA keseluruh anggota di 372 kabupaten/kota bukanlah sesuatu mudah. Jika Parpol-Parpol besar saja ada kegalauan memenuhi persyaratan, apalagi dengan parpol-Parpol baru atau Parpol “kecil”?. Tidak bermaksud meremehkan semangat dan perjuangan Parpol tersebut, namun dibalik semangat dan perjuangan ini terdapat “lukisan” kerja dengan energi besar yang tentu dibayar dengan pengorbanan besar pula. 
Kedua: Verifikasi faktual tidak hanya dimaknai dengan mencocokan data KTA yang dimiliki oleh KPU dengan KTA yang dimiliki oleh masyarakat anggota partai. Verifikasi faktual menggunakan serangkaian metode dan teknis tertentu untuk mendapatkan informasi yang benar sampai pada kesimpulan cocok atau tidak. Definisi yang digunakan oleh aturan KPU terhadap verifikasi faktual ini adalah penelitian dan pencocokan (singkat: litcok, bukan coklit). Bila saja 34 parpol yang dinyatakan lolos pendaftaran oleh KPU kali ini juga akan lolos pada verfikasi administratif, maka KPU kabupaten/kota sebagai penyelenggara pemilu juga akan bekerja ekstra. Jika rata-rata 34 Parpol tersebut menyodorkan 1.000 lembar KTA dan sampelnya 10% dari jumlah tersebut, maka ada 3.400 sampel yang akan diverifikasi secara faktual selama 24 hari saja. Atau rata-rata perhari KPU kabupaten/kota akan memverifikasi sebanyak 142 KTA. Dari 3.400 sampel tersebut dapat dipastikan mereka tidak berkumpul disatu tempat, tapi berpencar sampai didusun-dusun terpencil bahkan ada diantara mereka yang menghuni lereng-lereng gunung. Kesulitan ini menjadi minimal bila anggaran dan sarana/prasarana tersedia, serta Sumber Daya Aparatur KPU kabupaten/kota kualitas dan kuantitasnya berbanding lurus dengan beban kerja. Tapi bagaimana bila tidak?. Di sejumlah KPU kabupaten/Kota disaat yang bersamanaan sedang mempersiapkan/ menyelenggarakan pelaksanaan Pemilu kepala daerah. Tak ada pilihan KPU kabupaten/kota untuk memprioritaskan satu dengan yang lainnya karena kedua tahapan ini sama penting untuk dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan. 
Ketiga: untuk sementara waktu sistem presidensial bersabar dibalik bayang-bayang parlementer karena upaya perlahan-lahan menyederhanakan partai belum bisa terwujud. Ditakdirkannya Pasal 208 dan 209 berakhir ditangan MK membawa implikasi Parpol yang menjamur dari Pemilu ke Pemilu masih akan mewarnai pelaksanaan pesta demokrasi lima tahunan. Parpol yang tidak lolos PT dan tanpa perwakilan partai di DPR namun akar-akarnya di daerah tidak tercabut sehingga memungkinkan Parpol tersebut tumbuh kembali di Pemilu berikutnya. Putusan MK atas pasal ini benar adanya untuk mengakomodir aspirasi lokal (baca: daerah) sebagai bagian dari semangat reformasi dan perkembangan demokrasi Indonesia. Asa untuk menggapai efektivitas dan efisiensi Parpol kedepan masih terbuka. Setidaknya DPR periode berikutnya dapat mengutak atik angka PT yang saat ini hanya 3,5%. Jalan untuk menkokohkan sistem presidensial dengan angka 3,5% masih sulit terwujud, maka perlu dipikirkan untuk meningkatkan angka tersebut ke level yang lebih aman dikisaran 7% sampai dengan 10%. Namun perjuangan ke arah itu membutuhkan lobi panjang dan melelahkan serta besarnya gelombang resistensi dari Parpol-Parpol “gurem”. 
Keempat: Memungkinkan terjadi guncangan politik diseantero nusantara bila kekosongan hukum dibalik putusan MK akan terjadi. Andai saja pasal 8 undang-undang Pemilu 2012 tidak dianulir oleh MK maka dapat dipastikan minimal sembilan Parpol yang akan mengikuti Pemilu 2014 (Parpol yang lolos PT). Namun ketika pasal tersebut berubah dengan mengharuskan semua Parpol melewati pintu verifikasi diikuti dengan pemenuhan syarat yang cukup berat, maka sangat terbuka peluang terjadi kondisi dimana semua calon partai politik tidak memenuhi syarat dan tidak lolos menjadi peserta pemilu. Situasi yang sama juga akan terjadi manakala hanya ada satu porpol yang lolos verifikasi. Langkah apa yang harus dilakukan oleh penyelenggara Pemilu?, bagaimana solusi undang-undang mengatasi hal ini?. Semua pasal di dalam UU Pemilu 2012 labil untuk menjawab persoalan di atas. Hukum mana yang dapat dirujuk?. Mengandaikan kekosongan hukum ini lebih lanjut, maka sangat mungkin pula tahapan Pemilu dapat disandera oleh Parpol di tengah jalan dengan cara yang paling sederhana. Jika kondisi yang dikhawatirkan di atas menjadi fakta, maka Putusan MK tidak hanya bumerang bagi Parpol tapi sekaligus menjadi bumerang bagi penyelenggara dan peraturan Pemilu.