Anak-anak-1

Pemerintah yang menggaung - gaungkan program pendidikan wajib belajar 9 tahun belum mencapai targetnya.Bagaimana kita bisa akan menjadi negara yang maju,jika pendidikan masih dipandang sebelah mata.

Anak-anak-2

Pemerintah yang menggaung - gaungkan program pendidikan wajib belajar 9 tahun belum mencapai targetnya.Bagaimana kita bisa akan menjadi negara yang maju,jika pendidikan masih dipandang sebelah mata.

Anak-anak-3

Pemerintah yang menggaung - gaungkan program pendidikan wajib belajar 9 tahun belum mencapai targetnya.Bagaimana kita bisa akan menjadi negara yang maju,jika pendidikan masih dipandang sebelah mata.

Anak-anak-4

Pemerintah yang menggaung - gaungkan program pendidikan wajib belajar 9 tahun belum mencapai targetnya.Bagaimana kita bisa akan menjadi negara yang maju,jika pendidikan masih dipandang sebelah mata.

Anak-anak-5

Pemerintah yang menggaung - gaungkan program pendidikan wajib belajar 9 tahun belum mencapai targetnya.Bagaimana kita bisa akan menjadi negara yang maju,jika pendidikan masih dipandang sebelah mata.

Senin, April 15, 2013

MENDOBRAK MANDULNYA ASPIRASI DESA


Sesugguhnya sebelum konsepsi modern mengatur tatanan kehidupan masyarakat, jauh sebelum itu sosiokultur mayarakat di Indonesia telah memiliki tradisi dalam mekanisme keterlibatan dalam pembangunan. Nenek moyang kita memiliki konsep gotong royong sebagi bentuk kerja sama dalam melaksanakan suatu kegiatan, entah itu kegiatan lintas masyarakat ataupun antar masyarakat dengan negara (pemerintah). Leluhur Gorontalo misalnya, memiliki konsep huyula ataupun tiayo dalam membalut kebersamaan untuk berkontribusi nyata dalam pembangunan. Daerah lain juga memiliki tradisi yang hampir sama.
Saat ini kearifan-kearifan nasional dan lokal di atas, dimodifikasi dan disesuaikan dengan konteks kemajuan Iptek dan zaman yang kemudian melahirkan terminologi baru. Kini “gotong royong”, “hyula” dan “tiayo” berganti nama menjadi “partisipasi”. Walaupun secara istilah telah berganti nama tapi secara substansial, nilai-nilai tidak berubah bahkan meningkat karena sentuhan manajemen modern. Kalau dulu diminta maupun tidak oleh pemerintah, masyarakat senantiasa bahu-membahu untuk membangun karena ada masalah dan kepentingan bersama memajukan kelompok atau komunitas. Kini model itu diorganisir, difasilitasi serta dimanej agar kerja sama menjadi efektif dan efisien.
Partisipasi masyarakat model klasik kini diperluas tidak sebatas pada pelaksanaan kegiatan semata, tetapi telah melingkupi seluruh proses pembangunan (sejak dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan pengawasan). Bentuk paling nyata dari keterlibatan masyarakat tingkat bawah dalam perencanaan pembangunan saat ini sering kita dengar dengan model Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang). Tak tanggung-tanggung gagasan musyawarah ini digali bahkan dari tingkat dusun.
Tak ada yang masalah dengan itu semua!. Keresahan masyarakat desa muncul setelah diskusi panjang bahkan berujung perdebatan sengit “di arena” Musrenbang berakhir dengan kenyataan “pepesan kosong”. Prioritas pembangunan melalui usulan Musrenbag-Des yang dikawal oleh para delegasi untuk diperjuangkan di tingkat kecamatan sampai dengan kabupaten, “menguap” di tengah jalan, entah “disunat” oleh siapa?. Dengan tidak mengesampingkan ada juga hasil Musrenbang-Des yang terakomodir dalam APBD, namun lebih banyak dari dokumen tersebut sekedar tumpukan berkas.

