Tinjauan
Historis
Pemilu pertama Indonesia dilakukan
pada tahun 1955, saat itu istilah Golongan Putih (GOLPUT) belumlah dikenal
dalam tradisi kepemiluan. Namun faktanya pada waktu itu terdapat pemilih yang
tidak menggunakan hak pilihnya sebesar 12,34% dari total pemilih. Dikemudian
hari orang-orang yang tidak menggunakan hak pilihnya tersebut dicap Golput.
Golput sendiri dikenal ditingkat
masyarakat luas kurang lebih 16 tahun
setelah Pemilu pertama digelar, tepatnya pada tanggal 3 Juni 1971 saat
Indonesia memasuki Pemilu kedua. Golput pertama kali merupakan “gerakan moral”
yang oleh Arief Budiman disebut “gerakan bukan untuk mencapai kemenangan
politik, tetapi lebih untuk melahirkan tradisi dimana ada jaminan perbedaan
pendapat dengan penguasa dalam situasi apa pun”.
Golput seringkali ditafsirkan dengan
orang-orang yang tidak menggunakan hak pilihnya. Walaupun pemahaman ini tidak
keliru tetapi tidak sepenuhnya benar. Merujuk pada histori lahirnya Goput
sebagai gerakan moral, itu artinya Golput dilakukan dalam wilayah sadar oleh
pemilihnya. Namun orang-orang yang tidak menggunakan hak pilih tidak semuanya
bisa dikatakan Golput. Bisa jadi ada pemilih yang tidak menggunakan hak pilih
diluar dari kesadarnya, dan lebih disebabkan oleh produksi sistem atau maladminstrasi
penyelenggara kepemiluan. Dalam konteks ini Golput menjadi masalah serius.
Untuk kegunaan tulisan ini Golput diartikan orang yang tidak menggunakan hak
pilihnya entah itu sadar atau tidak.
Sejak Pemilu 1955 angka Golput cenderung
naik. Bila dihitung dari pemilih tidak datang dan suara tidak sah, Golput pada
Pemilu 1955 sebesar 12,34%. Pada pemilu 1971, ketika golput dicetuskan dan
dikampanyekan, justru mengalami penurunan hanya 6,67%. Sampai dipenghujung Orde
Baru (Pemilu 1997) angka partisipasi pemilih mencapai 94.63%, angka Golput
berkisar hanya 5,37% saja. Pemilu terakhir (Tahun 2009) angka Golput telah
mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah. Kurang lebih 29% masyarakat pemilih
tidak menggunakan haknya di Pemilu. Sulit untuk menjastifikasi angka sebesar
itu dilakukan secara sadar oleh kurang lebih 49 juta lebih pemilih. Angka
tersebut sekaligus dapat membenarkan dugaan sejumlah pihak yang memunculkan
pandangan bahwa pemilih bisa Golput karena sistem pendataan atau kelalaian
penyelenggara Pemilu.
Bentuk
Golput Produksi Sistem
Penyelenggaran Pemilu sebelumnya
(Tahun 2009) tingkat partisipasi pemilih yang sangat rendah, juga di lain pihak
terdapat sejumlah warga negara yang telah berhak memilih namun luput dari
pendataan. Hal ini sesungguhnya sudah
bisa diduga sebelumnya karena sistem pendataan yang digunakan kurang tepat,
dimana Pemilu legislatif menggunakan pendataan berbasis Kartu Tanda Penduduk
(KTP) dan bukan basis domisili.
Pendataan dengan basis KTP memiliki keunggulan sekaligus kelemahan dalam
saat yang bersamaan. Kelemahan mendasar pendataan model ini adalah pemilih yang
karena urusan tertentu sampai dengan hari pemungutan tidak berdomisili sesuai
dengan alamt KTP sudah bisa dipastikan tidak akan bisa menggunakan hak pilihnya
(baca: Golput) karena KTP dengan domisili pemilih berbeda. Dikemudian hari Penyelengara
pada periode itu memperbaiki basis pendataan dari KTP kependataan dengan basis
domisili pada Pemilu Pilpres.
Hal lain yang juga cukup penting dan sekaligus berpengaruh terhadap
pendataan pemilih adalah stelsel yang digunakan. Terdapat dua stelsel dalam
pendataan, yakni stelsel aktif dan setelsel pasif. Pada stelsel aktif, pemilih
digugah untuk secara aktif mengecek dan memastikan namanya telah terdaftar
sebagai pemilih. Secara teknis, penyelenggara (petugas pendataan pemilih) membuat daftar pemilih sementara. yang
kemudian mengumumkan daftar tersebut ditempat-tempat yang mudah diakses oleh
pemilih.
Metode ini merupakan pesan regulasi, namun cenderung tidak realistis.
