Anak-anak-1

Pemerintah yang menggaung - gaungkan program pendidikan wajib belajar 9 tahun belum mencapai targetnya.Bagaimana kita bisa akan menjadi negara yang maju,jika pendidikan masih dipandang sebelah mata.

Anak-anak-2

Pemerintah yang menggaung - gaungkan program pendidikan wajib belajar 9 tahun belum mencapai targetnya.Bagaimana kita bisa akan menjadi negara yang maju,jika pendidikan masih dipandang sebelah mata.

Anak-anak-3

Pemerintah yang menggaung - gaungkan program pendidikan wajib belajar 9 tahun belum mencapai targetnya.Bagaimana kita bisa akan menjadi negara yang maju,jika pendidikan masih dipandang sebelah mata.

Anak-anak-4

Pemerintah yang menggaung - gaungkan program pendidikan wajib belajar 9 tahun belum mencapai targetnya.Bagaimana kita bisa akan menjadi negara yang maju,jika pendidikan masih dipandang sebelah mata.

Anak-anak-5

Pemerintah yang menggaung - gaungkan program pendidikan wajib belajar 9 tahun belum mencapai targetnya.Bagaimana kita bisa akan menjadi negara yang maju,jika pendidikan masih dipandang sebelah mata.

Selasa, April 09, 2013

Perempuan Di Pusaran Sistem Pemilu “Pertarungan Bebas”

