Senin, April 15, 2013

Ketika Golput Diproduksi Sistem dan Penyelenggara


Tinjauan Historis
Pemilu pertama Indonesia dilakukan pada tahun 1955, saat itu istilah Golongan Putih (GOLPUT) belumlah dikenal dalam tradisi kepemiluan. Namun faktanya pada waktu itu terdapat pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya sebesar 12,34% dari total pemilih. Dikemudian hari orang-orang yang tidak menggunakan hak pilihnya tersebut dicap Golput.
Golput sendiri dikenal ditingkat masyarakat luas  kurang lebih 16 tahun setelah Pemilu pertama digelar, tepatnya pada tanggal 3 Juni 1971 saat Indonesia memasuki Pemilu kedua. Golput pertama kali merupakan “gerakan moral” yang oleh Arief Budiman disebut “gerakan bukan untuk mencapai kemenangan politik, tetapi lebih untuk melahirkan tradisi dimana ada jaminan perbedaan pendapat dengan penguasa dalam situasi apa pun”.

Golput seringkali ditafsirkan dengan orang-orang yang tidak menggunakan hak pilihnya. Walaupun pemahaman ini tidak keliru tetapi tidak sepenuhnya benar. Merujuk pada histori lahirnya Goput sebagai gerakan moral, itu artinya Golput dilakukan dalam wilayah sadar oleh pemilihnya. Namun orang-orang yang tidak menggunakan hak pilih tidak semuanya bisa dikatakan Golput. Bisa jadi ada pemilih yang tidak menggunakan hak pilih diluar dari kesadarnya, dan lebih disebabkan oleh produksi sistem atau maladminstrasi penyelenggara kepemiluan. Dalam konteks ini Golput menjadi masalah serius. Untuk kegunaan tulisan ini Golput diartikan orang yang tidak menggunakan hak pilihnya entah itu sadar atau tidak.

Sejak Pemilu 1955 angka Golput cenderung naik. Bila dihitung dari pemilih tidak datang dan suara tidak sah, Golput pada Pemilu 1955 sebesar 12,34%. Pada pemilu 1971, ketika golput dicetuskan dan dikampanyekan, justru mengalami penurunan hanya 6,67%. Sampai dipenghujung Orde Baru (Pemilu 1997) angka partisipasi pemilih mencapai 94.63%, angka Golput berkisar hanya 5,37% saja. Pemilu terakhir (Tahun 2009) angka Golput telah mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah. Kurang lebih 29% masyarakat pemilih tidak menggunakan haknya di Pemilu. Sulit untuk menjastifikasi angka sebesar itu dilakukan secara sadar oleh kurang lebih 49 juta lebih pemilih. Angka tersebut sekaligus dapat membenarkan dugaan sejumlah pihak yang memunculkan pandangan bahwa pemilih bisa Golput karena sistem pendataan atau kelalaian penyelenggara Pemilu.

Bentuk Golput Produksi Sistem
Penyelenggaran Pemilu sebelumnya (Tahun 2009) tingkat partisipasi pemilih yang sangat rendah, juga di lain pihak terdapat sejumlah warga negara yang telah berhak memilih namun luput dari pendataan. Hal ini sesungguhnya sudah bisa diduga sebelumnya karena sistem pendataan yang digunakan kurang tepat, dimana Pemilu legislatif menggunakan pendataan berbasis Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan bukan basis domisili.
Pendataan dengan basis KTP memiliki keunggulan sekaligus kelemahan dalam saat yang bersamaan. Kelemahan mendasar pendataan model ini adalah pemilih yang karena urusan tertentu sampai dengan hari pemungutan tidak berdomisili sesuai dengan alamt KTP sudah bisa dipastikan tidak akan bisa menggunakan hak pilihnya (baca: Golput) karena KTP dengan domisili pemilih berbeda. Dikemudian hari Penyelengara pada periode itu memperbaiki basis pendataan dari KTP kependataan dengan basis domisili pada Pemilu Pilpres.

Hal lain yang juga cukup penting dan sekaligus berpengaruh terhadap pendataan pemilih adalah stelsel yang digunakan. Terdapat dua stelsel dalam pendataan, yakni stelsel aktif dan setelsel pasif. Pada stelsel aktif, pemilih digugah untuk secara aktif mengecek dan memastikan namanya telah terdaftar sebagai pemilih. Secara teknis, penyelenggara (petugas pendataan pemilih)  membuat daftar pemilih sementara. yang kemudian mengumumkan daftar tersebut ditempat-tempat yang mudah diakses oleh pemilih.