Ilusi Musrenbang
Kekecewaan yang terus berulang dari fakta “pepesan kosong“ Musrenbang-Des berefek domino terhadap partisipasi masayarakat. Tidak mengherankan disejumlah desa Musrenbang-Des mejadi ritual yang kian sepi. Padahal tiap kali pelaksanaan Musrenbang-Des, sesaat itu pula terbetik harapan masyarakat untuk mengatasi persoalan desa mendapatkan energi dahsyat. Sayangnya energi itu melemah seiring dengan tidak terakomodrinya prioritas usulan dalam APBD. Lebih aneh lagi ada beberapa desa yang mengusulkan satu kegiatan tidak hanya sekali dilakukan, tetapi dihampir setiap tahun pelaksanaan Musrenbang-Des, namun sampai berakhirnya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM-Des) lima tahunan, lagi-lagi usulan tersebut tak pernah terrealisasi.
Sejumlah alasan mengapa usulan dari Musrenbang-Des seakan ilusi. Pertama: Antara kebutuhan Desa dengan ketersediaan anggaran pemerintah daerah tidak sebanding. Jika ditotalkan seluruh usulan dari masing-masing desa bisa mencapai angka triliun. Di sisi yang lain kemampuan anggaran pemerintah daerah hanya dikisaran angka miliaran. Itu pun tidak semuanya untuk belanja pembangunan. Sebagian besar APBD dialoksikan untuk belanja aparatur/pegawai. Sehingga sangat wajar hanya sebagian kecil saja dari usulan Musrenbang-Des dapat di realiasikan.
Kedua: Usulan-usulan yang disampaikan desa cenderung tidak relevan (bersesuaian) dengan program dan kegiatan Pemerintaha Daerah yang tergambar dari RPJM kabupaten/kota. Sementara pemerintah berupaya untuk menjalankan program dan kegiatan dalam RPJM tersebut untuk mewujudkan visi dan misi.  Kenyataan ini mengharuskan Satuan Kerja Perangka Daerah (SKPD) mengeliminir usulan-usulan hasil Musrenbang-Des yang tidak berkorelasi dengan tujuan pemerintahan.
Ketiga: tidak kuatnya argumentasi prioritas usulan sehingga pengambil keputusan tidak memiliki landasan keyakinan untuk mengakomodir usulan tersebut kedalam APBD. Terkadang pula terjadi inkonsistensi usulan yang disampaikan oleh masyrakat desa melalui jalur Musrenbang-Des dengan keinginan masyarakat yang disampaikan kepada para anggota legislatif melalui Jaringan Aspirasi Masyarakat. Pada kenyataan yang seringkali terjadi perencaaan melalui jalur politik (oleh anggota DPRD) yang
Ketiga alasan di atas cukup normatif untuk menawar rasa kecewa sekaligus rasa ingin tahu masyarakat yang terus mempertanyakan “nasib” usulan dari Musrenbang-Des. Dan tidak hanya itu, sejumlah penelitian juga menujukkan ternyata APBD seringkali diwarnai oleh keinginan (baca: opportunistik) sebagian elit eksekutif maupun legislatif terutama untuk kepetingan proyek, dan atau kepetingan politik.
Tetapi apapunm alasannya, jawaban tersebut di atas belumlah utuh ketika sebagian kita tidak memahami bahwa satu-satunya kemampuan pemerintah desa dalam menyelesaikan urusan pemerintahan dan pembangunan adalah Anggaran Pembangunan dan Belanja Desa (APB-Des) itu sendiri, dan tidak ada selebihnya. Pemahaman ini mempertegas bahwa usulan melalui Musrenbang-Des tersebut adalah harapan sekaligus permohonan kepada pemerintah supra desa yang tak pasti adanya.
Sesaat setelah kita memahami ketidakpastian “nasib” usulan melalui Musrenbang-Des melalui APBD dan satu-satunya yang dapat memberikan kepastian realiasi usulan tersebut hanyalah APB-Des, maka sementara waktu kita bisa bersimpulan bawah sekeras apapun aspirasi yang disampaikan masyarakat melalui Musrenbang-Des, maka aspirasi tersebut tetaplah “mandul” dan tak memiliki daya dobrak mempuni bagi para pengambil keputusan. Simpulan ini sekaligus mengantarkan kita pada pertanyaan apa yang semestinya dilakukan oleh desa untuk memperkuat keberadan usulan yang dibahas secara partisipatif oleh masyarakat agar tidak sekedar ilusi?

