Anak-anak-1

Pemerintah yang menggaung - gaungkan program pendidikan wajib belajar 9 tahun belum mencapai targetnya.Bagaimana kita bisa akan menjadi negara yang maju,jika pendidikan masih dipandang sebelah mata.

Anak-anak-2

Pemerintah yang menggaung - gaungkan program pendidikan wajib belajar 9 tahun belum mencapai targetnya.Bagaimana kita bisa akan menjadi negara yang maju,jika pendidikan masih dipandang sebelah mata.

Anak-anak-3

Pemerintah yang menggaung - gaungkan program pendidikan wajib belajar 9 tahun belum mencapai targetnya.Bagaimana kita bisa akan menjadi negara yang maju,jika pendidikan masih dipandang sebelah mata.

Anak-anak-4

Pemerintah yang menggaung - gaungkan program pendidikan wajib belajar 9 tahun belum mencapai targetnya.Bagaimana kita bisa akan menjadi negara yang maju,jika pendidikan masih dipandang sebelah mata.

Anak-anak-5

Pemerintah yang menggaung - gaungkan program pendidikan wajib belajar 9 tahun belum mencapai targetnya.Bagaimana kita bisa akan menjadi negara yang maju,jika pendidikan masih dipandang sebelah mata.

Senin, April 22, 2013

KOPROL


“Koprol”,  demikian kata itu menjadi  populer dalam bahasa keseharian masyarakat Gorontalo beberapa tahun terakhir ini. Kata yang sebelumnya jarang dituturukan orang, karena maknanya sempit, terbatas penggunaannya dalam bahasa olah raga saja, namun kini, kata tersebut telah digunakan dalam beragam momen dan  situasi, bahkan fenomenanya menembus hampir seluruh strata masyarakat kita.
“Koprol” yang sesungguhnya berarti “gerakan berguling kedepan” (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008), berubah menjadi kata yang berbeda jauh dari arti sebelumnya (semantis). Akhir-akhir ini familiar di telinga kita kata koprol dibahasakan, seperti: “pejabat koprol”, “proposal koprol”, “program koprol”, “pertanyaan koprol”, “cerita koprol”, “politik koprol”, aspirasi koprol dan seterusnya… atau dalam kalimat yang lebih panjang, misalnya: “kalau ingin jabatan tertentu, kenapa harus koprol?”.
  Mencermati contoh dan pemisalan penggunaan kata koprol pada kalimat-kalimat di atas, mendekatkan kita pada terminologi baru dari kata koprol yang secara sederhana dapat diartikan: upaya mempengaruhi. Namun berbeda dengan definisi kepemimpinan. Dalam beberapa teori menyebut kepemimpinan adalah upaya mempengaruhi(Mis: Stephen J.Carrol & Henry L.Tosj (1977) atau Harold Koontz (1989). Walaupun sama-sama berati cara mempengaruhi, namun kepemimpinan berusaha mempengaruhi bawahan, tapi koprol adalah cara bawahan untuk mempengaruhi pimpinan/atasan. Sayangnya, definisi terakhir ini juga belum cukup memadai untuk digunakan. Karena sering terdengar celetukan, “pimpinan koprol”, atau “politisi koprol kepada rakyat”. Untuk menghindari penyamaan kata “koprol” ini dengan kata “menjilat”, mungkin juga dapat diartikan sebagai “atraksi”, entah itu sandiwara atau serius untuk menarik perhatian atasan ataupun bawahan dengan cara memuji, mengelu-elu guna tujuan tertentu.
Memungkinkan kita semua bisa mendefinisikan sendiri arti dan makna kata “koprol” itu. Tetapi, yang paling menarik adalah kata “koprol” asosiasinya tidak jauh dari bahasa birokrasi dan politik. Entah siapa dan sejak kapan, kemudian kata tersebut menjadi sedemikian populer. Penulis meyakini kata ini awalnya merupakan bahasa simbolik untuk mengaburkan situasi rahasia dan negatif menyertai makna sesungguhnya yang ini disampaikan oleh penuturnya. Kurang lebih sama dengan kata “apel malang” dan “apel washington” yang digunakan untuk mengaburkan “uang rupiah” dan “uang dolar” dalam kasus korupsi. Namun apapun itu, kini “koprol” menjadi kata fenomenal dan telah menempatkannya dalam terminologi birokrasi dan politik Gorontalo.
Jika kata koprol diterima menjadi sebuah terminologi baru dalam praktek serta  komunikasi birokrasi dan politik, maka kita sulit menghindari dari tuduhan negatif. Betapa tidak, akibat dari koprol itu seseorang dengan bermodal “mencari muka” akan mencapai tujuan politik ataupun kariernya. Kurang menjadi soal ketika tujuan yang didapat dengan cara koprol tersebut berbanding lurus dengan kualitas dan kapabilitas. Tetapi menjadi sesuatu yang lain bila hasil koprol tersebut melahirkan kebijakan ataupun pilihan yang tidak sesuai dengan aturan dan regulasi dalam patron birokrasi dan politik.
Di tengah harapan untuk mereformasi birokrasi dan menata iklim politik yang lebih baik, koprol menjadi salah satu momok yang  menghantui prinsip egaliter pemerintahan dan demokrasi substantif. Koprol ini adalah bahasa yang baru, namun pada tataran praktek, sebenarnya koprol adalah cara-cara sudah berlangsung lama.
Memaknai tulisan ini, saya tiba pada satu hipotesa hubungan antara jabatan karier dan kekuasaan politik. Birokrat cenderung menggunakan cara-cara politis untuk meningkatkan kariernya, sementara penguasa cenderung menawarkan jabatan tertentu untuk memuluskan hasrat politiknya. Hipotesa ini merupakan asal mula dari lahirnya nepotisme. Sebuah paktek simbiosis mutualisme yang diharamkan oleh undang-undang korupsi, kolusi dan nepotisme (baca: KKN).
Lumrah suatu zaman melahirkan tata bahasa baru. Namun jika kita merenungi peribahasa yang menyebutkan “bahasa menunjukkan bangsa”, maka nyatalah koprol merupakan langkah mundur dalam sistem birokrasi dan politik kita.