Dapat dibayangkan seseorang yang karena kesibukan aktivitasnya masih harus meluangkan
waktu mencari pengumuman hanya untuk mengecek namanya berada di dalam daftar
pemilih. Dan lagi-lagi potensi pemilih
untuk Golput dengan stelsel ini lebih besar bila dibandingkan dengan stelsel
pasif, dimana penyelenggaralah yang aktif menemui pemilih untuk didata
sekaligus dipastikan mereka terdaftar sebagai pemilih.
Bentuk
Golput Produksi Penyelenggara
Luis De Sipio, dkk, mencatat tiga
kategori warga negara yang tidak berpatisipasi dalam Pemilu. Pertama, Registered Not Voted : yaitu kalangan warga Negara yang memiliki hak
pilih dan telah terdaftar namun tidak menggunakan hak pilih. Kedua, Citizen-not Registered : yaitu kalangan warga Negara yang
memiliki hak pilih namun tidak terdaftar sehingga tidak memiliki hak pilih. Ketiga, Non-Citizen : Mereka yang dianggap bukan warga negara (penduduk
suatu daerah) sehingga tidak memiliki hak pilih.
Penyelenggara Pemilu (baca: KPU)
berkontribusi atas terjadinya Golput pada dua kategori di atas (Registered Not Voted and Citizen-not Registered). Kelalaian penyelenggara berakibat Golput
ini dapat terjadi pada dua momen penting, yakni pada saat pelaksanaan
pendaftaraan dan saat menjelang hari pemungutan suara.
Keitidakcermatan penyelenggaran pada saat pelaksanaan pendataan pemilih
bisa menyebabkan pemilih tidak terdaftar (luput dari pendaataan), atau seorang
pemilih terdaftar lebih dari sekali. Kedua-duanya akan berakibat pada jumlah
partisipasi pemilih. Kelalaian pertama berakibat pemilih tidak mungkin bisa
masuk TPS karena tidak terdaftar. Sementara pemilih yang terdaftar lebih dari
sekali hanya menggunakan hak pilihnya sekali, sehingga menyebabkan data pada rekpitulasi
pemilih yang tidak menggunakan hak pilih menjadi besar, padahal secara faktual
pemilih yang bersangkutan telah menggunakan haknya, tetapi tidak dengan data.
Alasan lain pemilih untuk Golput adalah
tidak mendapatkan undangan untuk memilih. Kebiasaan menjelang hari pelaksanaan
Pemilu, pemilih akan menerima undangan memilih di TPS dimana ia terdaftar. Proses
ini dilakukan oleh penyelenggara Pemilu di tingkat bawah (baca: KPPS). Disaat
yang sama KPPS juga mempersipakan logistik Pemilu dan membangun TPS. Kondisi
keterbatasan dan ketersibukan penyelenggara, selain alasan lain dari pemilih
yang tidak ditemukan alamatnya oleh KPPS, menyebabkan sampai dengan hari
pemilihan, undangan tidak sampai ditangan pemilih.
Didalam peraturan memang telah disebutkan bahwa tanpa undangan untuk
memilih seseorang yang telah terdaftar dapat menggunakan hak, hanya dengan
menunjukkan KTP. Namun bagi pemilih yang terbiasa dengan Pemilu yang harus
terdaftar dan mendapatkan undangan hal tersebut menjadi sesuatu yang berbeda.
Cenderung mereka untuk tidak menggunakan hak pilihnya.
Pemilu 2014, Pemilu Pembenahan
Kelemahan pendataan pemilih, dari segi sistem maupun
penyelenggara untuk 2014 terjadi pembenahan yang cukup signifikan. Dalam Pasal
34 UU Nomor 8 Tahun 2012 (baca: UU Pemilu) tegas disebutkan bahwa saat
pendaftaran dilakukan, maka petugas pendaftar akan memberikan tanda bukti telah
terdaftar bagi Pemilih. Cara ini merupakan penegasan perubahan stelsel
pendaftaran dari stelsel aktif menjadi stelsel pasif.
Pemilu 2014 juga memberi peluang kepada pemilih yang
luput dari proses pendaftaran untuk dapat menggunakan hak pilihnya (Pasal 149) dengan
membawa KTP ke TPS di RT/RW atau nama
lain sesuai dengan alamat yang tertera di dalam KTP.
Dengan sejumlah perubahan mendasar tersebut,
undang-undang ingin memastikan semua warga negara yang telah memiliki hak pilih
dapat menggunkan haknya. Walau demikian, penyelenggara Pemilu perlu
mensosialisasikannya kepada seluruh masyarakat, terutama kepada masyarakat yang
masih bertradisi harus terdaftar dan atau mendapatkan undangan untuk dapat
memilih.
0 komentar:
Posting Komentar
KOMENTARNYA..DONK.!