Setetes Inovasi
Sejak awal Pemerintah melakukan penguatan terhadap keuangan desa, dengan membuat kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD) yakni bagian dari dana perimbangan  keuangan yg diterima pemerintah daerah sebesar 10% untuk desa. Bagi pemerintah daerah yang memiliki pendapatan besar tentu berimbas pada ADD yang besar pula. Tetapi sebaliknya daerah-daerah dengan pendapatan rendah, maka ADD untuk masing-masing desa juga rendah, dan inilah yang paling banyak. Secara rata-rata ADD untuk setiap desa tidak lebih dari dua ratus juta pertahun. Angka ini masih dibagi dengan biaya aparatur yang ada didesa. Praktis anggaran untuk  pembangunan kurang dari seratus juta per tahunnya.
Minimnya anggaran untuk pembangunan desa yang tercermin dari ADD, menempatkan Musrenbang sebagai tempat penampungan mimpi-mimpi desa menjadi wilayah yang diperebutkan dengan lobi-lobi anggaran.  Sebagian permerintah daerah (kabupaten/kota) di Indonesia telah mengendus kelemahaman sistem Musrenbang, dan memahami dampak buruk dari kelemahan tersebut terahadap tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan.  Solusi merujuk pada pemikiran untuk memperkuat basis penerimaan desa melalui kebijakan-kebijakan pro desa.
Kabupaten Sumedang misalnya, pada Tahun 2007 membuat satu kebijakan yang mereka sebut dengan Pagu Indikatif Kewilayahan (PIK). Adalah sejumlah patokan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada kecamatan berbasis kewilayahan yang penentuan alokasi belanjanya ditentukan oleh mekanisme partisipatif melalui Musrenbang Kecamatan dengan berdasarkan kepada kebutuhan dan prioritas program yang mendesak berdimensi strategis kewilayahan.
Mengokohkan kebijakan tersebut, Pemerintah Daerah Kabupaten Sumedang merumuskannya dalam bentuk Peraturan Daerah. Dimana dari total PIK tersebut didistribusikan dengan metode 25% dibagi rata kesemua kecamatan dan 75% dibagikan secara proporsional, menggunakan sejumlah variabel seperti sosial,ekonomi dan geografis.
Tahun 2012 Kabupaten Gorontalo membuat terobosan dengan program satu kecamatan satu miliar (1k1m). Kebijakan ini kurang lebih sama dengan semangat Kabupaten Sumedang untuk mereduksi kekurangketerjaminan usulan prioritas desa dalam praktek Musrenbang sebelum-sebelumnya. Namun berbeda dengan Sumedang, Progaram 1k1m Kabupaten Gorontalo belum diformulasi dalam regulasi daerah. Sementara dalam distribusinya menggunakan pendekatan pemerataan untuk tiap kecamatan sedangkan distribusi ke setip desa diserahkan kepada masing-masing Camat.
Jika program ini berkelanjutan, tentu merupakan langkah maju namun perlu pembenahan disejumlah hal.

Ditengah serotan aspirasi masyarakat desa yang terkadang terabaikan oleh keterbatasan pemerintah, tidak serta merta pisimisme itu dibiarkan. Percayalah! Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sesungguhnya terus melakukan upaya dan usaha. Semoga saja tidak sebatas wacana tentang perjuangan 10% APBN untuk pemerintah desa atau perjuangan sejumlah elemen tentang one million one vilage (satu miliar satu desa). Semabari menggelayut mimpi kesejahteraan masyarakat desa, kita tetap besabar… 

DPD “BUS GRATIS” MENUJU SENAYAN


Mendekati tahapan pencalonan anggota DPR, DPD dan DPRD, nampak “kegalauan” menghampiri sejumlah bakal Calon Anggota Legislatif (Caleg). Kegalauan tersebut dipicu oleh dua hal penting. Pertama, jumlah Partai Politik yang akan menjadi peserta Pemilu 2014 berkurang drastis, dari 38 Parpol pada Pemilu sebelumnya, kini tinggal 10 Parpol saja. Kedua, Pasal 54,  UU No. 8 Tahun 2012 yang menyebutkan “Daftar bakal calon memuat paling banyak 100% (seratus persen) dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan. Berbeda dengan Pemilu 2009 dimana daftar bakal calon memuat paling banyak 120% dari jumlah kursi setiap Dapil.