Senin, April 15, 2013

MENDOBRAK MANDULNYA ASPIRASI DESA


Sesugguhnya sebelum konsepsi modern mengatur tatanan kehidupan masyarakat, jauh sebelum itu sosiokultur mayarakat di Indonesia telah memiliki tradisi dalam mekanisme keterlibatan dalam pembangunan. Nenek moyang kita memiliki konsep gotong royong sebagi bentuk kerja sama dalam melaksanakan suatu kegiatan, entah itu kegiatan lintas masyarakat ataupun antar masyarakat dengan negara (pemerintah). Leluhur Gorontalo misalnya, memiliki konsep huyula ataupun tiayo dalam membalut kebersamaan untuk berkontribusi nyata dalam pembangunan. Daerah lain juga memiliki tradisi yang hampir sama.
Saat ini kearifan-kearifan nasional dan lokal di atas, dimodifikasi dan disesuaikan dengan konteks kemajuan Iptek dan zaman yang kemudian melahirkan terminologi baru. Kini “gotong royong”, “hyula” dan “tiayo” berganti nama menjadi “partisipasi”. Walaupun secara istilah telah berganti nama tapi secara substansial, nilai-nilai tidak berubah bahkan meningkat karena sentuhan manajemen modern. Kalau dulu diminta maupun tidak oleh pemerintah, masyarakat senantiasa bahu-membahu untuk membangun karena ada masalah dan kepentingan bersama memajukan kelompok atau komunitas. Kini model itu diorganisir, difasilitasi serta dimanej agar kerja sama menjadi efektif dan efisien.
Partisipasi masyarakat model klasik kini diperluas tidak sebatas pada pelaksanaan kegiatan semata, tetapi telah melingkupi seluruh proses pembangunan (sejak dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan pengawasan). Bentuk paling nyata dari keterlibatan masyarakat tingkat bawah dalam perencanaan pembangunan saat ini sering kita dengar dengan model Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang). Tak tanggung-tanggung gagasan musyawarah ini digali bahkan dari tingkat dusun.
Tak ada yang masalah dengan itu semua!. Keresahan masyarakat desa muncul setelah diskusi panjang bahkan berujung perdebatan sengit “di arena” Musrenbang berakhir dengan kenyataan “pepesan kosong”. Prioritas pembangunan melalui usulan Musrenbag-Des yang dikawal oleh para delegasi untuk diperjuangkan di tingkat kecamatan sampai dengan kabupaten, “menguap” di tengah jalan, entah “disunat” oleh siapa?. Dengan tidak mengesampingkan ada juga hasil Musrenbang-Des yang terakomodir dalam APBD, namun lebih banyak dari dokumen tersebut sekedar tumpukan berkas.