Metode ini merupakan pesan regulasi, namun cenderung tidak realistis. Dapat dibayangkan seseorang yang karena kesibukan aktivitasnya masih harus meluangkan waktu mencari pengumuman hanya untuk mengecek namanya berada di dalam daftar pemilih.  Dan lagi-lagi potensi pemilih untuk Golput dengan stelsel ini lebih besar bila dibandingkan dengan stelsel pasif, dimana penyelenggaralah yang aktif menemui pemilih untuk didata sekaligus dipastikan mereka terdaftar sebagai pemilih.

Bentuk Golput Produksi Penyelenggara
Luis De Sipio, dkk, mencatat tiga kategori warga negara yang tidak berpatisipasi dalam Pemilu. Pertama, Registered Not Voted : yaitu kalangan warga Negara yang memiliki hak pilih dan telah terdaftar namun tidak menggunakan hak pilih. Kedua, Citizen-not Registered : yaitu kalangan warga Negara yang memiliki hak pilih namun tidak terdaftar sehingga tidak memiliki hak pilih. Ketiga, Non-Citizen : Mereka yang dianggap bukan warga negara (penduduk suatu daerah) sehingga tidak memiliki hak pilih.

Penyelenggara Pemilu (baca: KPU) berkontribusi atas terjadinya Golput pada dua kategori di atas (Registered Not Voted  and Citizen-not Registered). Kelalaian penyelenggara berakibat Golput ini dapat terjadi pada dua momen penting, yakni pada saat pelaksanaan pendaftaraan dan saat menjelang hari pemungutan suara.

Keitidakcermatan penyelenggaran pada saat pelaksanaan pendataan pemilih bisa menyebabkan pemilih tidak terdaftar (luput dari pendaataan), atau seorang pemilih terdaftar lebih dari sekali. Kedua-duanya akan berakibat pada jumlah partisipasi pemilih. Kelalaian pertama berakibat pemilih tidak mungkin bisa masuk TPS karena tidak terdaftar. Sementara pemilih yang terdaftar lebih dari sekali hanya menggunakan hak pilihnya sekali, sehingga menyebabkan data pada rekpitulasi pemilih yang tidak menggunakan hak pilih menjadi besar, padahal secara faktual pemilih yang bersangkutan telah menggunakan haknya, tetapi tidak dengan data.

Alasan lain pemilih untuk Golput adalah tidak mendapatkan undangan untuk memilih. Kebiasaan menjelang hari pelaksanaan Pemilu, pemilih akan menerima undangan memilih di TPS dimana ia terdaftar. Proses ini dilakukan oleh penyelenggara Pemilu di tingkat bawah (baca: KPPS). Disaat yang sama KPPS juga mempersipakan logistik Pemilu dan membangun TPS. Kondisi keterbatasan dan ketersibukan penyelenggara, selain alasan lain dari pemilih yang tidak ditemukan alamatnya oleh KPPS, menyebabkan sampai dengan hari pemilihan, undangan tidak sampai ditangan pemilih.

Didalam peraturan memang telah disebutkan bahwa tanpa undangan untuk memilih seseorang yang telah terdaftar dapat menggunakan hak, hanya dengan menunjukkan KTP. Namun bagi pemilih yang terbiasa dengan Pemilu yang harus terdaftar dan mendapatkan undangan hal tersebut menjadi sesuatu yang berbeda. Cenderung mereka untuk tidak menggunakan hak pilihnya.


Pemilu 2014, Pemilu Pembenahan

Kelemahan pendataan pemilih, dari segi sistem maupun penyelenggara untuk 2014 terjadi pembenahan yang cukup signifikan. Dalam Pasal 34 UU Nomor 8 Tahun 2012 (baca: UU Pemilu) tegas disebutkan bahwa saat pendaftaran dilakukan, maka petugas pendaftar akan memberikan tanda bukti telah terdaftar bagi Pemilih. Cara ini merupakan penegasan perubahan stelsel pendaftaran dari stelsel aktif menjadi stelsel pasif.

Pemilu 2014 juga memberi peluang kepada pemilih yang luput dari proses pendaftaran untuk dapat menggunakan hak pilihnya (Pasal 149) dengan membawa KTP  ke TPS di RT/RW atau nama lain sesuai dengan alamat yang tertera di dalam KTP.

Dengan sejumlah perubahan mendasar tersebut, undang-undang ingin memastikan semua warga negara yang telah memiliki hak pilih dapat menggunkan haknya. Walau demikian, penyelenggara Pemilu perlu mensosialisasikannya kepada seluruh masyarakat, terutama kepada masyarakat yang masih bertradisi harus terdaftar dan atau mendapatkan undangan untuk dapat memilih.

0 komentar:

Posting Komentar

KOMENTARNYA..DONK.!