Kamis, Agustus 28, 2008

KEPULASAN INTELEKTUAL BIROKRAT

Sebuah keanehan besar ketika di era gegap gempita perubahan terjadi dalam per sekian detik, ada saja orang-orang yang intelektualnya teraniyaya, terpasung, terbelenggu, dan itu warisan terburuk sepanjang sejarah. “jangan lagi menoleh kebelakang”, “jangan sesali yang telah berlalu” atau “sejarah tak pernah salah”, sungguh pernyataan yang penuh optimis. Tapi benarkah adagium itu memiliki substansi pencerahan hari esok?.
Tiga puluh dua tahun lamanya birokrat ibarat robot bernyawa. Masa berganti, dan kurang lebih satu dasawarsa nyawa itu kembali menemukan jasadnya. Sewajarnya ada pesta khusus untuk merayakan kebebasan ini. Birokrasi lepas dari konspirasi kolot yang disponsori Orba. ABG (Abri, Birokrasi dan Golkar) menemukan kembali jati dirinya masing-masing. Tapi bayang-bayang masa lalu tak lepas dari benak birokrat. Mereka terbiasa menjadi “budak”, dan seleksi alamiah mengamini kebiasaan itu dengan menghadirkan “majikan” yang rakus akan kekuasaan.
Mengutip bahasa Dr. Thariq Muhammad as Suwaidan, ini adalah otak-otak yang siap dijual. Bahasa penulis ini adalah nalar dari jiwa-jiwa yang gemetar menatap kebenaran
Ada latar belakang yang bisa kita jadikan rujukan untuk membuka tabir ini dari cengkraman sejarah yang terus berulang.
Pertama,budaya opportunistik, yaitu budaya yang selalu mengutamakan kepetingan diri sendiri daripada kepetingan umum. Mereka takut kehilangan jabatan, mereka takut kehilangan pengakuan, mereka takut tidak didengar bawahan. Intinya mereka lupa bahwa suatu saat mereka akan kehilangan itu semua. Mereka lupa suatu saat akan dipensiunkan dan lebih-lebih mereka lupa akan kematian.
Kedua, budaya paternalistik, adalah kebisaan menjadikan pimpinan sebagai “pusat kebenaran”. Bahkan ada birokrat yang rela turun kejalan, rela mati, dan saya hampir tidak percaya ada yang membawa panji jihad, bukan untuk kebenaran, tetapi untuk pimpinan. Di seluruh dunia, mereka yang menganut paham paternalisme ini memiliki satu kata , YESS BOSS!.
Ketiga, budaya hipokrit. Kata ini diadopsi dari bahasa Inggris, tetapi saya tidak memiliki data apakah parakteknya lebih banyak di Inggris atau di sini. Hypocrite, dalam bahasa lumrah yang sering kita dengar adalah munafik. Kenapa korupsi, kolusi dan nepotisme ditubuh birokrasi semakin diberantas, semakin “menggila”. Fakta kemunafikan itu salah satu jawabannya. Transparansi pengelolaan pemerintahan dan pembangunan diterjemahkan bias. Mereka memiliki ungkapan pamungkas “bisa transparan, tapi jangan telanjang”. Makna kata ini terus terevolusi dan akhirnya menjadi katup penutup kebohongan!.
Sedih rasanya, bila kita menyaksikan mereka yang memiliki kemapanan pengetahuan, memiliki sekelumit ide, secuil gagasan dan sederet harapan untuk berubah, terus dibombardir oleh budaya-budaya “setanik brokrasi”. Akhirnya idealisme itu lunglai sebelum mekar, mereka seperti kembang-kembang plastik, “biar palsu yang penting abadi”!. Tetapi, bagi mereka-mereka yang tidak ternodai. Mereka-mereka yang telah lama berkibar bak bendera lusuh nan putih selamanya, semoga niatnya tak pulas dalam pegolakan intelektual.
Untuk mereka tulisan ini saya dedikasikan. Sesuatu yang pantas menghormati mereka yang tulus. Disini ada jiwa yang semakin berdegup, mengasah ketajaman emosional, mental dan spiriutal. Saudaraku yang se-ide, Rasulullah berkata dengan bahasa seorang pemberani : “Tidak selayaknya bagi seorang Nabi, jika dia telah memakai baju perangnya untuk menanggalkannya kembali, hingga dia berperang”.Sebagai simpulan dari uraian ini, godaan untuk menyesatkan intelektual birokrat kian gencar, dan mereka yang tidak memiliki basis intelektual, mental dan spiritual yang baik terus berjatuhan, ada segelintir orang yang ingin menyelamatkan kondisi ini, tapi sayangnya tak jarang mereka juga menjadi korban. Saudaraku yang seide, sebelum semuanya selesai, tak layak rasanya bila kita kita menanggalkan baju perang.
Terlalu dini men…!


0 komentar:

Posting Komentar

KOMENTARNYA..DONK.!