Pemilu 2009 diikuti oleh 38 Parpol dengan memperebutkan 560 krusi DPR, sehingga terdapat kurang lebih 25.536 orang yang terdaftar sebagai Caleg di seluruh Indonesia. Namun dengan hanya 10 Parpol kontestan Pemilu 2014, maka total seluruh Caleg tidak lebih dari 5.600 orang saja, atau hanya 21,92% dari jumlah Caleg pada Pemilu 2009. Bila diasumsikan semua Caleg pada Pemilu 2009 berhasrat kembali untuk mendaftarkan diri, maka terdapat 78,08% yang tidak akan mendapatkan porsi tempat duduk lagi di Parpol sebagai “kendaraan” menuju Calon Anggota DPR.

Saat ini Parpol menjadi bus yang penuh sesak, bahkan para Caleg membentuk baris antrian yang sangat panjang. Paprol tidak hanya disesaki oleh Caleg dari kadernya sendiri, tetapi juga akan disesaki oleh “penumpang gelap” dari Parpol lain.

Berkurangnya Parpol peserta Pemilu merupakan berita baik bagi penyederhanaan partai dalam rangka mendukung sistem presidensial. Berita buruknya, berkurangnya Parpol menyebabkan minimnya armada angkut Caleg, sementara permintaan terlalu banyak. Kondisi ini mendorong hukum ekonomi berlangsung dimana harga tiket akan melonjak drastis dan hanya dimampui oleh kalangan berduit. Jika ini yang terjadi, maka petaka demokrasi baru saja dimulai dari pintu baru bernama proses pen-Caleg-kan.

Entah mengapa? Armada yang bernama DPD kurang diniminati para politisi. Di Provinsi Gorontalo misalnya, Pemilu Tahun 2004 jumlah politis yang mencalon diri untuk menjadi anggota DPD sebanyak  20 orang. Pemilu berikutnya (Tahun 2009) justru jumlahnya mengalami penuruan menjadi 19 calon saja. Merujuk teori peluang, maka menjadi calon anggota DPD lebih besar peluang terpilihnya bila dibandingkan peluang terpilih menjadi anggota DPR.

Para politis “berburu” menjadi Caleg DPR, padahal selain peluang keterpilihan rendah, juga penumpangnya banyak, ditambah lagi dengan tiket mahal. Di sisi yang lain DPD merupakan kendaraan dengan daya angkut dan kapasitasnya tak terbatas plus tiket yang tidak terlalu mahal. Sepanjang memiliki dukungan sesuai ketentuaan, maka berhak untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD.

Dugaan besar jumlah Caleg pada Pemilu kali ini akan berimbang antara jumlah Caleg DPR melalui Partai Politik dengan Caleg DPD melalui jalur dukungan rakyat. Dan bila dugaan ini benar, maka penambahan jumlah Caleg DPD tersebut berkolerlasi dengan  berkurangnya daya tampung Parpol yang bisa membawa Calegnya ke Senayan.  Dan bila lagi-lagi dugaan ini benar, maka seolah DPD menjadi kelas ke dua setelah DPR.
Sebuah paradigma yang kurang elok dalam sistem bi kameral kita.

