Kamis, Agustus 28, 2008

MENGUBAH GORONTALO MISKIN MENJADI KAYA

”Ini semua adalah sesuatu yang mungkin bila kita berpikir bahwa itu adalah mungkin”
Pendahuluan
Pada hakekatnya eksistensi pemerintah adalah untuk meningkatkan derajat kesejahteraan rakyat, dengan kata lain keberhasilan suatu negara berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan rakyatnya. Hal ini telah lama dipahami oleh penyelenggara pemerintahan, namun terwujudnya masyarakat sejahtera bukanlah persoalan mudah dan sederhana, banyak faktor yang berpengaruh baik langsung maupun secara tidak langsung.
Berbarengan dengan upaya untuk menciptakan perubahan besar ditubuh pemerintah, berbagai gagasan dan konsep telah banyak dipaparkan oleh para akademisi maupun para praktisi. Konsepsi good governance, reinventing government serta banishing bureaucracy menjadi serangkaian konsep yang ditawarkan untuk dapat menuntun daerah dalam melakukan perubahan dan progresivitas pembangunan
Salah satu masalah besar yang dihadapi oleh hampir semua daerah dalam meningkatkan pembangunan adalah minimnya anggaran yang dimiliki. Sementara dalam banyak hal pemerintah daerah diperhadapkan dalam dilema antara sumber daya alam yang tersedia tidak cukup menopang sejumlah dana yang dibutuhkan. Saat ini ketergantungan anggaran daerah sangat ditentukan oleh dana perimbangan pusat, karena PAD tidak sebanding dengan kebutuhan daerah, sehingganya salah satu langkah bijak dan sangat mungkin dapat ditempuh dalam menghadapi persoalan ini adalah melakukan penghematan anggaran.
Persoalan dana menjadi masalah yang paling memusingkan pemerintah daerah dalam meningkatkan pembangunan. Masalahnya bukan karena pemerintah daerah tidak memiliki anggaran yang banyak, tetapi lebih pada kurang tepatnya (efektif, efisien dan rasional) pemerintah mengalokasikan anggarannya. Berikut beberapa masalah yang dijadikan alasan dalam memahami upaya penghematan dimaksud : pertama, Eksplorasi sumber daya alam yang berlebihan dalam meningkatkan PAD telah dan akan membawa dampak rusaknya ekosistem dan keseimbangan alam. Di sisi lain sumber daya tersebut kian hari-kian berkurang dan membutuhkan waktu yang lama untuk diperbaharui.
Kedua, Pengenaan retribusi yang berlebihan dan pengenaan pada objek yang kurang proporsional, berefek pada keengganan dan antipati masyarakat terhadap pemerintah daerah. Ketiga, Alokasi APBD yang tidak seimbang antara biaya aparatur dan biaya publik, mengakibatkan lambatnya proses pembangunan dan lebih banyak APBD dinikmati oleh aparatur dan kurang berpihak pada masyarakat. Keempat, alokasi yang kurang proporsional menjadikan APBD menjadi kurang dan tidak dapat mencukupi untuk melaksanakan kegiatan pemerintahan. Kelima, dalam banyak hal pemerintah daerah melakukan pemborosan anggaran yang semestinya tidak dilakukan.
Masih banyak masalah yang terkait dengan inefisiensi, inefektivitas dan irasional-nya manajemen pemerintahan yang berefek pada pemborosan anggaran. Tetapi pertanyaan yang perlu dijawab adalah : langkah apa yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah dalam memaksimalkan APBD sehingga pelayanan serta tujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan, pendidikan, ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dapat terimplementasi ?. Jawaban pertanyaan ini akan terurai dalam pilihan-pilihan kebijakan dalam tulisan ini, sebagai masukan bagi Pemerintah Daerah dalam mengefektifkan APBD.
Indikasi pemborosan APBD selama ini dapat dilihat dari : pengadaan barang dan jasa pemerintah yang sangat besar/jauh dari nilai pasar; biaya honorarium dan insentif pegawai; pembangunan yang mubajir; perjalanan dinas, biaya pemeliharaan, belanja barang dan lain sebagainya. Sebagai contoh adalah fenomena APBD disalah satu Kabupaten di Gorontalo pada Tahun 2004 dimana pengeluaran rutin mencapai 81,05%, sedangkan untuk pengeluaran pembangunan (belanja modal) hanya 18,95% saja. Pada Tahun 2005 belanja operasi sebanyak 209.194.411.317,75 atau 87,84% sedangkan untuk biaya modal sebesar 28.559.552.076,00 atau hanya 11,99%.
Dari data ini dapatlah dimaklumi jika pembangunan menjadi sangat lambat dan tidak memadai/mencukupi untuk membiayai pembangunan daerah dan tuntutan masyarakat yang menginginkan perubahan yang cepat dan perbaikan ekonomi yang lebih baik menjadi sulit diwujudkan.
Privatisasi