Gbr : Ilustrasi ( beritawan.com )
Beberapa saat yang lalu, di media ini (Gorontalo Post: edisi Rabu, 13 Maret 2013), saya membaca sebuah artikel yang ditulis oleh: Nurdiana Sultan, SH dengan judul: Strategi Peningkatan Keterwakilan Perempuan di Parlemen. Walaupun sesungguhnya banyak artikel yang telah membahas tema perempuan dalam konteks politik. Namun tulisan Nurdiana Sultan, SH menarik karena tiga strategi penting yang beliau sebutkan dalam persepsinya, bahwa “Kelompok perempuan harus membangun kekuatan politik dengan menyusun strategi baik melalui pengaturan dalam UU Pemilu maupun pendekatan kepada partai-partai politik sebagai peserta Pemilu dan juga kepada masyarakat umum”. Angka-angka yang menggambarkan representasi kaum perempuan pada lembaga legislatif (DPR dan DPD), masih jauh dari harapan. 
Jumlah calon DPR perempuan pada Pemilu 2009 sebanyak 3.894 orang dari total Calon Legislatif (baca Caleg) 11.225 orang atau 34,69%. Prosentasi tersebut telah melampaui pesan UU Pemilu yang mensyaratkan minimal 30% keterwakilan perempuan dalam daftar Caleg. Hasil Pemilu menunjukkan ternyata tingkat keterpilihan kaum perempuan masih jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan pria/laki-laki. Pemilu 2009 mencatat jumlah perempuan yang terpilih sebagai anggota DPR hanya 99 orang saja dari 560 kursi yang diperebutkan. Angka tersebut setara dengan 17,68%. Bandingkan dengan kaum pria yang memperoleh kursi sebanyak 461 atau sama dengan 82,32%. Di lembaga DPD, keterwakilan perempuan lebih baik dari DPR. Jumlah perempuan yang terpilih sebagai anggota DPD sebanyak 35 orang atau sama dengan 26,51%. Menarik untuk membicarakan kelompok perempuan dalam perhelatan Pemilu, karena dua hal penting:Pertama: Kebijakan affirmative action dalam UU Pemilu dinilai oleh sebagian yang lain belum memberi dampak signifikan terhadap representasi perempuan di parlemen; Kedua: Zipper System dalam penentuan Daftar Calon (DCT) kurang bermakna bagi penguatan kelompok perempuan ketika sistem Pemilu menetapkan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Kondisi ini menimbulkan sejumlah pertanyaan mendasar. Benarkah UU Pemilu berpihak kepada perempuan?; Adakah yang salah dengan sistem Pemilu? Pemilu 1999 dan sebelumnya, tak pernah dijumpai kata “perempuan” dalam regulasi Pemilu. Perhatian terhadap eksitensi perempuan muncul pada penyelenggaraan Pemilu 2004 sampai dengan saat ini. Pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 (baca: UU Pemilu), kata “perempuan” disebut sebanyak 15 kali. Sementara kata “laki-laki” atau ”pria” tak pernah disebut. Hal ini mengindikasikan dengan jelas bahwa aturan Pemilu memiliki keberpihakan terhadap kaum perempuan. Kebijakan semacam ini yang sering kita dengar dengan istilah affirmative action. Kebijakan affirmative action bisanya digunakan untuk mensetarakan satu golongan yang berposisi “lemah” pada satu urusan atau bidang tertentu. Dalam rezim Pemilu “keberpihakan positif” untuk meningkatkan eksitensi perempuan di parlemen diakomodir melalui pasal yang menyebutkan “Daftar bakal calon memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan”. Selain kebijakan affirmative, ada juga kebijakan lain yang dirumuskan dalam UU Pemilu dan berpihak kepada kaum perempuan. Kebijakan tersebut nampak Pasal 56 ayat 2 yang menyatakan “Di dalam daftar bakal calon, setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan”. Sistem ini yang kemudian dikenal dengan istilah Zipper System. Memperkuat ketentuan UU Pemilu, maka KPU melalui peraturan tentang pencalonan lebih mempertegas lagi bahwa Parpol yang tidak dapat memenuhi ketentuan 30% keterwakilan perempuan dan atau tidak mencantumkan sekurang-kurangnya satu orang perempuan disetiap tiga bakal calon pada daftar calon, maka Parpol tidak dapat mengikuti Pemilu pada daerah pemilihan tersebut. Memaknai semangat regulasi Pemilu kali ini, maka sulit untuk membenarkan perespsi yang mengatakan bahwa Pemilu kurang berpihak pada kaum perempuan. Argumentasi yang menyebutkan bahwa kebijakan affirmative action dan zipper system kurang bermakna ketika sistem Pemilu merumuskan bahwa “Calon terpilih ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara terbanyak”. Argumentasi ini dapat dijelaskan dengan dua pernyataan berikut: Pertama, semua sistem Pemilu (election system) yang digunakan disetiap negara merupakan pilihan. Tidak ada sistem Pemilu yang buruk, yang ada adalah sistem Pemilu yang tidak sesuai dengan karakter demokrasi dari sebuah bangsa; Kedua, pilihan satu sistem dengan sistem yang lain dalam Pemilu idealnya harus berkorelasi/berhubungan. Sistem Pemilu harus dibangun dengan asas rasional dan logis. Oleh karena itu pilihan sistem Pemilu yang menetapkan sistem proporsional dengan stelsel daftar terbuka maka semestinya dipadukan dengan sistem penentuan calon yang memperoleh suara terbanyak. Demikian pula sebaliknya. Bila regulasi Pemilu memilih sistem prororisonal dengan daftar tertutup, maka logis bila digunakan sistem penentuan calon terpilih berdasarkan nomor urut. Menjadi tidak rasional bila sistem yang digunakan daftar terbuka sementara penentuan calon terpilih menjadi tertutup (berdasarkan nomor urut). Kebijakan affirmative action dan zipper system untuk memperkuat representasi kaum perempuan diparlemen, tidak mesti diikuti dengan penentuan calon terpilih berdasarkan nomor urut. Karena hal tersebut tidak rasional dan sulit dimungkinkan. Jika stertegi ini terus diperjuangkan oleh kaum perempuan, dan bila pada akhirnya menjadi nyata, maka yang terjadi justeru “tirani kaum lemah”. Masih banyak strategi yang dapat dilakukan oleh kaum perempuan dalam merepresentasi suara mereka di parelemen. Strategi-strategi tersebut sudah banyak pula dipaparkan oleh para pemerhati dan organisasi pergerakan perempuan. Di tengah “pertempuran bebas” (bahasa penulis: menggambarkan sistem penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak), maka penulis sepakat dengan pandangan Nurdiana Sultan, SH, yang sebaiknya melakukan “pendekatan kepada partai-partai politik sebagai peserta Pemilu” untuk memperkuat eksistensi dan peran perempuan dalam politik. Perempuan jangan hanya dijadikan “pelengkap derita”, untuk memuluskan syarat mengikuti Pemilu saja. Sesungguhnya sangat banyak perempuan yang dapat dijadikan Caleg. Tapi apakah secara politik figurnya memiliki popularitas dan elektabilitas?. Tak sedikit perempuan yang kini menjadi tokoh. Tapi berapa banyak mereka yang menjadi tokoh tersebut berada di ranah politik?. Inilah yang menjadi soal yang seringkali menghangatkan diskusi. Oleh karena itu, Parpol sudah harus serius memperkuat kompetensi dan kapasitas perempuan melalui sistem pengkaderan atau memberdayakan kaum perempuan lewat sayap partai. Parpol tidak harus mencari-cari tokoh perempuan dari luar, tetapi sudah harus mengkristalkan tokoh-tokoh baru.