SIMULASI KETIKA METODE PERHITUNGAN PEROLEHAN SUARA BERUBAH


(Tulisan ini dibuat saat DPR membahas UU Pemilu 2014, diposting kembali kepada pembaca blog, semoga bermanfaat)


Pemilu 2014 masih jauh, namun aroma pertarungan partai sudah dimulai. Sejumlah partai berbeda pendapat tentang metode penghitungan suara. Begitu penting metode dalam penghitungan suara karena inilah alat yang digunakan untuk mengkonversi suara menjadi kursi di parlemen. Terdapat empat metode yang menghangat didiskusikan, yakni dua usulan mengusung Metode Kuota, seperti yang diterapkan pada Pemilu 1955 hingga 2009. Dua usulan lainnya menawarkan Metode Divisor, untuk mengganti Metode Kuota yang dinilai kurang “adil”.
Metode kuota mungkin mudah dipahami karena seperti pemilu sebelumnya dimana suara dihitung berdasarkan kuota atau yang sering kita kenal dengan Bilangan Pembagi Pemilh (BPP). Namun metode yang ditawarkan oleh Partai Golkar dan PKS, yakni metode devisior varian D'Hondt dan Sainte-Lague kedengaran asing ditelinga kita. Walaupun dalam terminologi politik hal ini sudah banyak diadopsi oleh negara-negara lain.

Secara operasional kedua varian dari metode dIvisior diatas hampir sama, yang bereda hanya pada deret ukur yang digunakan untuk Bilangan Pembagi Tetap. Bila pada varian D’Hondt digunakan deret 1,2,3,4,5 dan seterusnya, sedangkan pada varian Sainte-Lague ala PKS digunakan deret angka 1.4,3,5,7 dan seterusnya.

Hasil simulasi yang saya lakukan terhadap kedua varian tersebut pada hasil perolehan suara Pemilu 2008 di Kabupaten Gorontalo hasilnya tidak memiliki perbedaan terhadap perolehan kursi DPRD. Namun akan berbeda jauh hasilnya bila dibandingkan dengan metode kuota pada Pemilu 2008.

Misalnya saja jika saat ini partai Hanura hanya memiliki 5 kursi, namun bila digunakan metode devisior baik varian D’Hondt dan Sainte-Lague akan bertambah 1 kursi. Selain Hanura, Partai-partai besar juga akan diuntungkan dengan metode ini. Golkar misalnya akan ketambahan 2 kursi, PPP akan ketambahan 2 kursi dan PDIP ketambahan 1 kursi. Disisi yang lain partai-partai seperti PPRN,PKS,PBR dan Partai Demokrat masing-masing akan kehilangan 1 kursi sedangkan untuk PBB yang saat ini memiliki 2 kursi jika digunakan metode devisior ini akan kehilangan semua kursinya di DPRD. Satu-satunya partai yang tidak berubah jumlah kursinya dengan kedua model perhitungan ini hanyalah PAN.

Hasil simulasi ini menunjukkan bahwa parati-partai kecil akan semakin sulit untuk eksis. Tidak hanya di DPR namun sampai pada tingkat DPRD. Hal ini sangat mudah dijelaskkan dengan matematis karena semakin kecil bilangan pembaginya makan akan semakin baik bagi partai yang memiliki perolehan suara besar.
Jika metode kuoata yang saat ini isunya semakin kuat diparlemen akan mewarnai perubahan undang-undang pemilu hendaknya Anggota DPRD kabupaten/kota turut berhitung. Apalagi bila parliamentary threshold juga akan diberlakukan sampai pada tingkat DPRD. Andai ini yang terjadi maka lebih dari separuh anggota DPRD akan menjadi penikmat kursi “haram”

Bersambung…

Ketika Golput Diproduksi Sistem dan Penyelenggara


Tinjauan Historis
Pemilu pertama Indonesia dilakukan pada tahun 1955, saat itu istilah Golongan Putih (GOLPUT) belumlah dikenal dalam tradisi kepemiluan. Namun faktanya pada waktu itu terdapat pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya sebesar 12,34% dari total pemilih. Dikemudian hari orang-orang yang tidak menggunakan hak pilihnya tersebut dicap Golput.
Golput sendiri dikenal ditingkat masyarakat luas  kurang lebih 16 tahun setelah Pemilu pertama digelar, tepatnya pada tanggal 3 Juni 1971 saat Indonesia memasuki Pemilu kedua. Golput pertama kali merupakan “gerakan moral” yang oleh Arief Budiman disebut “gerakan bukan untuk mencapai kemenangan politik, tetapi lebih untuk melahirkan tradisi dimana ada jaminan perbedaan pendapat dengan penguasa dalam situasi apa pun”.