Privatisasi dapat didefinisikan sebagai transfer peran dalam penyediaan pelayanan publik kepada swasta. Di samping definisi ini, pada kenyataannya privatisasi dapat diperlunak dengan model ”kemitraan”. Privatisiasi model ”kemitraan” ini memiliki empat bentuk (Joedo dan Nugroho D,, 2006:73) sebagai berikut : Pemberian konsesi secara terbatas, KSO atau Kerja Sama Operasi, BOT atau Built Operate and Transfer. ODT atau Operate Develop and transfer.
Bagi Pemerintah Daerah konsep ini sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru . di Kabupaten Gorontalo misalnya pada Tahun 2004 pernah melepas salah satu usaha parawisata (Pentadio Resort) kepada sektor swasta, namun kemudian tidak memberi dampak yang signifikan terhadap pendapatan daerah (hal ini telah dianalisis oleh penulis pada opini koran lokal dengan judul ”Kaji Kritis Reinventing Government – Tinjauan Atas Swastanisasi Pentadio Resort”. Hampir semua daerah kabupaten dan kota memiliki beberapa aset yang dapat menghasilkan pendapatan, tetapi pada kenyataannya aset tersebut malah membebani APBD melalui biaya pemeliharaannya dan biaya-biaya lainnya.
Swastanisasi Pentadio Resort tidak dapat dijadikan cerminan, karena prosesnya tidak memiliki konsep yang jelas dan jauh dari semangat reinventing government. Dari sepuluh prinsip pemerintahan wira usaha, salah satunya adalah pemerintahan kompetitif, dimana pemerintahan kompetitif mensyaratkan persaingan diantara para penyampai jasa atau pelayanan untuk bersaing berdasarkan kinerja dan harga. Mereka memahami bahwa kompetisi adalah kekuatan fundamental untuk memaksa badan pemerintah untuk melakukan perbaikan. (Osborne & Palstrik, 2004:323). Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mem-privatisasi aset pemerintah : Persaingan (competition), konrtak kerja (work contract), pemberdayaan (empowering). Swastanisasi seyogyanya diarahkan untuk pemberdayaan masyarakat lokal sehingga apa yang disebut dengan ”efek domino” dari perubahan dapat tercapai.
Pemprivatisasian dapat dilakukan tidak hanya sebatas pada badan usaha daerah, tetapi juga melingkupi berbagai kegiatan serta tugas pemerintahan, misalnya : pemadam kebakaran, kebersihan dan persampahan, pendidikan, kesehatan bahkan urusan administrasi pemerintahan, seperti : pelayanan KTP dan catatan sipil lainnya. Tetapi dari sekian banyak kegiatan yang dapat di privatisasi ini daerah perlu mempertimbangkan hal-hal yang sesuai dengan kemampuan organisasi pemerintah.
Berikut ini sebuah komentar yang penting untuk kita renungkan, munurut Lester Salamon, yang memimpin proyek riset bertahun-tahun terhadap organisasi-organisasi nirlaba di Urban Institut, ”sektor ketiga sebenarnya adalah ”mekanisme masyarakat yang lebih disukai untuk menyediakan barang kolektif”. Sektor ketiga sudah ada lama sebelum sebagian besar pelayanan pemerintah itu ada ia mengatasi masalah-masalah sosial lama sebelum pemerintah mengambil peran itu. Pemerintah turun tangan hanya ketika sektor ketiga terbukti tidak mampu menghadapi masalah khusus. (dalam Osborne dan Gaebler, 2005:51).
Restrukturisasi
Abstraksi awal pemerintah, ketika restrukturisasi diwacanakan adalah tergesernya eselonisasi, hilangnya jabatan dan setumpuk persoalan kepegawaian. Sesungguhnya itu merupakan dampak ”buruk” yang ”baik” karena saat kemarin dan sampai hari ini menurut evaluasi Departemen Dalam Negeri dan Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara, organisasai perangkat daerah memperlihatkan beberapa indikasi kearah pembengkakan birokrasi. Struktur pemerintahan yang gemuk memberi konsekuensi logis terserapnya energi daerah yang cukup besar. Dan lagi-lagi hal tersebut berpengaruh besar terhadap APBD. Sudah saatnya daerah memikirkan untuk merampingkan struktur dan memperkaya fungsi guna terjadi penghematan anggaran.
Menanggapi hal ini sesungguhnya pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah, yang kemudian hampir tidak digubris oleh tingkat pemerintah kabupaten/kota. Sehingga ”miskin struktur kaya fungsi” hanya sebatas slogan dan jauh dari nilai realitas.
Wacana restrukturisasi cenderung dipahami hanya dalam frame dinas/instansi, padahal ditingkatan fungsional (pendidikan dan kesehatan) juga dapat dilakukan melalui pemetaan kembali wilayah pelayanan dengan menggabungkan beberapa sarana/prasarana serta fungsi yang sama di wilayah yang berdekatan.Metode ini disebut re-grouping.