Ilusi Musrenbang
Kekecewaan yang terus berulang dari fakta “pepesan kosong“ Musrenbang-Des berefek domino terhadap partisipasi masayarakat. Tidak mengherankan disejumlah desa Musrenbang-Des mejadi ritual yang kian sepi. Padahal tiap kali pelaksanaan Musrenbang-Des, sesaat itu pula terbetik harapan masyarakat untuk mengatasi persoalan desa mendapatkan energi dahsyat. Sayangnya energi itu melemah seiring dengan tidak terakomodrinya prioritas usulan dalam APBD. Lebih aneh lagi ada beberapa desa yang mengusulkan satu kegiatan tidak hanya sekali dilakukan, tetapi dihampir setiap tahun pelaksanaan Musrenbang-Des, namun sampai berakhirnya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM-Des) lima tahunan, lagi-lagi usulan tersebut tak pernah terrealisasi.
Sejumlah alasan mengapa usulan dari Musrenbang-Des seakan ilusi. Pertama: Antara kebutuhan Desa dengan ketersediaan anggaran pemerintah daerah tidak sebanding. Jika ditotalkan seluruh usulan dari masing-masing desa bisa mencapai angka triliun. Di sisi yang lain kemampuan anggaran pemerintah daerah hanya dikisaran angka miliaran. Itu pun tidak semuanya untuk belanja pembangunan. Sebagian besar APBD dialoksikan untuk belanja aparatur/pegawai. Sehingga sangat wajar hanya sebagian kecil saja dari usulan Musrenbang-Des dapat di realiasikan.
Kedua: Usulan-usulan yang disampaikan desa cenderung tidak relevan (bersesuaian) dengan program dan kegiatan Pemerintaha Daerah yang tergambar dari RPJM kabupaten/kota. Sementara pemerintah berupaya untuk menjalankan program dan kegiatan dalam RPJM tersebut untuk mewujudkan visi dan misi.  Kenyataan ini mengharuskan Satuan Kerja Perangka Daerah (SKPD) mengeliminir usulan-usulan hasil Musrenbang-Des yang tidak berkorelasi dengan tujuan pemerintahan.
Ketiga: tidak kuatnya argumentasi prioritas usulan sehingga pengambil keputusan tidak memiliki landasan keyakinan untuk mengakomodir usulan tersebut kedalam APBD. Terkadang pula terjadi inkonsistensi usulan yang disampaikan oleh masyrakat desa melalui jalur Musrenbang-Des dengan keinginan masyarakat yang disampaikan kepada para anggota legislatif melalui Jaringan Aspirasi Masyarakat. Pada kenyataan yang seringkali terjadi perencaaan melalui jalur politik (oleh anggota DPRD) yang
Ketiga alasan di atas cukup normatif untuk menawar rasa kecewa sekaligus rasa ingin tahu masyarakat yang terus mempertanyakan “nasib” usulan dari Musrenbang-Des. Dan tidak hanya itu, sejumlah penelitian juga menujukkan ternyata APBD seringkali diwarnai oleh keinginan (baca: opportunistik) sebagian elit eksekutif maupun legislatif terutama untuk kepetingan proyek, dan atau kepetingan politik.
Tetapi apapunm alasannya, jawaban tersebut di atas belumlah utuh ketika sebagian kita tidak memahami bahwa satu-satunya kemampuan pemerintah desa dalam menyelesaikan urusan pemerintahan dan pembangunan adalah Anggaran Pembangunan dan Belanja Desa (APB-Des) itu sendiri, dan tidak ada selebihnya. Pemahaman ini mempertegas bahwa usulan melalui Musrenbang-Des tersebut adalah harapan sekaligus permohonan kepada pemerintah supra desa yang tak pasti adanya.
Sesaat setelah kita memahami ketidakpastian “nasib” usulan melalui Musrenbang-Des melalui APBD dan satu-satunya yang dapat memberikan kepastian realiasi usulan tersebut hanyalah APB-Des, maka sementara waktu kita bisa bersimpulan bawah sekeras apapun aspirasi yang disampaikan masyarakat melalui Musrenbang-Des, maka aspirasi tersebut tetaplah “mandul” dan tak memiliki daya dobrak mempuni bagi para pengambil keputusan. Simpulan ini sekaligus mengantarkan kita pada pertanyaan apa yang semestinya dilakukan oleh desa untuk memperkuat keberadan usulan yang dibahas secara partisipatif oleh masyarakat agar tidak sekedar ilusi?