Golput seringkali ditafsirkan dengan orang-orang yang tidak menggunakan hak pilihnya. Walaupun pemahaman ini tidak keliru tetapi tidak sepenuhnya benar. Merujuk pada histori lahirnya Goput sebagai gerakan moral, itu artinya Golput dilakukan dalam wilayah sadar oleh pemilihnya. Namun orang-orang yang tidak menggunakan hak pilih tidak semuanya bisa dikatakan Golput. Bisa jadi ada pemilih yang tidak menggunakan hak pilih diluar dari kesadarnya, dan lebih disebabkan oleh produksi sistem atau maladminstrasi penyelenggara kepemiluan. Dalam konteks ini Golput menjadi masalah serius. Untuk kegunaan tulisan ini Golput diartikan orang yang tidak menggunakan hak pilihnya entah itu sadar atau tidak.

Sejak Pemilu 1955 angka Golput cenderung naik. Bila dihitung dari pemilih tidak datang dan suara tidak sah, Golput pada Pemilu 1955 sebesar 12,34%. Pada pemilu 1971, ketika golput dicetuskan dan dikampanyekan, justru mengalami penurunan hanya 6,67%. Sampai dipenghujung Orde Baru (Pemilu 1997) angka partisipasi pemilih mencapai 94.63%, angka Golput berkisar hanya 5,37% saja. Pemilu terakhir (Tahun 2009) angka Golput telah mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah. Kurang lebih 29% masyarakat pemilih tidak menggunakan haknya di Pemilu. Sulit untuk menjastifikasi angka sebesar itu dilakukan secara sadar oleh kurang lebih 49 juta lebih pemilih. Angka tersebut sekaligus dapat membenarkan dugaan sejumlah pihak yang memunculkan pandangan bahwa pemilih bisa Golput karena sistem pendataan atau kelalaian penyelenggara Pemilu.

Bentuk Golput Produksi Sistem
Penyelenggaran Pemilu sebelumnya (Tahun 2009) tingkat partisipasi pemilih yang sangat rendah, juga di lain pihak terdapat sejumlah warga negara yang telah berhak memilih namun luput dari pendataan. Hal ini sesungguhnya sudah bisa diduga sebelumnya karena sistem pendataan yang digunakan kurang tepat, dimana Pemilu legislatif menggunakan pendataan berbasis Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan bukan basis domisili.
Pendataan dengan basis KTP memiliki keunggulan sekaligus kelemahan dalam saat yang bersamaan. Kelemahan mendasar pendataan model ini adalah pemilih yang karena urusan tertentu sampai dengan hari pemungutan tidak berdomisili sesuai dengan alamt KTP sudah bisa dipastikan tidak akan bisa menggunakan hak pilihnya (baca: Golput) karena KTP dengan domisili pemilih berbeda. Dikemudian hari Penyelengara pada periode itu memperbaiki basis pendataan dari KTP kependataan dengan basis domisili pada Pemilu Pilpres.

Hal lain yang juga cukup penting dan sekaligus berpengaruh terhadap pendataan pemilih adalah stelsel yang digunakan. Terdapat dua stelsel dalam pendataan, yakni stelsel aktif dan setelsel pasif. Pada stelsel aktif, pemilih digugah untuk secara aktif mengecek dan memastikan namanya telah terdaftar sebagai pemilih. Secara teknis, penyelenggara (petugas pendataan pemilih)  membuat daftar pemilih sementara. yang kemudian mengumumkan daftar tersebut ditempat-tempat yang mudah diakses oleh pemilih.

Metode ini merupakan pesan regulasi, namun cenderung tidak realistis. Dapat dibayangkan seseorang yang karena kesibukan aktivitasnya masih harus meluangkan waktu mencari pengumuman hanya untuk mengecek namanya berada di dalam daftar pemilih.  Dan lagi-lagi potensi pemilih untuk Golput dengan stelsel ini lebih besar bila dibandingkan dengan stelsel pasif, dimana penyelenggaralah yang aktif menemui pemilih untuk didata sekaligus dipastikan mereka terdaftar sebagai pemilih.