Regruping SD-SD sebagai upaya rasionalisasi melalui beberapa pertimbangan yaitu efisiensi, peningkatan kualitas guru dan siswa, peningkatan kualitas proses belajar mengajar (PBM). Pola Regrouping yang dilakukan yaitu penggabungan SD-SD yang jumlah siswa kurang dari 75 orang, dengan pola SD kecil, SD normal dan SD besar, (SD dengan beberapa kelas paralel). Kondisi geografis juga menjadi dasar regrouping tersebut. Disamping regrouping sekolah, juga di Puskesmas dapat regruping dilakukan karena tidak rasionalnya jumlah kunjungan dengan pegawai puskesmas. Dasar pelaksanaannya disesuaikan dengan data dan kondisi yang diharapkan.
Rasionalisasi
Rasionalisasi Pegawai
Perlunya rasionalisasi pegawai untuk melakukan penghematan anggaran sesungguhnya sudah terbukti dilakukan oleh beberapa daerah dan negara-negara di dunia. Di Indonesia misalnya, Kabupaten Jembrana telah melakukan restrukturisasi dan hasilnya cukup mencengangkan, dimana dengan APBD tak lebih dari 9 miliyar daerah ini dapat membayar tunjangan kinerja pegawainya sampai dengan Rp 1.000.000/orang dengan kompensasi (reward) lainnya bagi pegawai yang berprestasi. Rahasia sukses rasionalisasi pegawai ini didasari oleh efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan kegiatan pemerintahan.
Tak dapat dipungkiri bahwa dalam birokrasi terdapat ”pengangguran tak kentara”, mereka adalah pegawai-pegawai yang digaji oleh pemerintah tetapi tidak memiliki kinerja dan prestasi dalam kerja. Sejumlah strategi telah dipaparkan oleh David Osborne dan Peter Plastrik untuk menerapkan konsep ini.
Sebagai alternatif solusi atas masalah di atas, berikut hal-hal yang dapat dilakukan : 1) Tidak melakukan rekrutmen pegawai selama proses rasionalisasi dilakukan (sampai batas rasional), 2) Tidak memperpanjang masa pensiun bagi pegawai yang telah memasuki masa pensiun, 3) Menawarkan pensiun dini kepada pegawai, 4) Melatih pegawai yang memiliki kompetensi enterpreneur untuk kemudian ditawarkan untuk alih tugas pada sektor-sektor swasta, 5) Melakukan analisis jabatan, selanjutnya sampai dengan uraian tugas masing-masing, 6 Pengalihan jabatan struktural ke jabatan fungsional untuk para pejabat yang terkena dampak restrukturisasi dan 7) Rekrutmen pejabat melalui job tender
Rasionalisasi Anggaran
Merasionalkan anggaran, konsep ini berangkat dari suatu pengamatan di mana terdapat sejumlah anggaran dan proyek serta kegiatan yang dilakukan oleh birokrasi, alokasi anggarannya kurang memiliki kepekaan terhadap kondisi pasar dan cenderung melebih-lebihkan anggaran. Tawaran solusi untuk merasionalisasikan anggaran ini, dapat dilakukan dengan membentuk satu tim verifikasi (independen) yang akan menguji tawaran atau permintaan yang diajukan oleh bagian/instansi/unit untuk satu kegiatan yang kemudian akan disesuaikan dengan harga rill pasar oleh tim penguji. Tepatnya dalam menentukan harga, Tim Penguji (independen) menggunakan standar harga dinamis bukan standar harga barang yang telah lazim digunakan selama ini.
Proyek pemerintah selalu menjadi pembicaraan publik, “Anggaran besar, kualitas rendah”. Mengapa proyek swasta dengan anggaran lebih rendah bisa mencapai kualitas lebih tinggi?, pertanyaan ini perlu direnungkan, ada apa dengan pemerintah kita. Untuk itu pemerintah kabupaten dan kota perlu menerapkan pola baru dengan Pola OE (Owner Estimate), dimana anggaran yang tertuang di APBD tidak menjadi standar, melainkan OE yang dibuat oleh Tim Independen yang menjadi acuan. Dari pola OE yang diterapkan efisiensi dan pengawasan mutu proyek menjadi maksimal.
Orang masih melihat bahwa ketiga langkah di atas masih merupakan hal yang tabu dan sulit untuk dilakukan, tapi sungguh itu sesuatu yang jauh sangat mudah, tetapi niat kitalah yang kurang. Butuh keberanian untuk merealisasikan itu semua, dan kami rindu sosok yang mau melakukannya. Mereka yang berani melihat peluang dibalik tantangan. Mereka yang berani melakukan penghematan anggaran untuk kemaslahatan umatnya, bukan mereka yang mengehemat untuk memperkaya dirinya. Gorontalo yang miskin akan menjadi kaya jika pola hidupnya mengacu pada filosifis usang ”hemat pangkal kaya”. Jangan hanya mencoba tetapi lakukan dengan penuh kesungguhan. Kami yang miskin menunggu kebijakan itu.

0 komentar:

Posting Komentar

KOMENTARNYA..DONK.!