Setetes Inovasi
Sejak awal Pemerintah melakukan penguatan terhadap keuangan desa, dengan membuat kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD) yakni bagian dari dana perimbangan  keuangan yg diterima pemerintah daerah sebesar 10% untuk desa. Bagi pemerintah daerah yang memiliki pendapatan besar tentu berimbas pada ADD yang besar pula. Tetapi sebaliknya daerah-daerah dengan pendapatan rendah, maka ADD untuk masing-masing desa juga rendah, dan inilah yang paling banyak. Secara rata-rata ADD untuk setiap desa tidak lebih dari dua ratus juta pertahun. Angka ini masih dibagi dengan biaya aparatur yang ada didesa. Praktis anggaran untuk  pembangunan kurang dari seratus juta per tahunnya.
Minimnya anggaran untuk pembangunan desa yang tercermin dari ADD, menempatkan Musrenbang sebagai tempat penampungan mimpi-mimpi desa menjadi wilayah yang diperebutkan dengan lobi-lobi anggaran.  Sebagian permerintah daerah (kabupaten/kota) di Indonesia telah mengendus kelemahaman sistem Musrenbang, dan memahami dampak buruk dari kelemahan tersebut terahadap tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan.  Solusi merujuk pada pemikiran untuk memperkuat basis penerimaan desa melalui kebijakan-kebijakan pro desa.
Kabupaten Sumedang misalnya, pada Tahun 2007 membuat satu kebijakan yang mereka sebut dengan Pagu Indikatif Kewilayahan (PIK). Adalah sejumlah patokan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada kecamatan berbasis kewilayahan yang penentuan alokasi belanjanya ditentukan oleh mekanisme partisipatif melalui Musrenbang Kecamatan dengan berdasarkan kepada kebutuhan dan prioritas program yang mendesak berdimensi strategis kewilayahan.
Mengokohkan kebijakan tersebut, Pemerintah Daerah Kabupaten Sumedang merumuskannya dalam bentuk Peraturan Daerah. Dimana dari total PIK tersebut didistribusikan dengan metode 25% dibagi rata kesemua kecamatan dan 75% dibagikan secara proporsional, menggunakan sejumlah variabel seperti sosial,ekonomi dan geografis.
Tahun 2012 Kabupaten Gorontalo membuat terobosan dengan program satu kecamatan satu miliar (1k1m). Kebijakan ini kurang lebih sama dengan semangat Kabupaten Sumedang untuk mereduksi kekurangketerjaminan usulan prioritas desa dalam praktek Musrenbang sebelum-sebelumnya. Namun berbeda dengan Sumedang, Progaram 1k1m Kabupaten Gorontalo belum diformulasi dalam regulasi daerah. Sementara dalam distribusinya menggunakan pendekatan pemerataan untuk tiap kecamatan sedangkan distribusi ke setip desa diserahkan kepada masing-masing Camat.
Jika program ini berkelanjutan, tentu merupakan langkah maju namun perlu pembenahan disejumlah hal.