Bentuk Golput Produksi Penyelenggara
Luis De Sipio, dkk, mencatat tiga kategori warga negara yang tidak berpatisipasi dalam Pemilu. Pertama, Registered Not Voted : yaitu kalangan warga Negara yang memiliki hak pilih dan telah terdaftar namun tidak menggunakan hak pilih. Kedua, Citizen-not Registered : yaitu kalangan warga Negara yang memiliki hak pilih namun tidak terdaftar sehingga tidak memiliki hak pilih. Ketiga, Non-Citizen : Mereka yang dianggap bukan warga negara (penduduk suatu daerah) sehingga tidak memiliki hak pilih.

Penyelenggara Pemilu (baca: KPU) berkontribusi atas terjadinya Golput pada dua kategori di atas (Registered Not Voted  and Citizen-not Registered). Kelalaian penyelenggara berakibat Golput ini dapat terjadi pada dua momen penting, yakni pada saat pelaksanaan pendaftaraan dan saat menjelang hari pemungutan suara.

Keitidakcermatan penyelenggaran pada saat pelaksanaan pendataan pemilih bisa menyebabkan pemilih tidak terdaftar (luput dari pendaataan), atau seorang pemilih terdaftar lebih dari sekali. Kedua-duanya akan berakibat pada jumlah partisipasi pemilih. Kelalaian pertama berakibat pemilih tidak mungkin bisa masuk TPS karena tidak terdaftar. Sementara pemilih yang terdaftar lebih dari sekali hanya menggunakan hak pilihnya sekali, sehingga menyebabkan data pada rekpitulasi pemilih yang tidak menggunakan hak pilih menjadi besar, padahal secara faktual pemilih yang bersangkutan telah menggunakan haknya, tetapi tidak dengan data.

Alasan lain pemilih untuk Golput adalah tidak mendapatkan undangan untuk memilih. Kebiasaan menjelang hari pelaksanaan Pemilu, pemilih akan menerima undangan memilih di TPS dimana ia terdaftar. Proses ini dilakukan oleh penyelenggara Pemilu di tingkat bawah (baca: KPPS). Disaat yang sama KPPS juga mempersipakan logistik Pemilu dan membangun TPS. Kondisi keterbatasan dan ketersibukan penyelenggara, selain alasan lain dari pemilih yang tidak ditemukan alamatnya oleh KPPS, menyebabkan sampai dengan hari pemilihan, undangan tidak sampai ditangan pemilih.

Didalam peraturan memang telah disebutkan bahwa tanpa undangan untuk memilih seseorang yang telah terdaftar dapat menggunakan hak, hanya dengan menunjukkan KTP. Namun bagi pemilih yang terbiasa dengan Pemilu yang harus terdaftar dan mendapatkan undangan hal tersebut menjadi sesuatu yang berbeda. Cenderung mereka untuk tidak menggunakan hak pilihnya.


Pemilu 2014, Pemilu Pembenahan

Kelemahan pendataan pemilih, dari segi sistem maupun penyelenggara untuk 2014 terjadi pembenahan yang cukup signifikan. Dalam Pasal 34 UU Nomor 8 Tahun 2012 (baca: UU Pemilu) tegas disebutkan bahwa saat pendaftaran dilakukan, maka petugas pendaftar akan memberikan tanda bukti telah terdaftar bagi Pemilih. Cara ini merupakan penegasan perubahan stelsel pendaftaran dari stelsel aktif menjadi stelsel pasif.

Pemilu 2014 juga memberi peluang kepada pemilih yang luput dari proses pendaftaran untuk dapat menggunakan hak pilihnya (Pasal 149) dengan membawa KTP  ke TPS di RT/RW atau nama lain sesuai dengan alamat yang tertera di dalam KTP.

Dengan sejumlah perubahan mendasar tersebut, undang-undang ingin memastikan semua warga negara yang telah memiliki hak pilih dapat menggunkan haknya. Walau demikian, penyelenggara Pemilu perlu mensosialisasikannya kepada seluruh masyarakat, terutama kepada masyarakat yang masih bertradisi harus terdaftar dan atau mendapatkan undangan untuk dapat memilih.