Senin, April 15, 2013

SIMULASI KETIKA METODE PERHITUNGAN PEROLEHAN SUARA BERUBAH


(Tulisan ini dibuat saat DPR membahas UU Pemilu 2014, diposting kembali kepada pembaca blog, semoga bermanfaat)


Pemilu 2014 masih jauh, namun aroma pertarungan partai sudah dimulai. Sejumlah partai berbeda pendapat tentang metode penghitungan suara. Begitu penting metode dalam penghitungan suara karena inilah alat yang digunakan untuk mengkonversi suara menjadi kursi di parlemen. Terdapat empat metode yang menghangat didiskusikan, yakni dua usulan mengusung Metode Kuota, seperti yang diterapkan pada Pemilu 1955 hingga 2009. Dua usulan lainnya menawarkan Metode Divisor, untuk mengganti Metode Kuota yang dinilai kurang “adil”.
Metode kuota mungkin mudah dipahami karena seperti pemilu sebelumnya dimana suara dihitung berdasarkan kuota atau yang sering kita kenal dengan Bilangan Pembagi Pemilh (BPP). Namun metode yang ditawarkan oleh Partai Golkar dan PKS, yakni metode devisior varian D'Hondt dan Sainte-Lague kedengaran asing ditelinga kita. Walaupun dalam terminologi politik hal ini sudah banyak diadopsi oleh negara-negara lain.

Secara operasional kedua varian dari metode dIvisior diatas hampir sama, yang bereda hanya pada deret ukur yang digunakan untuk Bilangan Pembagi Tetap. Bila pada varian D’Hondt digunakan deret 1,2,3,4,5 dan seterusnya, sedangkan pada varian Sainte-Lague ala PKS digunakan deret angka 1.4,3,5,7 dan seterusnya.

Hasil simulasi yang saya lakukan terhadap kedua varian tersebut pada hasil perolehan suara Pemilu 2008 di Kabupaten Gorontalo hasilnya tidak memiliki perbedaan terhadap perolehan kursi DPRD. Namun akan berbeda jauh hasilnya bila dibandingkan dengan metode kuota pada Pemilu 2008.

Misalnya saja jika saat ini partai Hanura hanya memiliki 5 kursi, namun bila digunakan metode devisior baik varian D’Hondt dan Sainte-Lague akan bertambah 1 kursi. Selain Hanura, Partai-partai besar juga akan diuntungkan dengan metode ini. Golkar misalnya akan ketambahan 2 kursi, PPP akan ketambahan 2 kursi dan PDIP ketambahan 1 kursi. Disisi yang lain partai-partai seperti PPRN,PKS,PBR dan Partai Demokrat masing-masing akan kehilangan 1 kursi sedangkan untuk PBB yang saat ini memiliki 2 kursi jika digunakan metode devisior ini akan kehilangan semua kursinya di DPRD. Satu-satunya partai yang tidak berubah jumlah kursinya dengan kedua model perhitungan ini hanyalah PAN.

Hasil simulasi ini menunjukkan bahwa parati-partai kecil akan semakin sulit untuk eksis. Tidak hanya di DPR namun sampai pada tingkat DPRD. Hal ini sangat mudah dijelaskkan dengan matematis karena semakin kecil bilangan pembaginya makan akan semakin baik bagi partai yang memiliki perolehan suara besar.
Jika metode kuoata yang saat ini isunya semakin kuat diparlemen akan mewarnai perubahan undang-undang pemilu hendaknya Anggota DPRD kabupaten/kota turut berhitung. Apalagi bila parliamentary threshold juga akan diberlakukan sampai pada tingkat DPRD. Andai ini yang terjadi maka lebih dari separuh anggota DPRD akan menjadi penikmat kursi “haram”

Bersambung…

0 komentar:

Posting Komentar

KOMENTARNYA..DONK.!