Ditengah serotan aspirasi masyarakat desa yang terkadang terabaikan oleh keterbatasan pemerintah, tidak serta merta pisimisme itu dibiarkan. Percayalah! Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sesungguhnya terus melakukan upaya dan usaha. Semoga saja tidak sebatas wacana tentang perjuangan 10% APBN untuk pemerintah desa atau perjuangan sejumlah elemen tentang one million one vilage (satu miliar satu desa). Semabari menggelayut mimpi kesejahteraan masyarakat desa, kita tetap besabar… 

DPD “BUS GRATIS” MENUJU SENAYAN


Mendekati tahapan pencalonan anggota DPR, DPD dan DPRD, nampak “kegalauan” menghampiri sejumlah bakal Calon Anggota Legislatif (Caleg). Kegalauan tersebut dipicu oleh dua hal penting. Pertama, jumlah Partai Politik yang akan menjadi peserta Pemilu 2014 berkurang drastis, dari 38 Parpol pada Pemilu sebelumnya, kini tinggal 10 Parpol saja. Kedua, Pasal 54,  UU No. 8 Tahun 2012 yang menyebutkan “Daftar bakal calon memuat paling banyak 100% (seratus persen) dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan. Berbeda dengan Pemilu 2009 dimana daftar bakal calon memuat paling banyak 120% dari jumlah kursi setiap Dapil.

Pemilu 2009 diikuti oleh 38 Parpol dengan memperebutkan 560 krusi DPR, sehingga terdapat kurang lebih 25.536 orang yang terdaftar sebagai Caleg di seluruh Indonesia. Namun dengan hanya 10 Parpol kontestan Pemilu 2014, maka total seluruh Caleg tidak lebih dari 5.600 orang saja, atau hanya 21,92% dari jumlah Caleg pada Pemilu 2009. Bila diasumsikan semua Caleg pada Pemilu 2009 berhasrat kembali untuk mendaftarkan diri, maka terdapat 78,08% yang tidak akan mendapatkan porsi tempat duduk lagi di Parpol sebagai “kendaraan” menuju Calon Anggota DPR.

Saat ini Parpol menjadi bus yang penuh sesak, bahkan para Caleg membentuk baris antrian yang sangat panjang. Paprol tidak hanya disesaki oleh Caleg dari kadernya sendiri, tetapi juga akan disesaki oleh “penumpang gelap” dari Parpol lain.

Berkurangnya Parpol peserta Pemilu merupakan berita baik bagi penyederhanaan partai dalam rangka mendukung sistem presidensial. Berita buruknya, berkurangnya Parpol menyebabkan minimnya armada angkut Caleg, sementara permintaan terlalu banyak. Kondisi ini mendorong hukum ekonomi berlangsung dimana harga tiket akan melonjak drastis dan hanya dimampui oleh kalangan berduit. Jika ini yang terjadi, maka petaka demokrasi baru saja dimulai dari pintu baru bernama proses pen-Caleg-kan.

Entah mengapa? Armada yang bernama DPD kurang diniminati para politisi. Di Provinsi Gorontalo misalnya, Pemilu Tahun 2004 jumlah politis yang mencalon diri untuk menjadi anggota DPD sebanyak  20 orang. Pemilu berikutnya (Tahun 2009) justru jumlahnya mengalami penuruan menjadi 19 calon saja. Merujuk teori peluang, maka menjadi calon anggota DPD lebih besar peluang terpilihnya bila dibandingkan peluang terpilih menjadi anggota DPR.

Para politis “berburu” menjadi Caleg DPR, padahal selain peluang keterpilihan rendah, juga penumpangnya banyak, ditambah lagi dengan tiket mahal. Di sisi yang lain DPD merupakan kendaraan dengan daya angkut dan kapasitasnya tak terbatas plus tiket yang tidak terlalu mahal. Sepanjang memiliki dukungan sesuai ketentuaan, maka berhak untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD.

Dugaan besar jumlah Caleg pada Pemilu kali ini akan berimbang antara jumlah Caleg DPR melalui Partai Politik dengan Caleg DPD melalui jalur dukungan rakyat. Dan bila dugaan ini benar, maka penambahan jumlah Caleg DPD tersebut berkolerlasi dengan  berkurangnya daya tampung Parpol yang bisa membawa Calegnya ke Senayan.  Dan bila lagi-lagi dugaan ini benar, maka seolah DPD menjadi kelas ke dua setelah DPR.
Sebuah paradigma yang kurang elok dalam sistem bi kameral kita.